Venus And Mars (11)




Kupikir sekelompok orang yang berdiri tegap di depan pintu akan memblokade langah kami, sebaliknya mereka malah membuka lebar jalan bagi kami, begitupula dengan sekelompok pria di ujung koridor.
 Aku merasakan sakit yang luar biasa di pergelangan tanganku. Cengkraman yang begitu kuar seolah bisa meremukkan lenganku. Nafasku seakan tertahan di tenggorokkan dan aku kelelahan, tapi kakiku terpaksa untuk terus menyeret langkah. Pria di sampingku, tak menoleh sedikitpun, dia terus berlari dan  menyeretku, ingin berteriak, tapi kutau aku tak memiliki tenaga sekuat itu.

Koridor, lift, tangga darurat, koridor yang sangat panjang, tangga darurat dan terhenti di bagian atas hotel yang kupikir begitu kukenali, terdengar suara yang sangat bising yang berasal dari baling-baling helikopter yang siap berangkat. Beberapa pria di sana, seakan menyambut kami, lalu tak lama, tanganku lepas dari cengkaraman, dan pria dengan pistol di tangannya berteriak begitu beringas, mencengkram pria yang berada dalam helikopter menariknya keluar, meninjunya hingga roboh, kupikir pria itu langsung tak sadarkan diri. Setelah itu tanpa kusadari aku tertarik ke dalam helikopter dan terbang membelah langit bersama pria yang terasa begitu sangat kukenal saat pria itu melepas topeng silver-nya yang membuatku dapat memandangi mata biru sempurnanya.
***
Terlalu lelah atau kondisi fisikku yang begitu lemah, tiba-tiba saja aku tersadar berada di sebuah pondok mungil, tidurku terlalu mungkin terlalu pulas, hingga saat aku tersadar dan hendak bangkit dari tidurku, kurasakan mataku berkunang dan seluruh pandanganku berputar.
“Di kehidupan lalu kau adalah sang putri tidur?” sapaan hangat yang seharusnya tak keluar dari bibir seorang pembunuh yang kini berdiri di depanku; wajahnya lebih tampan dari wajahnya yang kutemui di dalam mimpi. Rambutnya berantakan, mata birunya berbinar, dan bibir yang memasang senyuman ragu. Dia bertelanjang dada yang memperlihatkan dadanya yang bidang, aku merindukan saat terbenam dalam pelukan di dada itu tapi pada saat bersamaan ingatanku jauh terbang kepada Emile yang kuharap keadaannya baik-baik saja di sana. “Sayangnya, aku begitu tau siapa kamu di kehidupan lalu, aku merindukanmu…” dan pria itu bangkit dari kursi kayu mungil di dekat jendela lalu mendatangiku, memberiku kecupan hangat di bibir yang kubalas tanpa berpikir, seolah ciuman itulah yang begitu kuinginkan, bisikkan di kepalaku mengatakan bahwa aku merindukan pemilik bibir yang rasanya begitu kukenal itu, walau kutak yakin aku pernah mencicipi bibir ini sebelumnya, tapi mungkin inilah dia yang dari kehidupan lamaku.
Jeda sebentar, dia menatapku, bisu, diam tanpa kata, lalu memegang pipiku dan membelainya dengan sayang, dengan kedua ibu jarinya sebelum dia menciumku lagi. “Aku merindukanmu, aku merindukanmu, aku merindukanmu, seakan tak ingin berhenti mengucapkannya…aku merindukanmu” sekali lagi dia mencium puncak kepalaku. Setelahnya, kami berdua hanya bertatapan, diam tanpa kata, tapi hati kami merasakan bahwa inilah yang kami nantikan sejak lama.
“Aku mengingatnya…sekarang, semuanya” aku berbisik parau padanya yang menatapku  sedari tadi, saat mataku bertemu dengan matanya segalanya tampak seolah ditayangkan begitu saja dalam layar raksasa yang ada di dalam kepalaku, lalu tangisanku tumpah saat kisah itu ditampilkan begitu nyata; kisah cinta kami yang lalu. Kami terlahir sebagai saudara kembar yang terpisahkan, karena ibuku hanya seorang pelacur jalanan yang dibeli oleh seorang pria kaya, saat pelacur itu mengandung anaknya, pria itu hanya membawa satu, putranya tapi mengabaikan putrinya, ketika dewasa keduanya bertemu dan saling jatuh cinta, tapi terlarang cinta sedarah yang membawa petaka, terlalu saling mencintai hingga akhirnya bunuh diri, dan kini kami kembali, menyelesaikan sesuatu yang tertunda.
“Kita bisa bersama sekarang?” aku memeluknya, dan dia membenamkan kepalaku di dadanya yang hangat, aroma tubuhnya begitu kuingat seperti wangi cendana dan aroma bunga-bungaan liar.
Ada ketakutan di dalam hatiku seandainya kali ini kita akan terpisahkan. Kuharap tak lagi, karena bayang-bayang Emile dan janjiku pada Gianna seakan menghantui, kali ini aku ingin melupakan mereka, aku hanya ingin hidup lamaku yang kujalani dengan kisah baru, yang berakhir bahagia.
“Takkan semudah yang kau pikirkan untuk terus bersamaku, tapi aku janji aku berusaha untuk bersamamu” dia mengecup pipiku lalu menjauh tanpa melihat mataku, aku merasa bahwa ini bukan jawaban yang bagus tapi setidaknya kata “berusaha” seperti sebuah harapan akan sebuah rencana.
“Sekarang panggil aku Massimo…lupakan kehidupan lalu, sekarang kita memiliki perjuangan baru” Dia berbalik, dan mulai menyalakan sebatang rokok, pada saat itu aku memiliki dorongan yang kuat untuk segera berlari ke arahnya dan memeluknya dari belakang, yeah aku melakukannya, kali ini aku hanya ingin terus bersama dengannya. Itu saja.

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Evo Sastra
Designed by Evo Sastra
..
Back to top