status pilihan dari fb, oleh Sastrawan KULO ISMET
PRESIDEN MALIOBORO DAN PSK
SAYA menjadi warga Negara Republik Malioboro pada 1977, saat Presiden Malioboro Umbu Landu Paranggi lengser keprabon madeg pandito. Di tahun itu saya tinggal di Sanggarbambu Rotowijayan, bareng Dadang Christanto dan Boedi Ismanto SA – kami bertiga sama-sama dari Negeri Warteg. Di sanggar itulah saya dikenalkan dengan Emha Ainun Nadjib dan Ebiet G Ade, kemudian kami ketemu EH Kartanegara di Bengkel Teater Rendra – belakangan Ehaka menyebut kami sebagai 4-E. Sejak itu kami berempat memang berkomplot dan bermarkas besar di rumah Emha. Maaf, sebenarnya bukan rumah, tapi bekas warung – menempel di tembok Kraton – yang dikontrak Emha.
Ya, saya tidak mengenal Umbu, tapi dari Emha saya banyak mendengar cerita tentang ‘si kuda Sumba’ itu. Karena saya pusing setiap Emha begitu getol melegendakan sang mantan Presiden, saya lantas berkata, “ya sudah kamu saja yang menggantikan sebagai Presiden Malioboro.” Entah mungkin banyak yang menjadi korban Emha, pelan tapi pasti ada penasbihan bahwa Presiden baru Malioboro adalah Emha Ainun Nadjib. Nah, giliran saya musti berkampanye, untuk menjadikan diri saya Menteri atau paling tidak Penasihat Presiden. Saya pun mulai mengirim puisi ke Pelopor dan dimuat oleh sang Redaktur Teguh Ranusastra Asmara, dan saya merasa diri saya sudah jadi Menteri.
Beruntung nama ruang budaya di koran Pelopor itu tidak terjadi sekarang, Persada Studi Klub (PSK). Ada semacam legenda tersendiri memang, kalau kami – para penyair yang pernah dimuat di ruang PSK rezim Umbu atau era Teguh – menyebut atau disebut sebagai penyair PSK. Meski kepada generasi kini kami musti buru-buru memanjangkan singkatan PSK. Terutama saat kami kemudian berkawin-kawin, dan ketahuan pekerjaan kami adalah Menteri urusan kepenyairan. Seperti yang pernah ditanyakan mertua saya yang heran melihat saya tidak berkantor, “sebenarnya kamu penyair apa?” Oleh rasa telah menjadi legen, sontak saya menjawab dengan penuh pede, “penyair PSK..!”
0 comments