Venus And Mars (17)


(Massimo)

Aku sedang memainkan lagu patah hati yang kubenci, jari-jariku terasa perih saat menyentuh tuts-tuts piano yang memainkan nada lirih yang membuatku frustasi. Memoriku memutar lagi tiap detail saat Violetta masih di sisi, bersamaku, terkhir kali.
“I love you” aku suka bagaimana suara manjanya mengungkapkan kata yang membuatku merasa berharga. Tapi apa yang kulakukan, aku melemparkan sebuah kebodohan, sebuah pertanyaan.
“Tak menyerah untuk terus bersamaku?”
“Takkan pernah” dia menjawab dengan keyakinan sempurna, aku bisa membaca dari sorot teduh matanya.

“Apa yang dilakukan seorang gadis kaya, di pondok kayu di tengah hutan?” pertanyaan terbodoh yang pernah kulontarkan, aku tau jawabannya, akulah yang menyeretnya ke sana, membawanya ke dalam penderitaan.
“Sedang bermain peran untuk drama versi remaja Hensel and Gretel” Sebuah jawaban kekanakan yang seharusnya bisa melumerkan kebekuan hatiku karena kekhawatiran.
“Jawaban yang bagus, mengingat dikehidupan lampau kita saudara, anggap saja pondok ini rumah jahenya, settingnya sungguh tepat, di tengah hutan liar yang indah” Aku pura-pura mengikuti alur yang dia ciptakan, mengangap ini sebuah humor tdan tertawa, terpaksa.
“Katakan ini dimana?” dia bertanya dalam nada menggoda, sikap cerianya membuatku merasa bersalah “Kupikir aku merindukan peradaban” dia tertawa dan memainkan sendok dalam mug kopi milikku.
“Jangan pernah berpikir untuk pulang jika kau ingin selamanya bersamaku” saat mengatakannya aku tak sanggup menatap matanya, kita tak bisa bersama, Violetta tak mungkin meninggalkanku, akulah yang akan meninggalkannya, dan inilah saat yang tepat sebelum terlambat.
Dia mendekatiku, duduk di pangkuanku, kedua tangannya melingkar memelukku, dia mencium pipiku dan berbisik. “Aku rela menukarkan segala yang kumiliki untuk bisa bersamamu”. Aku tak mampu untuk mengatakan sepatah katapun, hingga aku memilih melepas selimut flannel dan menutupi bagian tubuhnya yang terbuka. Aku pria kuno, walau testoteronku lebih suka dia tanpa apapun, tapi demi martabat wanita yang berharga aku ingin membuatnya merasa terhormat
 “Aku mencintaimu” bisikan merdunya di telingaku tak hanya sebuah pengakuan tapi sebuah janji dengan penuh perasaan.
“Pastikan kamu terus mencintaiku sebelum kamu akhirnya membenciku.”Entah bagaimana aku bisa mengatakan hal itu.
“Aku tak melihat alasan untuk membencimu” Seharusnya Violetta membuka matanya, seandainya dia tau segalanya.
“Bagaimana kau tau?” aku bertanya secepat yang bisa lidahku ucapkan.
“Kita melewati sebuah masa untuk bisa bersama, kehidupan yang baru…”Aku tak ingin dia bicara dan mengingatkanku akan kekuatan cinta
 “Bagaimana bila kehidupan baru, lebih sulit dari hidup terdahulu?”aku ingin mematahkan keyakinannya.
“Bolehkah kita berhenti mengkhawatirkannya dan biarkan kita hanya menikmatinya?”Dia mencoba menenangkanku, tapi aku tau aku tak bisa ditenangkan.
“Baiklah…” lebih mudah untuk menyerah dan menghentikan percakapan yang makin rumit ini.“Persiapkan diri untuk kemungkinan terburuk, persiapkan hati yang berani mencintai untuk merasakan pedih.”Aku mencoba memperingatkannya.
          Jari-jariku berhenti bersamaan dengan harmoni yang menyayat hati.
          Setelah itu aku mendatangi polisi dan mengatakan di mana Violetta berada, aku bukan datang menyerahkan diri, aku bukan pecundang malang. Aku hanya ingin  semuanya usai dan…jangan tanyakan tentang hukuman atas kekacauan yang telah kuciptakan. Kejahatan apapun takkan bisa membuat klan Mongardini terjerat hukum. Aku hanya ingin semuanya usai, aku ingin kembali, saat aku masih seorang Massimo, aku tak ingin terusik lagi kehidupan lampau. Aku hanya tak ingin kehidupan laluku mengoyak kehidupan baruku.
          Kerah bajuku tertarik begitu tiba-tiba, tak kukira dalam hitungan detik aku tersungkur di tanah.
          “Aku tau dimana aku bisa menemukanmu” nada arogan tak menyenangkan datang dari pria yang kurusak malam pertunangannya.
          “Emile Weingarden” aku menyebut namanya dan bangkit. “Seharusnya kita bisa berpesta, akan kualunkan nada ceria agar kau bisa berdansa. “Aku menawarkan sebuah penghiburan, beberapa teman jalananku di taman yang kuhibur dengan musikku mulai bersikap penuh kewaspadaan, aku melemparkan ekspresi menenangkan, tak ada yang perlu dikhawatirkan, sebuah hantaman adalah ganjaran yang sangat pantas buatku. Bila kuingat-ingat ini kali kedua aku menerima pukulan dari pria ini, yang pertama, saat awal perjumpaanku denganVioletta, di kehidupan kini.
          “Dimana Violetta?” dia bertanya dalam nada dingin, ada kemarahan ada ketakutan.
          Entah kenapa ketakutan yang tergambar jelas daam diri Weingarden juga turut merasuki, kurasa tak tepat juga bila kukatakan ini ketakutan tapi sebuah kekhawatiran. Violetta tak bersamanya?sebuah kemunginan mustahil. Akulah yang membuat Violetta keluar dari hutan dengan maksud agar dia kembali pada Weingarden.
          Ini tak mungkin sebuah lelucon.
          “Tak ada bersamaku” Jawabku datar tapi meyakinkan, karena itulah kenyatannya. Emile Weingarden menatapku lama, menimbang apakah kata-kataku mengandung kejujuran, pada akhirnya dia menemukan jawabannya, dia menangkap kejujuran dari diriku. Dia menjauh dan tak lagi menatap wajahku, berbalik dan melangkah pergi, tapi sempat mengucapkan kalimat.
          “Dia meninggalkanku untuk mencarimu” Saat itu otakku langsung mengirimkan tanda bahaya, aku tau kemana Violetta mencariku. Violetta berada di tempat yang berbahaya. Puri Mongardini takkan membiarkan mangsanya keluar tanpa tercabik dan…tetap bernyawa.

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Evo Sastra
Designed by Evo Sastra
..
Back to top