BAB I
Aku
Namaku Milea. Milea Adnan Hussain. Jenis kelamin perempuan, dan tadi baru selesai makan jeruk.
Nama belakangku, diambil dari nama ayahku. Seseorang yang aku kagumi, dan dia adalah TNI Angkatan Darat yang bertugas di Kodiklat. Dia lahir di Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.
Ibuku, namanya Marissa Kusumarini biasa dipanggil Icha oleh teman-temannya. Dia mojang Bandung yang lahir di Buah Batu.
Sebelum dinikah dan lalu diboyong ke Jakarta oleh ayahku, ibuku adalah seorang vocalist band yang lumayan dikenal di masyarakat musik Bandung waktu itu.
Ibuku seangkatan dengan Uwak Gito Rollies, Kang Deddy Stanza, Oom Remy Silado, Oom Deddy Dores, dan Kang Triawan Munaf. Juga dengan Kang Harry Rusli, yang waktu itu bikin kelompok musik Gang of Harry Roesli.
Menurutku, dia punya suara yang bagus. Sepanjang waktu selalu siap untuk nyanyi atau bersenandung di kamar mandi dan di dapur ketika masak.
Dia juga suka bermain gitar sambil nyanyi di ruang tamu dan menyebut nama Bee Gees ketika kutanya lagu siapa itu?
“Ini judulnya I Started A Joke,”jawab ibu
“Bagus! Aku suka”
Oleh dirinya musik benar-benar menjadi bagian keluargaku dan ayahku mendukungnya dengan kekuatan militer.
Aku merasa bersemangat tentang hal ini. Dia menyambut anak-anaknya ke pengalaman seninya. Membantuku untuk melihat banyak hal dalam lebih dari satu cara pandang. Menjadi terbuka untuk semua ekspresi. Ini menjadi hal penting untuk kau pahami kepribadian diriku.
2
Sejak kecil aku tinggal di Jakarta, yaitu di daerah kawasan Slipi.
Aku anak sulung. Punya seorang adik perempuan, namanya Airin Adnan Hussain. Jarak usiaku dengannya hanya berbeda dua tahun dan dia tidak akan pernah berhasil menyusul usiaku.
Tahun 1990 ayahku dipindah tugas ke Bandung, sehingga ibuku, aku, adik bungsuku, pembantuku, dan semua barang-barang di rumah pun jadi pada ikut pindah.
Rumahku, yang di Buah Batu, adalah milik Kakekku, Bapak Abidin, yaitu ayah dari ibuku. Tapi Kakek sudah meninggal pada bulan Mei tahun 1989.
Di rumah itu, jadi cuma ada nenek, karena ibuku adalah anak tunggal.
Khabar bahwa kami mau pindah ke Bandung, membuat nenek sangat senang dan meminta kami untuk tinggal di rumahnya.
Tapi sayang, tahun 1990, kira-kira sebulan sebelum pindah, nenekku meninggal dunia.
Rumah yang berukuran type 70 itu, kemudian jadi milik ibuku sepenuhnya. Ada halaman di depannya, meskipun ukurannya tidak luas, tapi cukup. Tempat tumbuh berbagai bunga dan satu pohon jambu, yaitu jambu batu, yang ibuku suka kesel kalau sudah mulai banyak ulatnya.
3
Aku juga pindah sekolah, ke SMA Negeri yang ada di Bandung.
Bagiku, itu adalah sekolah yang paling romantis sedunia, atau kalau enggak, minimal se-Asia lah. Bangunannya sudah tua, tapi masih bagus karena keurus.
Ada tumbuh pohon besar di halaman sekolah. Cabangnya banyak dan bagus kalau dilihat senja hari, dan juga siang kalau mendung, dan juga pagi kalau mau. Sebagian orang percaya pohon itu berhantu, tapi aku gak takut, kecuali kalau harus tidur sendirian di situ dan malam.
Dulu, jalan di depan sekolahku, cuma jalan biasa, lebarnya kira-kira tiga meter dan belum banyak kendaraan yang lewat, termasuk angkot. Sehingga untuk bisa sampai di sekolah, aku harus mau berjalan sepanjang kira-kira 200 meter, yaitu setelah aku turun dari angkot di daerah pertigaan jalan itu.
Sekarang jalan itu sudah berubah, sudah jadi jalan raya yang dipadati oleh banyak kendaraan. Dulu, motor juga belum banyak. Hanya beberapa orang saja yang pake. Sebagian besar bepergian dengan angkot atau bemo.
Rasanya, waktu itu, Bandung masih sepi, belum begitu banyak orang. Setiap pagi masih suka ada kabut dan hawanya cukup dingin, seperti menyuruh orang untuk memakai sweater atau jaket kalau punya.
Selain romantis, sekolah itu adalah tempat yang banyak menyimpan kenangan. Terutama menyangkut dengan seseorang yang sangat aku cintai, yang pernah selalu mengisi hari-hariku di masa lalu, yang malam ini, ingin kuceritakan kepadamu.
4
Akan aku tulis semuanya sesuai dengan apa yang terjadi, meskipun tidak akan begitu detail, tapi itulah intinya.
