Selamat malam Tuan yang entah mengapa terasa semakin jauh. Aku datang baik-baik untuk bertanya mengenai hal-hal manis yang kita jalani selama ini. Sejak dua puluh enam agustus tahun dua ribu tiga belas, kamu menyelip dalam ruang hatiku, menjadi sosok baru yang nampaknya menarik jika kunikmati dari berbagai sisi. Aku hanya ingin kamu tahu, kamu sudah jadi seseorang yang kuhargai keberadaannya, kutunggu pesan singkatnya, dan kurindukan suara beratnya. Kamu sudah jadi teman malamku, sapaan renyah pagiku, dan terik matahari siang yang membakar semangatku.
Kita sudah saling tahu sejak satu tahun lalu. Saat kautahu aku lebih memilih UI dan menanggalkan pengumuman diterima di UGM melalui jalur SNMPTN. Penasaran, itulah caramu menjelaskan awal perkenalan kita. Saat pesan singkatmu menggetarkan handphone-ku untuk pertama kalinya, saat tulisan besar kecil dengan tanda baca penuh itu memenuhi kotak masuk poselku; demi bumi dan langit, aku tak ingin membawa hubungan itu ke jenjang lebih serius. Cukup jadi teman.
Lalu, setahun kemudian kamu muncul dengan gaya baru. Bahasa yang tertata rapi yang membuatku kagum setengah mati. Jaket kuningku bersanding dengan jaket abu-abu kehijauan milikmu. Percakapan kita malam itu diawali dengan membandingkan UI dan UGM, tidak ada ketegangan, hanya rasa canggung yang kurasakan. Aku tak pernah berbicara senyaman ini dengan orang asing yang wajahnya belum pernah kutatap secara langsung. Pembicaraan panas itu merambat ke pembicaraan hangat, saat kauberbicara tentang puisi Chairil Anwar, cerpen Seno Gumira Ajidarma, serta kekagumanmu pada guru besar FIB UI; Sapardi Djoko Damono.
Hampir setiap malam, kamu menjadi bagian dalam hari-hariku, jadi tawa yang membawa damai sebelum tidur malamku. Tak hanya itu, kaudan aku rela terlelap hingga subuh, hanya karena tak ingin saling melepaskan. Terlalu terburu-burukah jika aku mencoba menyebut ini cinta? Jika terlalu tergesa-gesa, lalu apa namanya perasaan tak ingin melepaskan meskipun kutahu kamu tak mungkin berada dalam genggaman?
Dan, kedekatan kita, Tuan, sepertinya memang bukan lagi sebatas teman. Ketika kauberani mengganti "Dwit", menjadi "Ntaa." Singkatan dari cinta, katamu; yang berhasil membuatku muntah pelangi berak surgawi. Oke, jelek, ya, diksi yang kugunakan? Maaf, ya, siapalah aku ini dibanding sastrawan serba misterius seperti kamu?
Awalnya, semua ini baik-baik saja. Sampai pada akhirnya aku tak tahan dengan kelancanganmu menyebut semua penghuni Gembira Loka dan Safari, saat kita bertengkar, soal pesan singkat yang kubalas lama, telepon yang tidak kujawab, dan isi mention bersama seorang pria yang tidak kaukenal. Aku membuka suara, kita sudah bicarakan hal ini berkali-kali. Aku sempat tak ingin membawa semua ke arah yang lebih serius karena kita berbeda, tolong garis bawahi itu, dan kauterima pendapat itu dengan lapang dada.
Awalnya, Tuan, kita membuat kesepakatan, namun nampaknya cinta itu seperti kekuatan brengsek yang membuat aku dan kamu juga ingin melawan dalam ketidakberdayaan kita. Oke, kita sepakat tak pernah membawa semua ini ke dalam hubungan serius, tapi aku dan kamu ternyata mematahkan komitmen itu. Kita berontak, marah sama keadaan, marah dengan jarak, marah sama cinta, marah dengan kesepakatan awal. Aku dan kamu terlalu gengsi untuk membawa hubungan ini ke arah yang lebih serius. Selain terlalu gengsi, juga merasa belum siap pada jarak, pada perbedaan kita, pada masalah rindu, pada kurang ajarnya sinyal ponsel, pada ratusan kilometer jarak antara Bogor dan Jogjakarta. Kita marah sama siapapun, sama apapun yang membuat aku dan kamu selalu emosi setiap mendengar kalimat "Sebenarnya status kita ini apa? Siapa kita? Apa yang kita rasakan?"
Setelah lelah marah pada keadaan, kamu menyuruhku untuk mencari penggantimu. Aku tertawa, bergelak kencang sekali. Lalu, setelah tawaku diam, kamu berikan alasan. Kamu ingin lihat aku bahagia dengan yang lain, agar kamu punya alasan untuk melepaskanku dan tidak lagi mengharapkanku. Aku tertawa semakin geli, tapi mataku basah karena tertawa terlalu kencang. Kusambut saranmu dengan menyuruhmu juga mencari yang lain, agar aku bisa melepaskanmu dan melihatmu bahagia; meskipun kebahagiaanmu tidak lagi membutuhkanku.
Sekarang, rasanya keinginan kita sudah terwujud. Keinginan dua orang bodoh yang terlalu gengsi menyatakan perasaan, terlalu takut meminta kejelasan, dan terlalu takut melawan keadaan. Kamu entah dengan siapa sementara aku dengan dia. Hahaha! Terluka.
Ini bodoh, sungguh, maksudku apa susahnya bilang kalau aku dan kamu inginkan penyatuan? Punya satu tujuan? Mau saling memperjuangkan? Iya, berbicara cinta dan sayang memang tak mudah, tapi bukankah lebih menyakitkan jika kita hanya bisa saling gengsi, saling diam, tapi juga cemburu? Bukankah lebih menyedihkan jika aku dan kamu hanya bisa tertawa sebenarnya kita sangat tersiksa?
Bisakah kaubayangkan rasanya jadi dua orang yang saling mencintai tapi mereka termakan gengsi sendiri? Bisakah kaurasakan sakitnya dua orang yang saling merindukan, tapi hati mereka tak saling menyatukan? Tuan, bisakah kauresapi air mata dua orang yang saling berjauhan hanya karena mereka takut pada arus cinta yang semakin dijauhi justru semakin deras?
Hatimu sudah jadi milikku, hatiku sudah jadi milikmu. Namun, mengapa aku dan kamu tak kunjung menciptakan ruang untuk kita? Ruang tempat kita saling memahami juga mencintai, tanpa harus memerhatikan gengsi yang mematikan semua urat-urat hati.
untuk yang selalu percaya
saya tak punya cinta
saya tak pernah punya rindu
saya tak punya perasaan
Padahal, diam-diam;
dia sudah jadi segala– dalam kepala.
0 comments