“Jangan anggap ini tipuan ataupun permainan, ini sungguhan, Sayang!”
Aku tersenyum geli, berusaha mencerna kata-katanya dengan baik dan benar. “Iya, Sayang, aku selalu percaya apa yang kamu katakan.”
“Bim Salabim, hilanglah permen dari tanganku!” ia mengucapkan mantra, “Sayang, kamu tiup tangan aku sekarang. Lihat apa yang terjadi.”
Napasku mengembuskan udara di tangan kanannya dan permen yang sejak tadi ia genggam tiba-tiba hilang begitu saja.
“Sayang, kok permennya hilang?”
“Namanya juga sulap.” Jerry mencubit hidungku, “Kamu suka permainan sulap aku?”
“Suka... tapi, tadi tipuan kan? Kepalsuan?”
“Nggak, Sayang. Itu beneran magic!”
Anggukan kepalaku berusaha terlihat mantap di depan mata Jerry. Aku mencintainya dan tidak akan mungkin mengecewakannya.
“Tadi bagaimana di kampusmu? Segalanya menyenangkan?”
“Iya, Sayang. Kalau kampusmu, gimana?”
“Sama menyenangkannya, seperti yang kamu rasakan.”
Aku tersenyum, aku selalu senang jika orang yang kucintai bahagia dengan pilihannya.
“Dia masih bersamamu?”
Jerry terdiam.
“Masih ya?”
“Kamu tahu aku hanya punya perasaan lebih sama kamu.”
“Kalau sama dia, apa perasaanmu tak lebih?”
Sunyi meringkuk kebersamaan kami kala itu. Pertanyaan yang kulontarkan tak membuahkan jawab di bibir Jerry.
“Bahkan untuk menjawab pertanyaan semudah itu saja; kamu tak bisa.”
“Jika aku selalu meluangkan waktu untukmu agar bisa bertemu, masih haruskah banyak alasan kujelaskan?”
“Kadang, seseorang seakan-akan terlihat mencintaimu, namun di sisi lain; ia sebenarnya mencintai orang lain.”
“Aku bukan pria seperti itu.”
“Siapa yang tahu segalanya? Aku tak selalu ada di sampingmu.”
“Kamu tak selalu ada di sampingku, tapi bukankah aku selalu ada di sampingmu ketika kamu butuh?”
“Hanya saat butuh.”
Jerry menghela napas, “Kita tak bisa terus bertemu, jangan sia-siakan pertemuan kali ini!”
Aku terpaksa mengalah. Ia melanjutkan lagi permainan sulapnya, yang selalu ia yakinkan padaku bahwa semuanya adalah magic bukan tipuan!
Senyumku mengembang tak seikhlas awal permainan. Ada sesuatu mengganjal dalam hatiku. Entah mengapa, saat melihat matanya, aku seperti takut pada rasa kehilangan.
***
Aku wanita yang baru saja mengenal cinta. Aku belum paham apakah cinta hanyalah ruang untuk dua orang atau bisa juga untuk tiga orang. Hati pada akhirnya melangkahkan harapanku pada Jerry. Pria yang semakin aku kenal, semakin tak kupahami juga jalan pikirannya.
Dia kekasih sahabatku.
Iya, aku tahu, ini kesalahanku yang tak bisa menahan diri agar tak jatuh cinta dengan orang lain. Tapi, apakah manusia bisa menduga dengan siapa dia akan jatuh cinta? Omong kosong jika orang ketiga adalah sumber masalah dari segala macam pertengkaran antara dua orang yang saling mencintai. Aku tak pernah memaksa Jerry untuk terus bersamaku, dia yang mendatangiku ketika aku membutuhkan kehadirannya. Terkadang, aku sedih dan sepi sendiri; aku berprinsip tak akan memperlihatkan air mataku di depannya. Aku cukup kuat menahan diri agar tak menangis di depannya.
Aku tak ingin kehadiranku mengganggunya. Aku tak ingin hubunganku bersama Jerry menyebabkan air mata di pelupuk mata sahabatku sendiri. Kepercayaanku sepenuhnya untuk Jerry. Aku percaya bahwa pelukannya, kata-katanya, dan tindakan manisnya hanya ia berikan untukku satu-satunya. Aku percaya segalanya tentang Jerry. Aku tak mau tahu apa yang telah dilakukan Jerry bersama dengan sahabatku. Aku tak mau tahu, tapi sahabatku selalu bercerita padaku tentang yang ia lakukan bersama Jerry. Itu membuatku muak dan ingin menangis sekencang-kencangnya. Apa salahku hingga aku dibikin sakit begini?
Mungkin, ini kesalahan yang aku buat sendiri. Mungkin....
“Sayang!” Jerry menepuk bahuku. “Kenapa murung?”
Ia duduk tepat di depanku, matanya meneliti wajahku yang terlipat cemberut.
“Hari ini, kamu dua tahunan sama dia kan? Nggak kasih kejutan?”
“Sehabis pulang dari sini, aku mau kasih kejutan sama dia. Kamu mau bantu?”
Aku terdiam. Dengan membantu memberi kejutan mengenai hari jadi hubungan mereka, hal itu turut membantu menggoreskan luka baru bagiku.
“Kaupergi sendiri sajalah. Tugasku banyak.”
“Tugasmu banyak atau kamu takut cemburu?” dengan nada yang baginya lucu, ia menertawaiku.
“Cara becandamu murahan.”
“Kalau kamu wanita murahan.” Jerry tertawa lebih kencang kali ini.
“Bukankah hanya pria paling murahan yang hanya tertarik wanita murahan? Kamu lebih murah.”
Jerry berhenti tertawa.
***
Aku melihat senyum bahagia mereka dari kejauhan. Suasana senja kala itu seperti adegan film paling romantis, tapi paling miris dalam pandanganku.
Jerry mencium kening sahabatku dengan mesra, menyematkan cincin di jari manis sahabatku, kemudian memeluk sahabatku dengan pelukan paling mesra. Pelukan yang nampaknya tak kurasakan sehangat itu ketika bersama Jerry.
Dari kaca mobil, aku bisa menangis tanpa terlihat oleh Jerry. Aku selalu menangis di belakangnya, karena dengan cara seperti itu; aku tak akan terlihat lemah dan terluka parah.
Beberapa menit kemudian, kulihat Jerry mengambil jarak sebentar. Ia berjalan menjauhi sahabatku dan mengambil ponsel di celana jeans-nya. Aku tahu ia meneleponku, karena handphone-ku bergetar hebat kala itu.
Bagiku, itu mengagetkan. Ia masih bersama sahabatku, namun ternyata ia masih memikirkan aku. Aku heran dan mencoba menepis prasangka-prasangka baik mengenai Jerry. Aku memilih melajukan mobilku, mematikan handphone-ku, memutar musik keras-keras, agar tangisku— tak terdengar memilukan.
Aku tak perlu ada ditengah-tengah kebahagiaan dua orang.
Harusnya kesadaranku tumbuh sejak awal, agar aku tak terlalu perih.
Mungkinkah ini kesalahan?
Mengapa orang ketiga selalu dipersalahkan? Apakah mereka tahu yang sesungguhnya aku
rasakan? Dalam suasana seperti ini, sebenarnya aku lebih butuh kehadiran Jerry; bukan kehadiran isak tangis.
Semua tak lebih dari tipuan, sama seperti saat Jerry memperlihatkan keahlian sulapnya.
Hanya tipuan. Begitu juga soal perasaan.
0 comments