Ada nama tempat dan nama orang yang sengaja kusamarkan, untuk tidak merembet menjadi suatu persoalan dengan pemilik tempat dan orang yang bersangkutan.
Semua, akan kutulis dengan menggunakan cara si dia di dalam bergaya bahasa. Entah gaya apa, pokoknya kalau dia bicara, bahasa Indonesianya itu baku banget. Kedenger sedikit tidak lazim untuk ukuran anak SMA, seperti bahasa melayu lama yang biasa digunakan oleh Sutan Takdir Alisyahbana.
Tapi itu bukan hal yang harus dipersoalkan, ini cuma caraku untuk sekedar bisa mengenang khas dari dirinya.
5
Sebelumnya, aku mau cerita dulu di mana posisiku sekarang. Malam ini aku sedang di ruang kerjaku bersama hot lemon tea dan lagu-lagu Rolling Stones, di kawasan Jakarta Pusat, di rumah yang aku tempati bersama suamiku sejak tahun 1997.
Malam ini, tanggal 11 September tahun 2010. Anakku sudah tidur. Dia lelaki dan masih berusia 10 tahun. Sedangkan suamiku, dia belum pulang, katanya ada kerjaan kantor yang membuat dia harus lembur.
Mari kita mulai, dan inilah ceritanya:
II. Sang Peramal
1
Pagi itu, di Bandung, pada bulan September, tahun 1990, setelah turun dari angkot, aku jalan menuju sekolahku sebagaimana yang lainnya yang juga sama begitu. Bedanya, aku jalan sendirian, yang lain ada yang berdua atau lebih.
Dari arah belakang, aku mendengar suara motor. Suaranya agak berisik dan yang bisa kuingat di masa itu, belum begitu banyak siswa yang pergi sekolah dengan memakai motor.
Ketika motor itu sudah mulai sejajar denganku, jalannya melambat. Seperti sengaja ingin menyamai kecepatanku berjalan. Pengendaranya menggunakan seragam SMA
Meskipun saat itu banyak orang yang pada mau pergi sekolah, aku tetap waspada, kuatir barangkali dia mau berbuat buruk kepadaku.
Dia bertanya:
“Selamat pagi"
"Pagi", kujawab, sambil menoleh kepadanya sebentar
"Kamu Milea, ya?”
“Eh?", kutoleh dia, memastikan barangkali aku kenal dirinya. Nyatanya tidak, lalu kujawab:
"Iya”
“Boleh gak aku meramal?”
“Meramal?”.
Aku langsung heran dengan pertanyaannya. Kok meramal? Kok bukan kenalan?
“Iya. Aku ramal, nanti kita akan bertemu di kantin”.
Dia pasti ngajak becanda. Aku gak mau. Tapi aku gak tahu harus menjawab apa. Hanya bisa senyum, mungkin itu cukup, sekedar untuk basa-basi. Jangan judes juga. Iya.
Asli, aku gak tahu siapa dia. Betul-betul gak tahu. Mungkin satu sekolah denganku, tapi aku belum mengenal semua siswa di sekolahku, termasuk dirinya. Aku hanya murid baru. Baru dua minggu.
“Mau ikut?”, dia nanya
“Makasih”, jawabku.
Enak aja, belum kenal sudah ngajak semotor. Kupandang dia, sebentar: “Udah deket”, lanjutku.
“Oke”, katanya, “Suatu hari, kamu akan naik motorku. Percayalah"
Aku diam, karena gak tahu aku harus bilang apa
"Duluan ya!", katanya.
Kupakai bahasa wajah, untuk mengungkap kata "iya".
Habis itu, dia berlalu, memacu motornya. Nampak baju seragamnya berkelabatan, kalau guru tahu, pasti akan disuruh dimasukin ke celana.
2
Waktu istirahat, tadinya aku mau ke kantin, tapi sama sekali bukan untuk memenuhi ramalan anak itu.
Boro-boro, kepikiran juga enggak.
Aku hanya ingin membeli sesuatu untuk kuminum. Tapi Nandan, teman sekelas, Ketua Murid kelas 2 Biologi 3, minta waktu ingin ngobrol denganku, katanya ada yang mau dibahas.
Dia bilang, kalau aku mau minum, gampang, biar dia saja yang beli. Makasih kataku, dan memang, dia lalu pergi, ke kantin. Tak lama dia kembali, membawa beberapa teh kotak.
Di kelas, selain Nandan, ada juga Rani dan Agus, semuanya teman sekelas. Hal yang dibahas adalah tentang keinginan mereka untuk menunjuk aku menjadi sekertaris, dan juga sekaligus menjadi bendahara kelas 2 Biologi 3. Aku sih oke saja. Bagiku, gampang lah itu.
Waktu kami sedang ngobrol, muncul seseorang yang bilang permisi dan lalu masuk ke kelas. Nandan, Rani dan juga Agus, tahu siapa dia. Namanya Piyan, siswa dari kelas 2 Fisika 1, datang memberiku surat, katanya itu surat titipan dari kawannya, tapi tidak disebut nama kawannya.
Dengan sedikit rasa heran, setelah Piyan berlalu, kubaca surat itu:
“Milea, ramalanku, kita akan ketemu di kantin, ternyata salah. Maaf. Tapi aku mau meramal lagi: Besok kita akan ketemu”
Aku langsung bisa tahu siapa yang ngirim surat.
