Bukankah sangat romantis, sebuah pesta pernikahan di Chateau de la Rochepot, sebuah kastil indah yang berdiri sejak abad ketiga belas? Atau ikrar pernikahan di atas balon udara di langit Burgundy, dengan pemandangan lahan pertanian dan kebun anggur di senja hari? Atau pesta mewah keluarga dan kerabat dekat dengan tema romantic candelight dinner sambil menikmati Wineterbaik? Semuanya akan terasa seperti mimpi sempurna seorang wanita, apalagi pria yang akan menikahimu adalah pria yang sungguh-sungguh mencintaimu! Tapi apalah arti bila hati tak bisa semudah itu untuk memilih.
Pernikahan itu seperti sebuah nasib, dan cinta itu seperti sebuah takdir. Bahkan sejak di kehidupan lampau aku ditakdirkan untuk mencintai pria yang sama, walau pada akhirnya kisah kami tak berakhir indah. Bila kini kami harus menderita? Kumohon ijinkan penderitaan itu menjadi milikku saja. Kuharap Massimo akan baik-baik saja di sana. Aku mencemaskan dirinya.
“Kau gadis yang beruntung” Debra meyakinkanku. Mengulang apa yang dikatakan Debra membuatku ingin bertanya pada diriku sendiri, aku beruntung? Tentu saja! jika mereka melihat dari sudut pandang mereka, tapi seandainya mereka tau, betapa tak mudahnya segala hal ini bagiku. Aku merasa seperti gadis dari abad pertengahan yang harus menghadapi pahitnya perjodohan, tak boleh mencicipi indahnya cinta yang diinginkan hati.
“Terima kasih, Debra”
“Seandainya aku bisa berada di posisimu”tambahnya lagi dengan wajah penuh harap.
“Seandainya…taukah kau betapa menyakitkannya kata itu? jika kau tau bahwa seandainya itu hanya kata yang tak mungkin menjadi nyata” aku seperti mengggumam pada diri sendiri tanpa kusadari bahwa tatapan matanya bahkan membaca tiap pergerakan bibirku yang membentuk suku kata.
“Aku selalu merasa bahwa hidup itu tak adil…” tiba-tiba Debra berbicara tapi nadanya tak seperti nada bicaranya yang ceria seperti biasa. Saat ini kami menikmati malam di balkon kamarku di rumah keluarga Weingarden seusai makan malam, yang dimaksud untuk perayaan sederhana bagi pertunanganku dan Emile. Sebuah moment dalam hidupku yang tak ingin kuingat, hanya ingin kulewatkan dengan begitu cepat. Sebuah pertunangan buru-buru demi memburu waktu, agar Emile bisa menikahiku segera. Kurang dari seminggu aku menjadi istrinya, dengan begitu, menurut Emile hidupku tidak lagi begitu terancam.
“Mengapa kau bicara begitu?” aku hanya ingin tau.
“Bolehkan kukatakan bahwa kau merenggut mimpiku?” setengah bercanda ataukah ini kenyataannya? kupandangi wajah Debra yang ekspresinya begitu sulit untuk di deskripsikan; matanya berkaca, tapi bibirnya membentuk senyum dan hendak menyiapkan tawa. Wajahnya tak mau menghadapku, seperti ada yang ingin di sembunyikan tapi dalam waktu bersamaan malah ingin ditunjukkan.
“Are you kidding me?” aku ingin menganggapnya sebuah candaan dengan menderaikan tawa dalam suaraku.
“Bahkan bila apa yang kukatakan adalah sebuah kebenaran, aku takkan mampu mengubahnya…cinta itu entah milik siapa…kita tak bisa menentukan hati kita untuk memilih siapa yang kita cinta…apapun yang kukatakan ini lebih karena kandungan alkohol dalam darahku” Aku menatapnya lama mencoba memahami apa yang dikatakannya. Debra memainkan gelas Wine-nya.
“Bagaimana rencana pernikahanmu dengan Randall?”
Debra seakan tersentak dengan pertanyaanku. Dia menatapku.
“Apa yang kau lihat ketika melihat aku berada di samping Randall?”
“Kalian pasangan sempurna” itu jawaban mudah, melihat mereka memang terlihat sempurna bersama. Aku ingin mengajukan pertanyaan yang sama. Apa yang kau lihat ketika melihatku di samping Emile?
“Kebanyakan orang memprediksikan aku akan menikahi Randall sejak lama, tapi taukah kau aku mencintai pria lainnya!”
“Klasik…”
“Begitulah” dia mengangkat bahunya, lalu menegak sisa Wine-nya dalam satu tegukan cepat dia mengernyit sebentar. Kutau kepalanya sedang menahan beban berat. “Bagaimana rasanya?” Debra bertanya yang tak kuketahui maksudnya.
“Apa?”
“Dicintai oleh pria yang begitu kucintai?”
bersambung
0 comments