“Inilah dirimu, inilah yang harus kaujalani. Berhentilah menganggap bahwa dirimu harus kembali V! “ Suara serak yang adalah suaraku memaki dengan begitu kerasnya dalam otakku. Bahkan musik yang berdentum memekakan telinga nyaris tak lagi menyiksa indera pendengarku.
“Hey, bukankah kau dulu penggila pesta?”kali ini tak lagi berteriak, hanya terdengar begitu mengejek.
“Menjijikkan! Tak tau berterima kasih! Tak tau diri! Apa yang kau dapat sekarang? Kau punya segalanya! Nikmati!”Suaraku terdengar begitu memojokkanku. Aku ingin menutup telinga, tapi percuma, karena suara itu berasal dari dalam kepala.
Aku ingin menjawab dan berteriak, tapi percuma! Aku hanya akan dapat respon tawa, semakin gila, semakin kau menikmati pesta, menurut mereka. Aku hanya mampu berbisik pada hatiku. “Dulu, aku menikmati pesta, semata-mata hanya untuk menyiksa Soraya, dan ingin merasa benar”. Ternyata aku tau bahwa itu hanya pelarian yang salah; ternyata menjadi orang yang menurutmu paling benar bukalah kenikmatan. Semuanya tak lebih dari keegoisan anak ingusan, sungguh tak dewasa.
“Are you okay?” Emile melihat tanda-tanda tak beres pada diriku. Aku memaksa diri tersenyum dan menyesap Champagne, sebenarnya, tak membutuhkan hanya untuk pengalihan.
“Sudah memikirkan saranku?” Emile bertanya lagi tentang sesuatu yang masih sulit untuk kuhadapi.
“Aku ingin kembali” tak menyangka itulah jawaban yang bisa kuberi.
Emile tertawa, mengejek kurasa. Dengan segera dia sadar dan mengubah suasana, sayang gagal total.
“Kau berada di pusat peradaban dunia, mengapa ingin kembali ke negeri antah berantah?” senyum mengejek terpahat di wajah tampan aristokrat sempurnanya.
“Tidak ada tempat ternyaman selain rumah” bisikku lirih dan lelah.
“Inilah rumahmu” katanya tegas.
“Inilah panggung drama tragismu” bisik suara dari dalam kepala. Kuharap aku salah, kuharap Emile yang mengatakannya.
“Aku perlu udara segar sebentar” kataku di telinganya, berbisik lembut, dan memberikan kecupan singkat di pipinya. Aku tak jujur, aku memilih keluar, pergi dan tak kembali.
Aku bosan dengan yang kulakukan belakangan, aku perlu sesuatu, bukan hanya menghabiskan waktu dengan lelaki tampan pemuja yang menatapku seperti anjing yang menatap tuannya. Aku tak seperti gadis pirang pewaris lainnya yang mencintai hewan berkaki empat itu. Entah apa yang kucintai, aku ragu.
***
Aku meninggalkan Club yang berisi wajah-wajah lelah itu. Aku berjalan keluar menelusuri trotoar, banyak orang berjalan dalam langkah cepat, tapi aku memperlambat langkahku. Kurapatkan mantelku lalu mulai menyalakan rokokku. Berjalan dan berjalan, meninggalkan Emile yang kurasa sangat memuakkan, tak peduli betapa tampan dan berharganya dia di mata para wanita lainnya.
***
Berjalan dan terus berjalan, hingga aku sampai di sebuah taman yang diterangi cahaya remang lampu-lampu temaram, namun begitu meriah oleh gelak tawa dan musik gembira aku yakin sekarang sudah larut malam, tapi pemandangan di depanku memperlihatkan sekumpulan manusia tengah berpesta. Aku harus tau kota ini tak pernah punya waktu untuk tertidur.
Tak terasa tiba-tiba saja aku menjadi bagian dari mereka, ikut juga larut dalam pesta. Aku berada di tengah-tengah para pasangan berdansa dan tertawa gembira. Sekumpulan mahasiswa, pemuda, remaja, dan sejenisnya, orang-orang seusiaku, sekarang tengah menikmati alunan merdu lagu lama Frank Sinatra New York New York irama Jazz ceria yang dimainkan dengan begitu suka cita oleh seorang pemuda dan pianonya.
Taman kecil ini seperti diselubungi aura penuh suka cita, dan perasaan gembira itu menular begitu saja padaku, aku tak mengerti bagaimana awalnya, karena yang kurasa aku begitu menikmati menari dan berdansa bersama mereka. Kenapa begitu mudah menikmatinya di sini, dari pada bersama Emile tadi? Entahlah!
Aku berdansa dan terus berdansa, diiringi tawa yang kuyakini lepas begitu saja, hingga tak terasa musiknya berhenti. Aku terus tertawa dan keanehan itu menyelimutiku, seperti sesuatu yang hangat mendekatiku; misterius namun menenangkan. Aku memandang sekelilingku, tak tau darimana datangnya perasaan itu, hingga seseorang mendekatiku.
“Hey …”sapanya, suara yang sama yang mengalun menyanyikan lagu tadi, suara yang memiliki daya hipnotis yang membuatku berdansa dan merasa bahagia.
Aku mendongak menatapnya, dan kusadari waktu berputar perlahan, atau mungkin malah terhenti, saat kupandangi wajah itu, wajah yang kujumpai dalam mimpi, lalu potongan film hitam putih itu berputar lagi, kali ini tak lagi bisu, tapi terdengar tawa bahagia penuh suka cita yang berceloteh manja “I love you, Mars” bersamaan dengan suara di depanku menyapa.
“Mau berdansa denganku?”
Aku tersadar, tapi masih tak menguasai otakku, kulempar pandangan dan dibalik piano sekarang duduk dan mulai bernyanyi gadis berwajah Afro-Amerika, menyanyikan lagu lama Norah Jones, The Pretties Thing.
Diantara kebingungan. Antara apa yang ditayangkan otak dan apa yang ada di hadapanku, yang kuketahui bahwa aku hanya larut dalam lagu, dan tatapan cerah mata hijau sempurna. Hingga di akhir malam itu, saat sebuah ciuman hampir mendarat di bibirku, ada suara yang memanggilku, tapi bukan dari dalam kepalaku.
“Violetta” terdengar nyata dari bibir Emile yang berdiri tak jauh dari tempatku dan si pemuda bermata hijau itu, masih berangkulan.
Sebelumnya nyaris seperti adegan lambat namun sedetik kemudian berubah menjadi begitu cepat dan tak terduga, sebuah pukulan melayang di wajah pemuda yang tadinya nyaris menciumku, setelah itu, yang aku tau bahwa aku terseret dalam langkah cepat Emile. Dalam kalut aku mencoba berpikir, nyatakah yang kualami atau ini tak lebih dari mimpi?
0 comments