Ini pasti dia, orang yang tadi pagi naik motor dan bilang mau meramal. Nandan nanya, dia ingin tahu surat apa, aku bilang cuma surat biasa.
Surat itu, segera kulesakkan dalam tas sekolah, untuk kembali menyimak Nandan yang banyak bicara tentang ini itu yang menurutku membosankan. Aku sudah tidak bisa lagi konsentrasi dengan kata-kata mereka. Pikiranku, entah mengapa, sebagian besar, mendadak melayang kepada Sang Peramal.
5
Hari itu hujan, aku pulang dijemput pamanku. Dia itu adik dari ayahku, mahasiswa tingkat akhir di perguruan tinggi swasta, namanya Fariz.
Dia sudah lama di Bandung dan kost di daerah Setiabudi.
Ayah nyuruh paman menjemputku, supaya bisa lekas datang ke rumah dinas ayahku, karena ada sedikit keperluan.
6
Di jalan pulang, entah mengapa, ramalan orang itu: bahwa besok akan bertemu, terus saja kepikiran.
Apa? Besok? Hah, besok bertemu? Bukankah besok itu hari minggu? Aku langsung bisa nebak: ramalannya sudah pasti gagal lagi.
Bagaimana bisa bertemu, kalau tidak di sekolah? Dia, ah, cuma tukang ramal amatir!
Bagiku, tak lebih, dia hanya anak nakal, yang suka iseng menggoda cewek.
Huh!
Jika itu baginya adalah modus untuk mendekati diriku, dia harus tahu aku orangnya selektif.
7
Di hari minggu, waktu sedang nyuci sepatu, aku mendengar bel rumah berbunyi, karena dipijit oleh tamu. Aku teriak manggil si Bibi untuk meladeni tamu itu.
Kebetulan, hari itu, di rumah, hanya ada aku dan si Bibi. Ayah, ibu dan adik bungsuku sedang pergi ke acara pernikahan saudara.
Si Bibi bergegas nemui tamu dan lalu balik kembali menemuiku:
“Tamu. Mau ke Lia”, kata si Bibi. Lia itu nama panggilanku di rumah
Aku bersihkan tanganku dari busa dan langsung ke sana, nemui tamu itu.
Ya tuhan, aku kaget, ternyata tamunya adalah Sang Peramal.
Aku senyum kepadanya yang tersenyum kepadaku. Berasa seperti sedang terjadi kontak batin, antara aku dengannya, membahas ramalannya yang benar-benar terjadi.
“Hei” Kusapa dia.
“Ada undangan”, dia langsung bilang begitu, seraya menyodorkan sebuah amplop sambil masih berdiri di situ, di depan pintu.
“Undangan apa?,” kupandangi amplop itu.
“Bacalah, tapi nanti”
“Oke”
“Bacalah, bahasa arabnya apa, Yan?”
Dia nanya ke si Piyan yang datang bersamanya.
“Apa ya?”, Piyan balik nanya
“Oh! Iqra”, dia jawab pertanyaannya sendiri: “Iqra, Milea!”, katanya lagi.
“He he he” Aku ketawa tapi sedikit. Entah mengapa, hanya bisa sesekali saja kupandang matanya.
“Aku langsung ya?”, dia permisi untuk pergi
“Kok tahu rumahku?”, kutanya
“Aku juga akan tahu kapan ulangtahunmu”
“He he”
“Aku pergi dulu ya?”
“Iya”
“Assalamualaikum jangan?!”
“Assalamualaikum,” jawabku
“Alaikumsalam,” katanya
“He he he”
8
Aduh, Tuhan, siapa sih dia itu!
Maksudku, selain seorang Peramal, aku ingin tahu siapa dia itu sesungguhnya, dan mengapa tadi aku harus gugup di depannya?
Aku masuk kamar dan senyum sendiri terutama karena memikirkan soal ramalannya yang benar.
Tapi kenapa dia tidak membahasnya? Membahas soal ramalan itu? Atau sengaja? Entahlah.
Aku baca surat undangan darinya sambil selonjoran di atas kasur.
Itu adalah surat undangan yang ditulis dengan mesin tik di atas kertas HVS. Aku langsung bisa nebak, surat itu dia bikin sendiri: “Bismillahirahmannirahiim. Dengan Rahmat Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Dengan ini, dengan penuh perasaan, mengundang Milea Adnan untuk sekolah pada: Hari senin, selasa, rabu, kamis, jumat dan sabtu”. Semua nama hari-hari itu, disertai dengan tanggal.
Di dalam surat itu ada nama: Tuan Hamid Amidjaya. Itu Kepala sekolahku, sebagai orang yang turut mengundang.
Di tiap sisi kertas, ada gambar hiasannya. Dibikin pake spidol. Gambarnya bagus. Entah bikinan siapa.
Setelah kubaca, aku tak mengerti mengapa langsung merasa tak ingin pergi dari atas kasurku, benar-benar seperti orang yang sedang ditawan oleh rasa penasaran karena ingin tahu siapa dia sebenarnya.
Sambil tiduran, aku jadi seperti orang yang sedang menerawang, memandang atap kamarku.
