"karena yang kaukira adalah mimpi indah, belum tentu berakhir dengan indah."
Sempurna!
Foto ke seratus tiga puluh lima. Dias tersenyum memandangi setiap lekuk sempurna di tubuh wanita itu. Jemarinya menyentuh layar SLR yang ia genggam, dengan pelan dan hati-hati. Seandainya, dengan tangannya, ia bisa benar-benar menyentuh wanita itu. Wanita itu sempurna. Keningnya, hidungnya, telinganya, bibirnya, seakan-akan tanpa cela. Pahatan tangan Tuhan yang mahakarya. Dias tak bicara banyak, ia hanya mampu tersenyum dan menatap, tanpa berani menyentuh juga mengeluh.
Langkahnya melewati lorong tempat lukisan-lukisan terpajang di dinding. Mulai menjauh dari wanita itu. Cahaya terang dalam ruangan membiaskan bayang-bayang orang yang berjalan dan mengamati benda-benda seni. Dias turut masuk dalam keramaian yang ada, lalu-lalang penikmat seni yang melihat dengan teliti kadang juga dengan langkah terhenti. Mereka berfokus pada beberapa karya seni yang menarik dan apik. Tapi, Dias tak terlalu tertarik. Ada sesuatu yang lebih penting dari pameran ini. Wanita yang ia koleksi potretnya. Sudah lama. Sejak enam bulan yang lalu.
Kakinya berjalan menuju area pameran perfilman, dari sudut yang tak diketahui, Dias masih saja memerhatikan wanita itu. Ia seperti terhipnotis, jemarinya kembali memotret sosok manis, walau hanya punggung dan rambut panjangnya saja yang tertangkap kamera. Dias bersandar di dinding seakan-akan tak ingin wanita itu mengetahui kehadiran Dias. Ia sedikit menggerakan kepalanya, wanita itu masih di sana, mengagumi karya-karya yang tercipta.
Ia menghela napas panjang, dan kembali menatap ke area perfilman. Wanita itu menghilang secara tiba-tiba. Raib tak berbekas. Dias menyapu pandangan ke segala arah. Tetap saja, tak ada. Ia berjalan cepat mengitari ruang pameran. Berjibaku dengan keramaian yang ada, ia menatap setiap wajah. Namun, wanita itu tak ada.
Selalu muncul dan lalu pergi secara mendadak, secara tiba-tiba dan sulit diprediksi. Ia harus menunggu satu minggu lagi, untuk bertemu dengan wanita itu. Padahal, perasaan kangen yang melubangi hatinya belum juga tertutup rapat. Dias tetap menunggu, setia untuk menunggu.
Apa salahnya menunggu? Meskipun membosankan, meskipun menyakitkan, tapi Dias tetap ingin melakukan itu. Memang tak ada alasan mengapa Dias harus menunggu, ia hanya ingin menunggu dan terus menunggu. Sungguh, tak ada alasan, karena menunggu kadang memang tak perlu penjelasan juga alasan bukan? Menunggu seperti fase yang harus dilewati seseorang, untuk bertemu dengan kebahagiaannya. Begitu juga Dias. Entah sampai kapan, dan berakhir dengan bahagia atau luka. Dias hanya tahu menunggu, tanpa pernah tahu hal yang harus ia tuju. Hari berganti, dan ia masih menunggu. Tanpa alasan, tanpa keluhan, Dias tetap bertahan.
Dias percaya bahwa dirinya bukan pengecut, yang hanya diam-diam mengagumi lalu sepenuhnya bersembunyi. Ia juga yakin hal yang ia lakukan bukanlah sebuah kesalahan, apakah salahnya mengagumi seseorang dengan sangat dalam? Itulah yang Dias rasakan. Awalnya, semua tak merepotkan, namun ketika perasaan itu hadir dan terlihat semakin nyata, Dias jadi merasa resah. Ia bahkan tak tahu nama bidadari yang semakin hari semakin meresahkannya.
Sungguh, Dias percaya kalau dia bukan pengecut. Dia hanya butuh waktu. Iya, waktu yang tepat. Semua akan indah pada waktunya bukan? Tapi, Dias seakan-akan tak tahu waktu yang tepat akan terjadi kapan. Wanita itu benar-benar menggerogoti nalar dan akal sehatnya. Otak Dias sulit bekerja secara maksimal saat wanita itu berjarak beberapa meter dari pandangannya, walaupun masih jauh, bahkan sangat jauh. Dias tak tahu sosok seperti apa yang dia cintai, ia hanya tahu perasaan itu ada dan semakin hari semakin membuatnya tersiksa.
Setiap minggu, di Taman Budaya, selalu ada pameran yang berbeda. Dias ditugaskan sebagai fotografer yang mendokumentasikan acara tersebut. Setiap minggu, di Taman Budaya, Dias selalu menunggu-nunggu waktu itu. Karena pasti hawa yang telah merenggut habis perhatiannya akan muncul secara tiba-tiba. Seperti Cinderella yang tak jelas kapan ia datang dan tak pernah diketahui kapan ia pulang. Di balik kemisteriusannya, Dias tetap jatuh cinta. Ia tak banyak bertanya, juga tak banyak mengeluh apalagi menuntut.
Dia tak tahu harus berbuat apa, sampai pada akhirnya ia menatap seorang satpam yang menjadi pagar betis di pintu masuk pameran.
***
“Jadi satpam?” lantang, suara Pak Karjo membahana, nadanya terdengar tak percaya.
Pria bertubuh gempal itu berhenti menghisap rokoknya. Beliau adalah penanggung jawab pameran yang mengatur panita pelaksana pameran setiap minggu di Taman Budaya. Agak keras namun seperti orang Yogya lainnya, berhati lembut dan nyaman.
