Tatap atau Ucap (part III)

Silakan baca cerita sebelumnya di  sini

            Aku tak terkejut ketika mendapati diriku telah menunggu di Stasiun Depok Lama. Bangku tengah, dekat dengan pintu masuk stasiun. Ada beberapa pedagang kaki lima yang mondar-mandi di depanku. Juga tangisan bayi, juga rengekan anak-anak kecil minta dibelikan mainan, bercampur dengan suara operator stasiun yang memberitahu tujuan kereta dan jam keberangkatannya.
            Ramai. Seperti biasanya stasiun memang ramai, seluruh lapisan masyarakat berkumpul di sini. Ada yang sibuk dengan gadget-nya, ada yang sibuk dengan teman seperjalanannya, ada yang sibuk tawar-menawar antara penjual dan pembeli. Semua ada di stasiun. Aku meliak-liukan kepala, berusaha mencari seseorang yang kutunggu. Iya, kutunggu, karena hanya aku yang menunggu. Ia tak pernah sadar kalau sedang kutunggu.
            Aku berusaha menjelikan mataku, mencoba mencari sosok yang sejak tadi sudah memenuhi otakku. Pria berkacamata, seringkali sibuk dengan bukunya, namun dia tak ada. Aku kecewa, biasanya ia terlihat di sekitar sini, sedang membeli minuman atau membeli gorengan. Aku agak heran, kenapa dia yang sudah “jadi orang” masih saja ingin naik kereta? Dia punya mobil dan kendaraan yang mewah, dia punya segalanya, tapi mengapa dia memilih kereta? Dia malas nyetir? Mobilnya masuk bengkel? Entahlah, aku hanya memikirkan dia, bukan kendaraannya.
            Commuter linemerangkak pelan memasuki stasiun, aku memegang tasku dengan cepat. Waspada, agar tak direnggut seseorang, banyak orang jahat kan? Langkahku mantap menaiki gerbong kereta, bukan di gerbong kereta khusus wanita, karena jika ingin bertemu pria itu, dia pasti tak ada di gebong wanita. Aku duduk di tempat para pria, bercampur aduk, ada juga beberapa wanita yang duduk di sana. Untungnya, kereta tak terlalu penuh, tak perlu ada yang saling menubruk.
            Dapat!
            Pria itu duduk di tempat biasanya. Ia mengenakan headset di telinga dan ada buku yang ia genggam di jemarinya. Ia serius membaca, tak memedulikan keadaan sekitar. Aku melirik perlahan, dan mencoba untuk menyembunyikan rasa penasaranku. Aku mengambil ancang-ancang dan berpikir sebentar. Ada tempat duduk kosong di sampingnya, hal ini jarang terjadi. Aku mengambil langkah sok santai, berjalan mendekatinya.
            Deg. Aku duduk. Di sampingnya. Bersama seorang pria yang kucintai selama tiga tahun. Ini pertama kalinya. Aku seperti tak bernapas. Rohku melayang di udara. Tercekat hebat. Nampaknya dia memang tak peduli, dia tak peduli siapa pun yang ada di sampingnya. Dia terlalu asik dengan dunianya. Aku mencoba bersandar, menghilangkah rasa salah tingkah. Tanganku hampir bergetar hebat, dan aku berusaha keras menyembunyikan rasa tololku itu.
            Kali ini, aku hanya naik kereta. Tak tahu harus ke mana, aku bolos mata kuliah siang ini. Terserah, aku tak peduli lagi, saat bersama pria ini seakan-akan aku melupakan rutinitasku. Aku ingin menghabisi waktu hanya untuk melihatnya, memandangnya, atau bahkan mengajaknya bicara, walau hanya beberapa menit saja.
            Dia menutup buku, dan mengintip ke iPod miliknya, seperti memilih lagu. Aku melirik sedikit ke arahnya dan tetap mencoba tenang, tidak melakukan gerakan yang mencurigakan. Aneh sekali, dia bahkan tak menatapku, aku seperti batu.
            Dia turun di Stasiun Sudirman, aku selalu ingat hal itu. Tapi, kantornya di dekat Roxy, bakso favorite-nya di dekat Sarinah. Semuanya berjauhan, mungkinkah dia suka bepergian? Mungkin, hal itu belum kuselidiki lebih jauh.
            Aku menatap stasiun tempat kereta berhenti, hampir mendekati Stasiun Sudirman. Entah mengapa, jantungku berdetak hebat. Aku punya rencana, agak sedikit jahat, atau mungkin nakal.
            Jemariku merogoh tas, mengenggam erat handphone-ku. Aku melakukan sedikit gerakan agar pria di sampingku merasa risih.
            Sempurna!
            Dia menatapku dengan tatapan heran. Aku bertemu mata dengannya. Seperti melayang, jantungku berdetak cepat. Stasiun semakin dekat. Aku tersenyum nakal ke arahnya.
            Pintu gerbong terbuka. Aku sengaja meninggalkan handphone-ku di bangku yang kududuki dan juga pria itu duduki. Beberapa detik, ia memang tak menyadari. Detik berikutnya, ia melihat handphone tak berpemilik tertinggal di bangku yang kita duduki. Ia berdiri dengan wajah panik, berusaha untuk mengejarku.
            Namun, pintu keburu tertutup.
            Kereta mulai berjalan meninggalkan stasiun, aku hanya menatapnya dengan tatapan senang. Dia berusaha keras mengetuk-ngetuk jendela kecil yang ada di dekat pintu. Memanggilku.
            “Hey!” mungkin itu bahasa yang bisa dilisankan saat melihat wajah paniknya berserakan.  Kereta berjalan dengan cepat, aku berpisah dengannya. Semua hanya terjadi beberapa detik.
            Itulah kali pertama dia benar-benar menatapku dan memerhatikanku.
            Aku tersenyum lebar. Semakin lebar.

bersambung ke Tatap atau Ucap (end)

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Evo Sastra
Designed by Evo Sastra
..
Back to top