Ketika ada terbayang wajahnya, langsung kupejamkan mataku, agar dengan begitu aku bisa mengusirnya, karena aku merasa itu gak perlu.
Gak penting!
9
Ah, sial.
Itu hampir membuat aku lupa untuk melanjutkan tugas nyuci sepatu. Segera kusimpan surat itu, di dalam laci meja belajar, sambil senyum-senyum sendirian, dan langsung pergi ke kamar mandi, menemui sepatuku.
Kucuci sepatu itu dengan pikiran yang penuh dengan dirinya, dan berusaha kulupakan dengan cara menyanyi. Tapi susah, tetap saja kepikiran meskipun sesekali.
Aduh, hai, siapa sih dia itu?
Setahuku dia satu sekolah denganku, tapi tidak sekelas denganku. Cuma itu. Itu saja. Tapi aku tidak tahu siapa namanya. Kenapa dia tidak memberitahu namanya di saat pertama jumpa itu? Haruskah aku yang nanya?
Oh sori ya, gak mau!
10
Kudengar telepon rumah berdering. Aku senang, karena itu dari Beni, pacarku di Jakarta. Dia satu sekolah denganku waktu masih di Jakarta, dan sekarang kami menjalin pacaran jarak jauh.
Beniku keren, kau harus tahu itu. Dia tampan, meskipun tidak tampan-tampan amat, tapi cukup dan kukira dia baik.
Ayahnya seorang artis film terkenal, yang kadang-kadang suka aku banggakan kepada ayah ibuku.
Beni sangat menyayangiku. Aku juga begitu kepadanya. Meskipun suka bertengkar, tapi cuma masalah kecil, dan selalu bisa diselesaikan dengan baik meskipun lalu akan bertengkar lagi.
Hampir setiap hari, Beni selalu menelponku untuk melepas rasa rindu dan hal lain sebagainya.
11
Hari senin, di tengah-tengah barisan siswa yang ikut upacara, aku berharap tidak ada satu pun orang tahu bahwa diam-diam mataku mencari dirinya, meskipun aku sendiri tidak tahu untuk apa juga kucari.
Mungkin cuma ingin lihat saja. Tidak lebih dari itu.
Sampai upacara sudah mau selesai, orang itu, Peramal itu, tak berhasil kutemukan. Di mana dia? Hatiku bertanya. Jangan-jangan tidak sekolah? Aku tidak tahu.
Ah, ngapain juga kupikirin! Emang siapa dia?
12
Seorang guru, dengan menggunakan speaker, tiba-tiba, memberi komando, agar seluruh siswa jangan dulu bubar dari barisan.
Kupandang ke depan karena ingin tahu ada soal apa gerangan, oh saat itulah aku bisa melihat dirinya.
Dia di sana, di depan, menghadap ke arah kami, bersama dua kawannya. Berdiri di sana karena dibawa oleh guru BP, setelah berhasil ditemukan dari tempatnya sembunyi, untuk menghindar ikut upacara bendera.
Dia dan dua orang temannnya disebut Komunis oleh guru BP. Aku tidak mengerti apa sebabnya seseorang sampai disebut komunis hanya gara-gara tidak ikut upacara. Entahlah.
Nun di sana, di tempatnya berdiri, aku yakin, dia sedang menyadari bahwa ada seseorang di tengah barisan peserta upacara, yang sedang memandangnya, yaitu diriku.
Atau tidak?
Tapi yang pasti, sebagaimana yang lain, aku sedang memandangnya dari jauh, dengan perasaan yang sulit kumengerti.
“Dia lagi!”, bisik Revi seperti ngomong sendiri.
Revi adalah teman sekelas, yg berdiri di sampingku
“Siapa dia?”, kutanya Revi
“Dilan”
“Oh”
Itulah hari pertama aku tahu namanya.
Dia itu adalah Dilan, yang kemaren datang ke rumah. Senyam-senyum depan pintu. Komunis itu adalah Dilan, yang pernah nyuruh si Piyan ngirim surat ke aku. Anak nakal itu adalah Dilan, yang kemaren sempat membuatku penasaran karena ingin tahu lebih jauh tentang dirinya.
Mendadak, hari itu, aku bagai malu karena merasa pernah ada sangkut paut dengan dirinya. Mendadak, aku bagai nyesal karena sudah merasa terhibur oleh surat undangannya.
Sampai-sampai kalau misal ada orang yang nanya, apakah Milea kenal Dilan? Aku yakin aku akan langsung pura-pura tidak tahu. Apakah Milea teman Dilan? Entah mengapa segera akan langsung kujawab: Bukan.
Aku hanya mengenal Beni, pacarku! Beniku tidak nakal. Malahan guru-guru banyak yang suka kepadanya walau entah karena apa.
Kata Rani, di kelas, setelah upacara, Dilan itu anak kelas 2 Fisika 1 dan anggota gengmotor yang terkenal di Bandung. Jabatannya Panglima Tempur.
Oh ya. Aku sering membaca namanya ditulis di tembok-tembok pake pilox.
Oh dia rupanya!
