Pria itu melirik ke arahku, semakin nakal dan semakin menggemaskan. Aku bisa menangkap bening matanya walau dalam keremangan. Ia sedang merangkul seorang wanita dengan sangat rapat, namun ia juga menatapku. Sesekali mengulum bibirnya, seperti ada kata-kata yang ingin meloncat dari mulutnya.
Aku juga menatapnya, tapi tatapanku tak seliar pria itu. Aku berusaha lebih lembut, lebih menyentuh, walaupun aku juga ingin lebih dari sekedar saling menatap. Menyentuh mungkin, atau saling mengeluarkan suara, mengucapkan sepatah kata. Apapun! Asal tak hanya saling menggeliatkan bola mata. Aku mencoba melempar pandang ke arah jendela, menatap lalu-lalang sepeda motor dan mobil yang berlari-larian hampir bringas. Menerobos lampu merah seenaknya, menyalip sesukanya, membunyikan klakson seinginnya. Aku merasa tak nyaman, ditambah lagi tatapan pria itu semakin membabi buta.
Wanita yang ia rangkul bersandar manja di bahunya, tangannya juga merangkul lembut wanita yang di sampingnya. Namun, semua terasa kosong. Pria itu seperti tak berfokus dengan wanita di sampingnya. Ini sudah hampir tiga minggu, jam yang sama dan tempat yang sama. Pria bermata nakal itu selalu duduk dengan wanita itu, dan aku selalu dapat tempat duduk yang berhadapan dengan mereka. Aku menghela napas pelan. Apakah semua adalah kebetulan?
Hari berikutnya, ia duduk di tempat yang sama. Tapi, kali ini kekasihnya membuka mata dan tak bersandar manja di bahunya. Mereka bercanda dan tertawa, berbicara mesra, namun aku berusaha keras tak mendengar percakapan mereka, karena mendengar percakapan orang yang sedang berpacaran itu menyebalkan, apalagi ketika aku sendirian. Musibah apalagi ini? Sial!
Aku sibuk memainkan jemariku, tapi seperti ada mata yang diam-diam melirik dan memerhatikanku, ada tatapan yang menyergap rasa penasaranku. Aku yang tertunduk mulai menegakan kepala. Aku mendapatkan mata yang sama, sedang menatapku dengan sendu. Kali ini tatapannya berbeda lagi, seperti tatapan minta pertolongan. Tatapan itu semakin meghipnotisku, aku terhanyut lama. Dan, tiba-tiba wanita di samping pria itu bersandar lagi di bahu kekasihnya. Begitu dalam. Begitu lekat. Sampai-sampai aku juga ingin membenamkan tubuhku dekat dengan pria itu.
Dia menatapku, kali ini dengan tatapan yang hangat. Aku jadi begitu mudah mengenalnya, kami tak berbicara juga tak mengeluarkan rentetan abjad dan kalimat. Tapi, aku seperti berkomunikasi dengannya. Ada bahasa lain yang tidak dilisankan tapi kami rasakan.
Aku merasakan ada hal yang aneh, kami selalu bertemu, di waktu yang sama. Setelah Maghrib dan ia selalu bersama wanita itu. Bukankah ini aneh? Jika dia sedang bersama kekasihnya, mengapa dia tetap fokus menatapku, juga memerhatikanku? Aku merasa diperlakukan istimewa walaupun hanya dengan tatapan yang tak biasa. Ia mulai bergelayut di dalam hari-hariku, rasa-rasanya aku harus pulang kantor lebih awal agar bisa menyamakan waktu dengan pria itu. Aku tak peduli, tak mau lagi peduli. Dia milik siapa atau suami siapa, aku tak peduli. Aku hanya suka ditatap dengan cara dia menatapku, dan dia satu-satunya pria yang bisa menggonjang-ganjingkan duniaku hanya dengan tatapannya.
Hanya remang-remang, dan selalu remang. Lampu angkot yang terang seadanya itu tak terlalu membantuku untuk mengenal lebih jauh lekuk indah wajah pria yang selama ini merenggut habis perhatianku. Aku hanya hapal matanya, aku hanya tahu bahwa lengannya cukup kokoh dan kuat untuk memeluk siapapun. Aku bahkan tak tahu suaranya, tak tahu namanya.
Suatu ketika, aku tertegun lama. Tak ada pria itu juga kekasihnya duduk di hadapanku. Entahlah, aku gelisah setengah mati, napasku tercekat berat. Aku mual, aku rindu pria itu, aku ingin ditatap seliar itu. Aku merindukannya. Sungguh! Tapi, aku bisa apa? Meneleponnya? Memanggil namanya?
Tidak. Tidak bisa. Aku cuma bisa terdiam dan sesekali duduk dengan wajah merenggut. Tempat dudukku biasanya adalah di bangku ujung angkot. Aku senang duduk di situ, di belakang ada jendela yang besar, aku bisa menatap jalanan dari situ, dan membayangkan rasanya bersandar di bahu pria itu. Merasakan hangat desah napasnya, merasakan kokoh lengannya. Ah... aku mendesah pelan. Sungguh, mengapa saat aku benar-benar merindukannya, dia malah tak muncul dan menampakan dirinya?
