Tatap atau Ucap (end)

Silakan baca cerita sebelumnya di sini :)

            “Elo ninggal handphonelo di kereta?” mata Letisha membulat, tatapannya seperti turut memarahiku.
            Aku mengangguk pelan.
            “Tolol!” bentak Letisha kesal, ia menoyor kepalaku.
            “Gue salah?”
            “Iya, ngapain pake segala handphone elo libatkan?”
            “Gue juga enggak tahu, gue cuma kepikiran itu sih.”
            “Kok elo polos banget?”
            “Bukannya polos, Sha. Kadang, untuk cinta kita ga harus mikir banyak, walaupun mikir banyak itu perlu.”
            “Iya, tapi enggak  harus dengan meninggalkan handphonekan?”
            Aku terdiam dan kebingungan menjawab pertanyaan Letisha.
            “Bian, apa setragis itu?”
            “Apanya, Sha?”
            “Maksud gue, apa elo bener-bener kehilangan cara buat kenalan sama dia?”
            “Gue enggak kehilangan cara, gue cuma agak canggung saat bersama dia.”
            “Canggung?”
            “Dia terlalu sempurna buat gue, dia terlalu luar biasa buat gue, dan gue ngerasa bukan apa-apa. Bukan siapa-siapa.”
            “Elo mau nyerah?”
            Aku terdiam, dan membiarkan pertanyaan Letisha menggantung di udara cukup lama. “Gue baru mulai, masa gue harus nyerah?”
            Letisha tersenyum lebar, mungkin dia senang kalau kata-kata motivasinya telah memotivasiku dengan cukup mudah. “Besok elo mau ke mana?”
            “Ke stasiun.”
            “Bolos lagi?”
            “Enggak, gue ke stasiun pas malemnya aja. Pas dia pulang.”
            “Mau gue temenin?”
            “Gue bisa mengejar sendiri, Sha. Ada hal yang harus kita kerjakan sendiri kan?”
            Letisha memelukku, mungkin dia merasa terharu melihat perjuanganku. Pantaskah dia terharu? Aku baru memulai semuanya.
***
            Aku duduk, dan tak merasakan getaran aneh di dadaku. Aku mulai terbiasa. Menunggu. Pria itu. Di Stasiun Sudirman, kereta terakhir pukul sepuluh malam. Kereta yang benar-benar terakhir. Sudah cukup sepi, aku merapatkan jaketku dan berharap dinginnya Jakarta tidak memperparah keadaan. Aku sendirian. Juga kesepian.
            Bangku yang kududuki juga tak diduduki orang lain. Entahlah, sepi sekali di sini. Kereta masih belum datang, tapi aku sejak tadi sudah melempar pandang. Aku berharap menemukan pria itu. Iya, pria yang diam-diam kuperhatikan dan kucintai dengan sangat brutal.
            Hanya ada beberapa orang yang terlihat, mereka juga sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ada yang memakan gorengan juga sibuk dengan handphone-nya. Aku sibuk memerhatikan area stasiun, berusaha mencari sosok yang telah membuatku sulit tidur itu.
            Rasanya aku mengantuk, angin malam mengundang rasa lelahku. Aku merasa masuk angin, juga kedinginan. Aku menyandarkan kepalaku pada tiang, sesekali memejamkan mata, karena kuliah tadi siang memang cukup menguras kinerja otakku. Aku terdiam dan tak bergerak tanpa sebab. Gelap.
            Aku tertidur.
***
            “Kenapa tidur di sini?”
            Ada suara asing.
            “Kamu enggak punya rumah?”
            Kalimat kedua, tak terdengar begitu jelas di telingaku.
            “Kamu sakit?”
            Aku mulai sadar, suara pria itu mulai terdengar.
            “Kamu enggak punya mulut? Kenapa enggak jawab?”
            Pertanyaan itu seperti merangsek masuk menuju kesadaraanku. Kesadaraanku naik lagi satu tingkat.
            “Kamu demam.”
            Tangan itu menyentuh dahiku, aku tak bergerak banyak. Aku merasa tubuhku berat. Aku tak langsung menatap sosok itu. Aku bahkan tak ingat pada kejadian yang berlalu tadi. Aku tak tahu posisiku berada di mana. Aku lupa sama sekali. Ingatanku goyah.
            “Aku menunggu kereta terakhir.”
            “Kereta terakhir sudah berangkat dua jam yang lalu. Kamu gelandangan?”
            Kepalaku masih kusandarkan di tiang tempat aku duduk tadi. Pandanganku berkunang-kunang, aku sulit bernapas.
            “Dingin.”
            Sosok itu mendekat. Semakin dekat. Aku bisa rasakan dengusan napasnya di telingaku. Napasnya memburu hangat, hembusannya terasa di pipiku. Aku tak bisa banyak bergerak, tubuhku terkunci oleh pelukannya.
            “Kamu siapa?” desahku sangat pelan, bahkan hampir tak terdengar.
            “Kamu kenal aku kok, coba lihat aku.”
            Aku enggan menoleh, sosok itu memelukku dengan erat. Ruang gerakku terbatas.
            “Kamu nunggu apa di sini?”
            “Bukan nunggu apa, tapi nunggu siapa.”
            “Iya, kamu nunggu siapa?”
            “Seseorang. Dia pulang biasanya jam sepuluh malam. Ini jam berapa?”
            “Jam dua belas, tengah malam. Dan kamu masih di sini, ke mana orang yang kamu cari?”
            “Aku tertinggal dua jam?” tanyaku pelan, masih dengan pandangan berkunang-kunang.
            “Tidak tertinggal, dia memang tidak pergi ke mana-mana.”
            “Kamu sok tahu, tahu dari mana?”
            “Aku sudah tahu, tanpa kauberitahu.” dia masih memelukku, semakin hangat. Aku seperti dipeluk malaikat.
            Mataku terpejam sebentar, aku ingin terus seperti ini. Dalam keadaan sehangat ini.
            “Kamu sakit?”
            “Cuma masuk angin.”
            “Kenapa kamu harus repot-repot ke sini?”
            “Aku berjuang untuk seseorang.” jawabku singkat dan lugu, aku tak memikirkan lebih jauh tentang perkataanku. Kepalaku terlalu pusing, tak sempat memikirkan hal-hal yang rumit.
            “Siapa orang itu?”
            Aku terdiam ketika sosok itu melingkarkan tangannya di pinggangku. Tempat ini begitu sepi, aku baru tahu kalau aku berada di stasiun. Dan, sepertinya hanya tersisa aku dan sosok itu.
            “Kamu kok diam?”
            “Kalau kusebut nama orang yang kutunggu, kamu belum tentu mengenalnya.”
            “Benarkah?”
            Aku mengangguk dan menyandarkan kepalaku ke wajahnya. Rambutku seperti menyentuh sesuatu, kacamata.
            “Aku mau tahu siapa nama orang yang kautunggu. Tidak boleh?”
            Aku tersenyum, dan tawaku terdengar kecil. “Kamu tidak akan mengenal orangnya.”
            “Aku mengenalnya.”
            “Sungguh?”
            “Aku ingin mengembalikan handphone-mu yang sengaja kamu tinggalkan kemarin.”
            Handphone? Jantungku berpindah ke paru-paru, aku langsung melebarkan pandangan mata. Dan menoleh pada sosok itu.
            Bagas.
            Dia tersenyum manis menatapku, wajahnya lembut disinari cahaya remang stasiun kala itu.
            Aku terdiam.
            Seperti biasanya, saat aku menatapnya.
            Tak bisa bicara banyak.

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Evo Sastra
Designed by Evo Sastra
..
Back to top