Aku betul-betul jadi takut. Dia pasti sangat nakal, dan juga mungkin jahat. Meskipun aku yakin, dia tidak seperti yang kuduga. Lagi pun kalau benar dia begitu, mengapa juga harus takut, toh siapa pun dirinya, ayahku seorang tentara, yang akan siap menembaknya jika harus.
Pokoknya, mulai besok, aku harus waspada seandainya dia berusaha mendekati, meskipun tidak harus kasar kepadanya. Dan tidak perlu terlalu menanggapi apa pun yang ia lakukan padaku, jika hal itu adalah bagian dari usahanya untuk melakukan pendekatan.
Kalau dia ingin jadi pacarku, katakanlah begitu, aku yakin dia akan minder setelah tahu siapa Beni. Dilan pasti akan mundur daripada harus kecewa karena cinta yang tak sampai.
13
Bubar dari sekolah, cuaca sedang mendung, aku pulang bersama kawan-kawan. Ada Dilan yang menyusulku dengan motornya. Aku langsung bisa yakin dia pasti akan mengajak aku pulang bersamanya naik motor.
Nyatanya tidak, padahal aku sudah menyiapkan berbagai alasan untuk bisa menolaknya.
“Kamu pulang naik angkot?,” dia nanya di atas motornya yang sengaja dibikin pelan untuk sejajar denganku. Kujawab dengan anggukan.
Entah mengapa, saat itu, aku seperti gak enak dilihat kawan-kawan sedang didekati oleh dia, si anak nakal.
“Aku ikut....”
“Ikut apa?”, tanyaku tanpa menoleh kepadanya, tapi bagian sudut mataku berusaha melihat ke arahnya.
“Naik angkot”.
“Gak usah”, jawabku sambil memandangnya sebentar
“Kan angkot buat siapa aja”
“Kamu kan naik motor?”
“Nanti motorku dibawa kawan”
“Eh?”
Lalu dia pergi.
Kutengok sebentar ke belakang, dia datang lagi dengan sedikit berlari.
Aku tak ingin tahu disimpan di mana motornya. Itu bukan urusanku, termasuk kalau hilang.
Di angkot, dia duduk di sampingku. Aku benar-benar jadi kikuk, dan juga mati gaya.
“Ini hari pertama, aku duduk denganmu,” bisiknya. Tidak kurespon, karena memang gak perlu.
Kuambil buku, lalu kubaca. Mudah-mudahan bisa membantu mengalihkan pikiranku kepadanya. Mudah-mudahan bisa membantu membuat dia mengerti untuk jangan mengganggu orang yang sedang baca.
Tapi dia berbisik, suaranya kudengar pelan sekali menyebut namaku:
“Milea”
Aku diam. Tidak kutanggapi.
“Kamu cantik”, katanya lagi dengan suara yang pelan tanpa memandangku.
Heh? Aku kaget. Serius, hampir-hampir tak percaya dia akan bicara begitu.
Aku bingung harus gimana dan berusaha memastikan bahwa kawan-kawanku di angkot, tidak mendengar apa yang dia katakan. Aku merasa seperti malu.
“Makasih”, akhirnya kujawab sambil tetap baca buku, dengan intonasi yang datar, tanpa memandang dirinya.
Dengan suara yang pelan bagai berbisik, kudengar dia bicara:
“Tapi, aku belum mencintaimu. Enggak tahu kalau sore”
Ih! Suaranya pelan, tapi rasanya seperti petir. Aku diam, tidak mau merespon omongannya
“Tunggu aja”, katanya lagi.
Betul-betul, saat itu, rasanya ingin teriak, tepat di kupingnya: “Apa sih kamu ini?!” Tapi tidak kulakukan. Aku memilih diam dan bersikap berusaha tidak akrab dengannya.
Habis itu, dia juga diam.
“Aku ramal, kamu akan segera tahu namaku”.
Udah tahuuu! Gak usah diramal-ramal. Udah tahu! Tapi kata-kata yang keluar adalah:
“Iya”
Ketika sudah sampai, aku turun dari angkot, dan langsung kaget, karena dia juga turun.
Aku nyaris merasa kuatir dia akan mampir ke rumahku. Jika benar, aku akan langsung melarangnya.
Jangan sampai terjadi!
Syukurnya tidak. Dia pamit pergi, dan lalu naik angkot lagi, menuju arah sekolah. Aku ramal, dia ke sana pasti mau mengambil motornya.
Tadi, sebelum dia pergi, dia sempat bilang:
“Kamu tahu, semua siswa itu sombong?”
“Kenapa?”, tanyaku.
“Siapa yang mau datang ke ruang BP, menemui Pak Suripto?”
“Siapa?”
“Cuma aku, Milea!”
“Ooh!”, aku senyum, tapi sedikit.
14
Ketika dia pergi, muncul perasaan bersalah sudah bersikap judes kepadanya. Pastilah dia sedih. Pastilah dia kesal. Dan besok, mungkin, dia kapok.
Sesampainya di rumah, si Bibi memberiku surat. Itu surat yang terbungkus dalam amplop warna ungu.
Oh, surat dari Beni!
Kubaca surat Beni sambil terus kepikiran soal Dilan yang mungkin hari ini sudah kecewa dengan sikapku.