Angkot terlihat sepi, hanya ada aku dan seorang ibu yang memangku anaknya. Aku berpikir keras, saking tak ada kerjaannya, mengapa anak itu tak didudukan saja di bangku? Bukankah banyak bangku kosong? Apakah sang ibu berusaha keras melindungi anaknya? Aku tak tahu, dan tak perlu tahu. Di saat-saat bingung seperti ini, aku sering banyak bertanya, namun jawabannya tak penting lagi bagiku. Karena aku hanya ingin tahu, aku ingin tahu di mana pria itu, dan mengapa ia tak ada di hadapanku sekarang, dan mengapa ia tak menatapku sehangat dan seliar kemarin malam.
Kaca jendela menghembuskan angin panjang, dingin. Aku merapatkan jaketku, dan membayangkan lagi pria itu. Seandainya saja, dia memelukku. Memelukku. Aku pasti tak kedinginan. Aku mau, sekali-kali, walau sekali saja, diperlakukan dengan lembut seperti ia memperlakukan kekasihnya. Atau mungkin lebih mesra, ia meraih tubuhku dengan banyak variasi. Seperti mengigit bibirku mungkin, atau membisikan kata-kata manis di telingaku. Atau apapun! Aku hanya ingin semuanya jadi nyata, bukan khayalan yang berputar-putar di otakku saja.
Aku menatap ke jendela belakang, jendela yang cukup besar. Aku menatap lampu-lampu jalanan, tapi tetap saja tak ada terang, hatiku meremang. Jalan Margonda begitu saja terlewati. Lalu, Stasiun Depok Baru, Stasiun Depok Lama, daerah-daerah itu terlewati dengan cepat. Aku melamun, tak memerhatikan hal-hal yang terjadi di sekelilingku, yang kutahu angkot begitu sepi. Hanya aku, supir dan bunyi roda yang bergeser santai di jalanan. Ibu dan anaknya sudah turun, entah kapan.
Bruk.
Angkot rem mendadak, aku terjedut dan kembali terpelanting ke dunia nyata. Aku megap-megap dan setengah kesal dengan supir angkot. Tak tahu sebabnya dia harus rem mendadak. Tapi, aku tak terlalu memedulikan kejadian mencengangkan itu. Aku masih menatap jalanan, tak peduli dengan bangku-bangku angkot yang kosong.
Srek.
Ada pergeseran, seperti ada seseorang di sampingku. Seketika itu aku terdiam, kurasa tak ada orang tadi, mengapa sekarang seperti ada pergerakan?
Aku menoleh, ada seseorang, yang wajahnya tak begitu asing. Dagunya jenjang dengan lehernya, bahunya kokoh, aku seperti pernah melihat sosok itu.
Ia mendekat.
Semakin dekat.
Seakan tak berjarak.
Ada sentuhan lain yang kurasakan, dia menggenggam erat jemariku. Aku terkejut, namun tak menghindar. Kali ini, aku mendengar suaranya, lembut sekali, seperti bisikan malaikat. Pria itu, yang selalu ingin kusentuh tubuhnya, kudengar suaranya, kini ada di sampingku.
“Abel.” bisiknya lembut ditelingaku, seperti menggelitik, aku merinding.
“Bagaimana kaubisa tahu namaku?”
“Aku tahu, bahkan sebelum hari ini terjadi.”
Dia membelai rambutku, mengarahkan kepalaku bersandar di bahunya.
“Kenapa kamu berlaku seperti ini?”
Dia tertawa kecil.
“Aku melucu? Aku bahkan tidak tahu namamu, tidak adil.”
Pria itu menatapku, sangat dalam, aku tersengat ketajaman matanya.
“Di mana kekasihmu?”
“Di rumah kekasihnya.”
“Maksudmu?”
“Dia sedang bersama kekasihnya.”
“Kekasih yang mana? Kamu kekasihnya kan?”
Ia mendengus pelan, bernapas di dekat telingaku. Aku seperti mendengar detak jantungnya yang memburu.
“Kamu tidak menjawab.”
“Tak ada yang perlu dijawab, kamu sudah tahu jawabannya.”
“Aku tahu jawabannya?”
Aku terdiam. Dia juga terdiam. Angkot melaju tanpa memedulikan aku dan pria itu.
“Iya, Abel. Kamu tahu semuanya.”
“Jadi, dia bukan kekasihmu?”
“Bukan.”
“Lantas?”
“Adikku.”
Kali ini, ia kembali menatapku. Membangunkan aku yang bersandar di bahunya. Ia menempelkan bibirnya di bibirku, beberapa detik. Aku juga bingung, kenapa aku diam ketika ia berlaku lancang seperti ini. Aku tak mengerti, juga tak perlu mengerti. Dia datang begitu saja, tanpa rencana, dan aku tak paham arti kehadiran dia sepenuhnya.
Dia memelukku erat, entahlah. Dia memang penuh kejutan. Bahuku seperti basah, entah oleh apa. Sepertinya air mata, aku merasakannya.
“Adikku meninggal kemarin.”
Mataku terbelalak, terlalu mengejutkan. Ini kesempatan pertama kita saling berkenalan, dan sudah ada saja peristiwa yang mencengangkan.
Aku turut memeluknya, menegarkannya, menguatkannya, dan menepuk-nepuk bahunya. Aku tak mengerti, kenapa harus menenangkan dia, pria yang kukenal, yang baru saja kukenal.
Dia terdiam. Aku juga. Cukup lama.
Kemudian dia menatapku, lebih lama, dengan mata sembab.
Aku tak banyak bicara, ketika dia menciumku lagi. Bahkan lebih lama. Seperti kita sedang tidak di angkot saja.
Oh, iya. Kita di angkot ya?
Hah?!
0 comments