Emile baru saja pergi, kemudian pintu terbuka lagi. Giana, adik perempuannya masuk begitu saja ke kamar dan melihatku sekilas dan lalu membuang muka “sangat tidak berkelas seorang gadis tidur di kamar pria yang tidak ada ikatan dengan dirinya” kupikir itulah kalimat yang disuarakan sikapnya. Dengan tatapan tajam aku membalas sikapnya kuyakin dia memahami tatapanku yang berarti “sungguh tidak sopan seseorang memasuki area pribadi dan melanggar privacy orang lain.”
“Oh hi V, Emile baru saja menelponku dan memintaku untuk menemanimu melakukan sesuatu, misalnya brunch atau mungkin mau berbelanja sesuatu di Barneys? sesungguhnya aku lebih suka menghabiskan waktu di rumah, bukannya mendatangi apartemen kakak laki-lakiku untuk menemani pacarnya yang manja. “ dia berbicara cepat dengan nada yang tidak menyenangkan, dia bahkan tak mau melihat wajahku.
“Kalau begitu pergilah, aku tak butuh siapapun untuk menemaniku…by the way…bukankah saat ini kau berada di sekolahmu?” bukan maksudku untuk mencampuri urusan pribadinya, hanya saja aku tak ingin dia terlihat kuat di posisinya.
Dia tak menjawabku, hanya menggigiti kuku-kukunya, perlahan dia duduk di sofa tak jauh dari tempat tidurku.
“Aku di keluarkan dari sekolah lamaku” dia menghela nafas seakan lega telah mengatakannya.
“Akupun begitu, dulu…” tak menyangka mengatakannya, hanya ingin memberitaunya bahwa ada kesamaan di antara kita.
Wajahnya menatap antusias terhadapku.
“Kau?” dia mengerjapkan matanya antara percaya dan tak percaya tapi setelah menelitiku.
“Yeah, sekolah bukan tempat yang tepat untuk pemberontak” aku bangkit dari tempat tidur dan bersiap-siap untuk mandi, tapi aku mendengar pengakuan kecilnya yang terdengar payah“ pemberontak lebih terdengar seperti alasan bagus dibanding kau harus keluar karena kau pecundang” Aku mengabaikannya dan berharap setelah mandi aku tak lagi melihat Emile versi cewek remaja.
***
Ternyata dia masih di sana. Giana, dia menungguku. Kuamati dia dari atas sampai bawah tanpa bicara, dia merasa canggung saat tatapanku seakan membedah tubuhnya.
Penilaianku tentangnya, kurasa dia versi tanggung dari Holly Golightly, aku yakin Giana tertarik dengan tokoh yang diperankan Audrey Hepburn dalam Breakfast at Tiffany’s, aku berani bertaruh rambut gelapnya tidak alami. Maaf saja, sayangnya Giana tak terlihat chic bergaya sedewasa itu, lagipula, bergaya seperti itu sama sekali tidak di sarankan untuk anak seusianya, dia terlihat seperti seseorang yang menghadiri pemakaman dengan little black dress, kalung mutiara dan tatanan rambut French Chignon-nya.
“Pecinta Hepburn?” aku bertanya sambil mengolesi lotion di tubuhku.
Dia tersentak dan menggeleng. “Kupikir aku akan terlihat misterius” dia berkata pelan.
“Hitam tak cocok untukmu, cobalah pink, peach atau mint green” saranku, tulus.
“Hitam adalah warnaku” dia berkata serius
Aku tertawa dan mulai merias mata, aku melihat pantulan bayangannya yang gusar dari cermin.
“Tapi kau akan terlihat seperti remaja normal dalam warna pastel yang manis, bertingkahlah sesuai usiamu”
Dia berdiri dan berkacak pinggang dengan tak sabaran seakan ingin mengatakan sesuatu hal yang sangat penting. Wajahnya terlihat kekanakan tapi ada kekuatan dalam dirinya yang ingin dianggap sebagai seorang wanita dewasa.
“Sudahlah! Kalian semua memang tak mengerti, aku dan duniaku…bahkan …sudahlah!” Tiba-tiba dia membelah sepi dan dia mulai bicara cepat dan agak teriak. Wajah gusarnya terlihat jelas. Dia diam seperti berpikir, tampak kebingungan karena seperti sedang mempertimbangkan suatu hal.
Sampai pada saat dia seperti menemukan jawaban, dia memutuskan untuk beranjak pergi dengan langkah cepat.
Ada kekhawatiran dalam diriku saat dia melangkah, dengan cepat aku harus mengambil tindakan untuk menghentikannya, jadi kusebut namanya dalam sebuah panggilan, pelan dan nyaris tak seperti suaraku. Namun anehnya, di sisi lain, ada bagian kecil dalam diriku yang tak yakin dengan apa yang kulakukan. Aku masih bertanya mengapa suara itu malah keluar begitu saja, aku yakin otakku tak menginstruksikan perintah untuk melakukannya.
“Giana” Aku seperti boneka Marionette yang digerakkan tali-tali tak terlihat untuk menghampiri dan memegang tangannya agar dia urung melangkah, aku merasakan tangannya yang sedingin es dan tubuhnya yang gemetaran.
“Aku mendorong dua teman sekolahku melakukan bunuh diri Hallowen lalu dengan ilmu sihir yang kupikir bakatku, aku salah, aku membawa mereka pada kematian, kau tau?” dan dia menangis “Aku bahkan takut melihatmu, karena yang kulihat…adalah seseorang yang kujumpai dalam trance-ku ketika aku menerbangkan jiwaku bersama jiwa mereka yang telah berlalu, kau tau kau adalah jiwa yang datang untuk menyelamatkan apa yang tak bisa kuselamatkan, dan taruhannya…nyawa dan kebahagiaan. ”Dan setelah itu dia tertidur, jatuh pingsan yang membuatku terserang kepanikan. Apa yang diucapkannya membuatku gelisah, yang kutau yang harus kulakukan hanyalah menghubungi Emile dengan segera.
Bersambung...
0 comments