Apa salahnya dia, Milea? Mengapa hari ini kau begitu, padahal baru kemaren engkau tersenyum kepadanya dan sedikit terhibur oleh surat undangan yang dia berikan padamu?
Maaf.
Aku simpan surat Beni, surat yang penuh kata-kata mendayu berisi melulu soal cinta dan rindu itu.
Heran, biasanya aku senang, entah mengapa, hari itu, aku merasa seperti sedang berubah di dalam menilainya:
Ah, Beni kurang asik! Maksudku, mungkin aku merasa bosan dengan dia yang terlalu monoton!
15
Si Bibi ngetuk pintu, manggil-manggil, menyuruh aku makan. Aku keluar dari kamar dengan isi kepala yang mulai dikacaukan oleh pikiran tentang omongan si Dilan di angkot itu:
“Milea, kamu cantik. Tapi aku belum mencintaimu. Enggak tahu kalau sore. Tunggu aja”.
Kata-kata aneh, yang sudah membuatku tersenyum dan yang terus nempel di kepalaku sampai malam harinya.
Di kamar, tiba-tiba ku ketawa, dan teriak dalam hati, seolah-olah hal itu kutujukan padanya: “Mau cinta mau enggak. Dengar ya, hai kau yang namanya Dilan: Terseraaaaaahhh! Itu urusanmu! Emang gua pikirin!?”
Setelah usai shalat isya, aku dapat telepon dari Beni. Dia bicara lama sekali. Atau sebentar? Tapi entah mengapa aku merasa itu sangat lama.
Dan katanya, dia mau ke Bandung, nanti, minggu depan.
“Kamu senang?”, Beni nanya apakah aku senang jika dia ke Bandung menemuiku?
Kujawab: “Iya”
Memang, harusnya aku senang, Beni. Oke, kalau begitu. Baiklah, aku akan berusaha untuk senang. Insha Allah.
16
Itu hari selasa, ketika aku mendapat surat dari Dilan. Entah bagaimana Dilan bisa nitip suratnya ke Rani. Isi suratnya pendek:
”Pemberitahuan: Sejak sore kemaren, aku sudah mencintaimu – Dilan!”.
Aku seperti terkesiap membacanya. Lalu dengan cepat, langsung kututup surat itu.
Jadi malu sendiri rasanya, dan berharap Rani tidak sudah membacanya. Tapi kayaknya belum, karena surat itu dimasukkan ke dalam amlop yang tertutup.
Aku hanya kuatir orang-orang akan tahu apa isinya. Lalu dengan cepat kumasukkan ke dalam tas, seolah dengan itu bisa kujejalkan sampai masuk sedalam mungkin.
Dia, menurutku, hari ini, harus bertanggungjawab, karena sudah berhasil mengganggu kosentrasi belajarku.
17
Di kantin, pada waktu istirahat, aku duduk satu meja dengan Nandan, Dito, Jenar dan Rani.
Masing-masing makan batagor sambil bicara ini itu yang gak perlu. Mereka semuanya teman sekelas, kecuali Jenar, dia anak kelas 2 Sosial.
Dilan pasti di sana, bersama kawan-kawannya, di warung bi Eem. Aku belum pernah makan di sana, selain cuma lewat setiap pergi dan saat pulang sekolah.
Warung Bi Eem adalah warung kecil, kira-kira 30 meter dari sekolah. Lokasinya di samping gereja Pantekosta.
Huh!
Aku juga tahu, kenapa kamu milih ke sana. Biar bisa merokok.
18
Aku mau cerita tentang yang lain yang bukan Dilan.
Ini tentang Nandan. Nandan Hadi Prayitno.
Kata Rani, Nandan naksir aku, tapi aku cuma senyum mendengarnya, karena soal itu sudah lama aku tahu.
Aku bisa membaca bagaimana sikap dan perilaku Nandan kepadaku. Bagiku, semuanya, termasuk suka nelepon malam hari nanya-nanya soal PR, nraktir kami makan di kantin, berusaha membuatku ketawa dengan aneka macam lawakan, itu adalah modus, untuk mencari perhatianku.
Aku setuju, kalau ada yang bilang Nandan orangnya baik. Dan, kalau aku boleh jujur, Nandan lebih tampan dari Dilan. Nandan juga humoris, jago basket, dan lain-lain, pokoknya Nandan adalah lelaki idaman tiap wanita.
Nandan juga masih jomblo, masih belum punya pacar. Pernah sih dekat dengan Pila, anak kelas 2 Sosial, tapi ga tahu kenapa, belakangan hubungan mereka jadi renggang.
19
Pas kulihat ada Dilan, sumpah aku terkejut. Dia datang ke kantin bersama Piyan dan satu orang lagi yang aku sudah lupa namanya (Kalau gak salah si Akew).
Kamu bisa membayangkan bagaimana perasaanku waktu itu? Aku merasa sangat kesulitan mengungkapnya. Aku hanya tahu aku menjadi salah tingkah.
Dia mendatangi meja kami, dan menyapaku:
“Hei, Milea!”
