Tatap atau Ucap (part II)

Silakan baca cerita awal di sini :)

            "Halo, gue Bianca. Kedokteran UI, semester empat. Gue suka sama elo udah lumayan lama sih."
            Aku sibuk menatap cermin, mereka-reka setiap kosakata di otakku dan berlatih berbicara. Aku berusaha menggombal, membuat kata-kata penuh metafora dan berharap pria itu melekatkan sedikit perhatiannya padaku.
            "Aku sayang sama kamu udah lama banget, sampai-sampai aku lupa mencintai diriku sendiri."
            Memang tak pandai merangkai kata, aku hanya jago menghapal anatomi tubuh mahluk hidup dan menganalisis ilmu kedokteran. Tapi... saat dihadapkan dengan masalah perasaan, mengapa aku begitu bodoh? Mengapa aku seperti bayi yang tak tahu apa-apa?
            “Kita bertemu pertama kali di Stasiun Tanjang Barat. Tiga tahun yang lalu, waktu itu aku masih pakai putih abu-abu.”
            Ingatanku menjamah peristiwa yang tak pernah kulupa, selalu ingat, selalu menempel di otak. Keningku berkerut, aku bahkan tak percaya pada banyak hal yang telah kulakukan. Aku mengingat setiap detail yang terjadi bersama dengan pria itu. Aku seperti robot yang memiliki memori tetap, yang otaknya hanya bekerja untuk mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi.
            “Tidak ada tabrakan seperti di sinetron memang, aku cuma senang memerhatikan sosokmu yang berbeda. Buku-bukumu juga berselera tinggi. Seno Gumira Ajidarma, Pramoedya Ananta Toer, dan Arswendo Atmowiloto.” aku mengingat pertemuan awal kita dulu, rasanya manis dan aku terhipnotis. “Sesekali kamu memperbaiki kacamatamu dan meminum air mineral yang kamu bawa. Kemudian, kamu terdiam dan berkonsentrasi lagi pada bukumu. Kamu yang diam saja bisa begitu buatku terpesona, apalagi kamu yang mengajakku bicara?”
            Lengkungan senyum tergores sempurna di bibirku. Aku masih terus berlatih, semakin keras.
            “Kita tak pernah saling berbicara, tapi pernah satu kali bertatapan mata. Jumat, 9 Juli 2009. Waktu itu aku pura-pura jatuh di depanmu dan kauhanya menatapku. Kamu tak bereaksi banyak. Terlalu cuek. Aku jadi terlihat bodoh.”
            Aku menunduk dan memerhatikan tatapanku sendiri di depan cermin. Kosong.
            “Kamu tahu namaku? Kamu mengenalku? Siapa aku di matamu?”  
            Kulihat diriku yang kini semakin berbeda. Raut wajah, lekuk tubuh, tatapan mata... semuanya telah berbeda. Tak ada yang sama.
            "Bagaimana mungkin, aku yang buta cinta sama sekali bisa begitu mencintaimu, Gas?"
            Bagas. Iya, pria itu namanya Bagas. Namanya gagah bukan? Matahari, itulah arti dari Bagaskara. Dia seperti matahari dalam hidupku, dia berpijar menerangi hari-hariku. Tapi, karena ia terlalu terang, karena ia terlalu sempurna, ia jadi tak menyadari kehadiran aku dalam kesempurnaannya.
            Aku menghela napas perlahan, apakah aku benar-benar harus mengajaknya bicara? Ataukah cukup mencintainya seperti dulu saja? Diam-diam. Hanya menatap, tanpa mengucap. Salahkah jika aku nyaman pada hal-hal lama yang pernah kulakukan? Tapi, bukankah hidup bergerak maju? Bukankah dunia selalu berputar dan berganti-ganti, begitu juga manusia yang ada di dalamnya. Masa, aku yang semakin menua ini, tak semakin dewasa dan berani?
            "Bagas, kamu lihat usahaku? Kamu lihat perjuanganku? Kamu mengenalku?"
            Tidak. Bagas tidak mengenalku, bahkan aku luput dari tatapannya. Aku hanya bersembunyi dan berlari, tanpa pernah tahu apa yang kutakuti dan kuhindari. Letisha benar, aku pengecut. Pantaskah seseorang yang kerdil seperti aku mengajak Bagas berkenalan? Berbicara sepatah katapun tak layak, apalagi jika harus melanjutkan kata "hey" yang singkat menjadi percakapan manis yang berkesan. Aku takut. Aku bukan siapa-siapa.
            Langkahku gontai mendekati bibir tempat tidur. Aku merebahkan tubuhku dan menarik selimut untuk mengurangi rasa dingin yang mulai merasuk tulang. Bantal guling yang ada di sampingku segera kudekap di dada. Pelukanku semakin kuat, seakan-akan mencari kekuatan di sana. Aku menangis tanpa sadar, air mataku mengalir mendekati bantal tempatku menyandarkan kepala. Aku tak mengerti alasan air mata ini terjatuh, karena bahkan air mata pun tak butuh alasan. Tapi, aku tahu, ini air mata untuk Bagas. Seseorang yang terlalu sempurna bagiku, seseorang yang terlalu hebat di mataku, dan aku tak pernah mampu mengimbanginya.
            Mataku yang sembab sengaja berpindah tatap ke langit-langit kamar. Lagi dan lagi wajah Bagas berayun di situ, aku benci setengah mati, aku bisa semalaman seperti ini. Tertegun lama dan tak mengerti pada jalan pikiranku sendiri. Aku tolol, iya tolol! Memikirkan seseorang yang tak memikirkanku, menangisi seseorang yang tak menangisiku, juga merindukan seseorang yang tidak merindukanku. Tapi, rasa sakit itu seakan-akan melengkapi perasaanku. Aku bahagia walaupun ada luka, aku bahagia mencintai Bagas. Dia seperti harta yang seharusnya kujaga.
            Bagas. Iya, nama itu memenuhi isi otakku. Sampai-sampai tak ada lagi ruang untuk lelaki lain. Pria itu telah mengunci seluruh rasa perhatianku, ia seperti punya kekuatan magis yang membuat aku terus memusatkan ia sebagai yang pertama dan utama. Aku tersenyum, bahkan dalam tangisku pun, aku masih berusaha untuk terlihat bahagia. Bukankah, memang tak ada manusia yang benar-benar tegar? Mereka hanya berusaha untuk terlihat tegar, soal kepura-puraan atau kenyataan, itu urusan belakangan.
            "Kamu enggak tahu seberapa dalam aku sayang sama kamu, Gas. Seberapa sering aku diam-diam membuang-buang waktuku hanya untuk melihat kamu dari kejauhan. Aku emang pengecut, Gas. Aku..."
            Air mata. Lagi.

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Evo Sastra
Designed by Evo Sastra
..
Back to top