RINDU MENEMU BASUH, Karya MIEFT AENZEISH



RINDU MENEMU BASUH, Karya MIEFT AENZEISH



Rembulan tampak sayup-sayup menerangi malam, suara burung gagak terdengar begitu sangat menggigilkan pundak, angin seakan merasakan kesedihan seorang gadis kecil yang baru saja di tinggal mati ibunya, matanya kosong menerawang lentera-lentera kecil di sebaris panjang jalan, tiba-tiba tubuhnya gemetar, air matanya menderas, wajahnya semakin pucat pasi, bibir mungilnya berulang kali mengucapkan : “Tuhan, engkau dimana? Aku ingin memelukMu Tuhan, aku sekarang tidak lagi punya seorang peneduh di saat keluh atau seorang tabib ketika aku lekih-lekuh, Tuhan aku ingin duduk di pangkuanMu”, malam semakin larut dalam kesunyiannya, menambah sepi ketika bulan dan bintang tertutup gumpalan awan hitam yang seakan mengerti dan ikut menangisi dengan meneteskan rintik-rintiknya, tubuh kecilnya masih membatu sembari duduk di depan pintu, tangannya terus mengetuk-ngetuk ubin dengan pisau yang sedari tadi ia bawa.

Tiba-tiba terlihat bayangan seorang lelaki dewasa dari reremang jalan setapak yang kanan kirinya penuh pepohonan rindang, ia menjinjing sebuah kresek hitam yang entah apa di dalamnya, ketika semakin mendekat kini si gadis kecil mengenali raut wajahnya dan ia adalah pamannya, seketika itu pula si gadis kecil berlari ke arah sang paman masih dengan membawa pisaunya, pamannya begitu keheranan melihat tingkah keponakan yang ia sayangi itu, terutama karena tangisan dan pisau yang dibawanya. Kemudian si gadis kecil menghempaskan badannya di kedua kaki sang paman dan memeluknya erat-erat, maka tangisnya kini semakin tak terbendung, terus mengalir, menderas bagai curug batu cadas.

Sang paman seperti di cambuk seribu satu pertanyaan, manakala si gadis kecil semakin meledak tangisnya kian erat pula pelukannya, sang paman hendak menanyakan perihal apa yang menyebabkan sang gadis kecil begitu sangat sedih dan tertekan, namun belum saja ia mengutarakannya, sang gadis kecil berucap “Ibu,,, Ibu di bunuh ayah”, sontak, kresek hitam yang ternyata berisi gorengan ubi itu pun lepas dari genggamannya, sebab ucapan gadis kecil itu bagaikan Guntur yang menyambar seluruh badannya, matanya tak terasa mengalirkan bulir-bulir kesedihan dan iba, wajahnya memerah menahan dendam amarah pada kakak iparnya yang telah begitu keji melenyapkan nyawa kakak kandungnya.

Kemudian, dengan pilu dan hampir tak ada tenaga sang paman menggendong si gadis kecil yang belum berhenti dari tangis duka yang menyelimutinya memasuki rumah menuju kamar dimana jasad sang kakak bersemayam. Ketika tiga-dua langkah lagi antara kaki dan pintu kamar, sang paman berhenti dan menundukkan lututnya pada ubin kemudian di turunkannya si gadis kecil dari gendongannya dan mendudukkannya pada bangku kayu. Selepas itu iya berdiri dan melangkah memasuki kamar itu………….


to be continued... Tunggu Episode ke 2 yah :)

Mieft Aenzeish

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Evo Sastra
Designed by Evo Sastra
..
Back to top