“Hei, Dilan,” kujawab
“Cuma nyapa”
“Yan, Wati gak sekolah ya?,” tanya Rani ke Piyan, tiba-tiba
“Sakit katanya. Kenapa?” Piyan balik nanya
“Ada bukunya ketinggalan”
“Oh, ya udah, pulangnya nanti kuambil”
“Oke”
Lalu Dilan pergi bersama kedua temannya, entah kemana, mungkin ke kelas, tapi sebelum pergi, dia bicara ke Nandan:
“Eh, Dan, kamu tahu gak?”
“Tahu apa?”
“Aku mencintai Milea?”
“He he he”.
Nandan tersenyum sambil sekilas memandangku. Rani, Dito dan Jenar, semuanya ketawa. Mukaku pasti merah.
“Tapi malu mau bilang”, kata Dilan lagi
“Itu, sudah bilang? He he he,” jawab Nandan dengan ketawa kecil
“Aku kan bilang ke kamu, bukan ke dia”
“Dia denger kan?”, tanya Nandan
“Mudah-mudahan”
Dilan pergi.
Bisa kubaca mata Nandan, kayaknya dia merasa keganggu oleh kata-kata Dilan. Aku tebak sih begitu. Cuma nebak. Aku bukan ahli membaca bahasa tubuh. Cuma aku yakin, Nandan tidak suka ke Dilan dari semenjak saat Dilan menyukaiku. Mencintaiku.
20
Setelah istirahat selesai, kami masuk lagi ke kelas untuk ikut pelajaran lainnya.
Kamu tahu kemana Dilan?
Dilan masuk ke kelasku, dan duduk di bangku sebelahku, membuat Rani jadi pindah ke kursi belakang yang memang kosong.
Heran, kenapa tidak seorang pun yang berusaha ngusir Dilan? Nandan sebagai dirinya Ketua Murid, cuma bisa diam saja.
Sejujurnya, aku sendiri merasa risih dengan adanya Dilan. Tapi mau gimana lagi.
Dilan minta kertas, aku kasih. Di kertas itu, dia nulis:
Informasi:
Daftar orang-orang yang ingin jadi pacarmu:
1. Nandan (Kelas 2 Biologi)
2. Pak Aslan (Guru Olah Raga)
3. Tobri (Kelas 3 Sosial)
4. Acil (Kelas 2 Fisika)
5. Dilan (Manusia)
Aku senyum membacanya.
Kemudian kulihat dia mencoret semua nama di daftar itu, kecuali nama dirinya.
“Kenapa?”, kutanya
“Semuanya akan gagal”, dia bilang begitu dengan berbisik.
"Kecuali kamu?"
"Iya. Doain"
Kawan-kawanku sibuk dengan dirinya sendiri, seolah-olah tidak merasa terganggu oleh adanya Dilan, meskipun aku yakin mereka pasti gak suka.
Kulihat Nandan, duduk terus di bangkunya, seperti orang bingung yang gak suka ada Dilan, tapi tidak tahu harus berbuat apa.
Pak Atam, guru pelajaran Bahasa Indonesia, sudah datang masuk kelas, tapi Dilan tidak pergi. Tetap duduk. Edan ini orang, pikirku! Dilan benar-benar ikut pelajaran Pak Atam.
Sambil berbisik, aku ngomong ke dia:
”Nanti kamu dialpain di kelasmu”
“Ga apa-apa”, jawabnya, seraya tetap memandang ke depan, menyimak pelajaran, sampai akhirnya Pak Atam tahu ada seorang penyelundup:
“Kenapa di sini?,” tanya Pak Atam.
Kawan-kawan sekelas memandang semua ke arah Dilan. Muka mereka seperti puas karena akhirnya Pak Atam tahu dan menegurnya.
“Salah masuk, Pak! Maaf!!,” jawab Dilan sambil beranjak dari duduknya dan pergi diiringi tatapan Pak Atam yang tidak respek kepadanya.
21
Waktu bubar sekolah, Dilan nyusul dan bilang:
“Aku mau datang ke rumahmu. Malam ini”.
Hah? Aku kaget.
“Jangan!”
“Kenapa?”
“Ayahku galak”
“Menggigit?”
“Serius”
“Aku tidak takut ayahmu”
“Jangan! Pokoknya jangan”
“Aku mau datang”, katanya, sambil berlalu.
“Jangan ih!”, tanpa sadar aku bicara agak teriak.
Aku jadi merasa malu sambil kupandang ke banyak arah, berharap tak ada orang yang denger.
21
Aku belum ngantuk, masih terus ingin nulis. Suamiku masih juga belum pulang. Mick Jagger, bersama Rolling Stonesnya, sudah habis. Giliran Bob Dylan yang nyanyi.
Sampai mana ceritanya?
Oh ya. Dilan datang! Benar-benar dia datang.
Itu kira-kira pada pukul tujuh malam. Awalnya kudengar suara motor, masuk ke halaman rumahku. Aku yang sedang makan malam, langsung bisa yakin, tidak salah lagi, itu pasti Dilan.
Aku lekas masuk kamar bersama piring makan malamku dan bersama perasaan yang tidak karuan.
Biasanya ayahku jarang di rumah, sudah hampir tiga hari ini dia cuti. Malam itu, dia sedang ada di ruang tengah, sibuk membetulkan radio CB-nya. Ibuku juga di sana, sedang mencatat urusan kegiatan semacam Dharma Wanita, Bhayangkara atau apalah.