Tanpa ungkapan, Dias mengangguk mantap.
“Kenapa?” tatapan Pak Karjo tajam menusuk-nusuk ke arah Dias.
“Saya butuh pekerjaan ini, Pak. Sangat butuh.”
“Seberapa pentingkah pekerjaan satpam hingga kamu tak ingin lagi jadi fotografer?”
“Sangat penting. Ini soal takdir.”
“Takdir? Mbok yokamu jangan becanda tho.”
“Saya serius, Pak.”
“Gaji fotografer lebih banyak daripada gaji seorang satpam, Nak Dias.”
“Saya tidak mengejar gaji.” jelas Dias singkat, suara renyahnya menenangkan perasaan Pak Karjo yang terkejut.
“Lantas, kamu mengejar apa?”
“Ada sesuatu yang lebih penting daripada gaji.”
“Apa?”
“Cinta.”
***
Malam itu langit Yogya terlihat cerah. Cahaya lampu sorot turut membantu bulan menerangi gelapnya malam. Musik perjuangan rakyat yang lirik lagunya bernilai seni tinggi sudah terdengar sejak pukul tujuh malam tadi. Ada penonton yang meramaikan panggung Taman Budaya juga meramaikan ruang pameran Taman Budaya.
Dias berdiri tegak. Mantap. Ia membenarkan kerah bajunya dan topi satpam yang ia kenakan. Pentungan yang kaku berada di dekat saku celananya. Ia sangat bangga dengan pakaian itu. Penikmat pameran yang ingin memasuki ruang pameran mulai ramai, tugas Dias dan kawanan satpam lainnya adalah membuat pagar betis agar antrean tak berdesak-desakan dan ruangan di dalam pameran berkapasitas pas, tidak terlalu penuh dan sesak.
Suasana di pintu masuk pameran memang cukup ramai, maklum malam minggu. Penikmat seni yang datang juga beragam. Ada yang berambut gimbal, bertatto, bertindik anting, bercelana pendek, juga hadir dengan pakaian biasa dan sederhana. Bermacam-macam penikmat seni diperhatikan oleh Dias, satu peratu wajah mereka mampir dalam tatapan mata Dias. Namun, wanita yang ia tunggu dan ia cari tak ada.
Ia masih menunggu, hingga pukul sembilan malam, ketika antrean mulai semakin ramai oleh orang-orang yang habis menonton panggung musik tadi. Dias mulai bosan dan lelah, tubuhnya telah lunglai karena berdiri terlalu lama. Ia sempat didorong juga dikritik oleh beberapa penikmat seni yang menunggu di pintu masuk pameran.
Dias masih bersabar, ia melempar pandangan ke segala arah. Hingga pada suatu ketika, seorang wanita berdiri di depannya. Mengantre dengan tenang dan santai.
Jantung Dias berdebar cepat. Wanita itu.
Jarak Dias memandangnya kini lebih dekat, hanya beberapa sentimeter, tak lagi bermeter-meter. Sekitar beberapa detik, mereka bertemu mata, dan Dias seakan-akan tak bernapas.
“Pamerannya masih lama ya?” ucap wanita itu dengan suara lembut, yang membuat Dias semakin tak percaya pada apa yang ia lihat.
“Ma... ma... masih, Mbak.” jawab Dias terbata-bata.
“Antreannya ramai juga ya?”
“Iya, lumayan, Mbak.”
Dias tak bisa bicara banyak, ia hanya mematung dan selebihnya tak tahu harus berbuat apa. Dias mengerti bahwa debaran jantung yang begitu kencang ini disebabkan oleh wanita yang berada di hadapannya.
“Kayaknya, aku pernah lihat kamu deh, tapi di dalam gedung bukan di luar gedung.”
“Ah, Mbak salah lihat mungkin.” Dias mengelak.
“Iya, mungkin aku salah lihat ya.”
“Mbaknya dari mana?”
“Habis dari Malioboro.”
“Oh, sendirian?”
Pertanyaan Dias adalah pertanyaan pancingan, kesempatan.
Wanita itu baru ingin membuka suara, namun tiba-tiba seorang anak kecil mendekatinya. Perempuan kecil yang menggemaskan itu membawa sebuah kunciran pada pergelangan tangannya. Ia berusaha menerobos antrean di belakang hingga ke depan, mendekati wanita itu.
“Mama, rambut Adek berantakan.” kata perempuan kecil dengan suaranya yang manja.
Dias terbelalak, ia terdiam. Perasaannya mulai tak enak. Seperti ada ribuan panah yang merasuk dalam tubuhnya, ia semakin sulit bernapas. Detak jatungnya malah pelan. Belum sempat ia merapikan jengkal napasnya, seorang pria berkacamata tiba-tiba turut menerobos antrean, berdiri di samping wanita itu, menyikut beberapa orang yang lebih dulu berada di posisi itu.
Ia tak tahu harus berbuat apa. Ketika antrean dibuka dan para penikmat seni dipersilakan masuk, wanita itu tersenyum sambil menatap Dias, lalu kemudian meninggalkannya. Tapi, Dias tak berhenti menatap, ia masih terlalu asing dengan perasaan yang baru saja ia rasakan. Mereka memasuki gedung pameran, Dias masih tak berhenti memerhatikan. Perempuan kecil yang membawa kuncir rambut digandeng lembut oleh wanita itu, sementara pria berkacamata yang berdiri tepat di sampingnya merangkul dengan mesra wanita yang telah Dias cintai selama berbulan-bulan.
Helaan napas Dias terdengar berat, ia berjalan terhuyung-huyung.
Tak sempat memunguti hatinya yang patah.
0 comments