Jika bel rumah berbunyi, maka salah satu di antara merekalah yang akan membuka pintu. Nyambut Dilan, kalau benar tamu itu adalah Dilan.
Ya, Tuhan, bisikku dalam hati.
Kututup kepalaku dengan bantal sambil tiduran di kasur.
Entah siapa yang buka pintu, aku gak tahu. Pasti ada dialog di sana, tapi tidak bisa kudengar. Aku ingin tahu, Aku merasa akan lebih baik jika tetap diam di kamar.
Tidak lama kemudian, terdengar lagi suara motor itu, keluar dari halaman rumahku.
Ya, jika itu Dilan, dia sudah pergi.
Dengan aneka macam pikiran yang memenuhi kepalaku, aku duduk di kursi belajarku, meneruskan makan malam sampai habis dan lalu keluar dari kamar untuk menyimpan piring makanku.
“Tadi ada tamu,”kata ibu yang berpapasan denganku.
“Oh? Siapa?,” tanyaku pura-pura tidak tahu.
“Katanya utusan kantin sekolah. Kayak nabi aja” jawab ibu sambil memasukkan buku ke dalam laci di meja tengah.
“Hah?”
Aku nyaris ketawa. Aku makin yakin itu pasti Dilan.
“Ngapain?,” tanyaku.
“Apa itu? Nawarin menu baru,” jawab ibu.
“Ha ha ha ha”
Kali ini aku tidak bisa nahan ketawa.
“Malem-malem nawarin menu. Aneh-aneh aja. Kawanmu ya?”
Ibu tersenyum.
“Ha ha ha. Terus ibu bilang apa?,” tanyaku
“Ayah yang ngobrol”
Selesai dari gosok gigi, pas aku mau kembali ke kamar, telepon rumahku berdering. Aku lebih dekat ke tempat telepon, sehingga aku yang ngangkat dan itu adalah telepon dari Dilan, buatku, untuk yang pertama kalinya.
Tidak usah ditanya bagaimana Dilan tahu nomor telepon rumahku. Kukira dia banyak akal.
“Hallo?”, kusapa yang nelepon
“Selamat malam"
"Malam"
"Bisa bicara dengan Milea?"
"Iya, saya"
"Oh. Aku Dilan"
"Hey".
Mendadak jantungku langsung deg-degan.
"Milea bisa bicara dengan aku?"
“Iya bisa"
"Tadi aku datang”
“Iya”
Aku langsung senyum, mengingat apa yang dikatakan oleh ibu bahwa dia mengaku utusan kantin sekolah yang nawarin menu baru.
“Kau tahu aku datang?," tanya Dilan
"Tahu"
"Kau tahu kenapa aku datang?”
“Kenapa?”
“Kalau aku gak datang, karena takut ayahmu, berarti aku pecundang”
“Iya”
“Lebih baik aku datang. Kalau nanti dia marah, itu bagus”
“Kok bagus?”
“Kamu akan kasihan ke aku”
“He he”.
“Kasihan gak?”
“Tadi dimarah?"
"Enggak”
“Syukurlah”
“Tadi, ayahmu bilang, kamu sudah tidur”
“Oh”
“Kenapa sekarang bisa ngomong? Kamu ngigau?”
“Iya”
“Ha ha ha ha ha”.
Dilan ketawa.
Sebenarnya aku juga ingin ketawa, tapi pasti kutahan. Boro-boro ketawa, bicaraku juga sebisa mungkin kubikin singkat-singkat.
Entah mengapa, aku merasa ga enak, kuatir ayah dan ibu dengar. Seolah saat itu aku merasa bahwa mereka akan marah kalau tahu itu telepon dari Dilan, meskipun belum tentu mereka akan begitu.
“Di mana?,” kutanya.
“Siapa?”, Dilan balik nanya
“Kamu”
“Kamu?,” Dilan balik nanya
“Dilan,” jawabku.
Itu adalah hari pertama aku menyebut nama dia secara langsung kepadanya.
“Aku di Mars”
“Ketawa jangan?,” tanyaku
“Aku di jalan Mars, Margahayu Raya”
“Oh he he he”
Di Bandung memang ada perumahan Margahayu Raya, nama-nama jalannya diambil dari nama-nama planet.
22
Selesai nerima telepon, aku langsung ke kamar lagi. Sebelumnya ayahku nanya, telepon dari siapa, kujawab: “Dari Beni”
Dan di kamar, selain kupakai untuk menyelesaikan tugas PR, sebagian otakku kugunakan untuk memikirkan dialog terakhir dengan Dilan di telepon:
“Boleh aku ramal?,” Dilan nanya
“Iya”
“Iya apa?”
“Boleh,” jawabku
“Aku ramal, nanti kamu akan jadi pacarku!”
“He he he”
“Percaya tidak?”
“Musyrik”
“Ha ha ha"
"He he he."
Aku merasa mulai senang berbicara dengannya.
"Hey, Milea"
"Iya"
"Kau tahu kenapa aku tidak langsung jujur ke kamu?”
“Jujur apa?”
“Ya, Jujur, bilang ke kamu aku mencintaimu?"
"He he he.”
Mukaku pasti merah.
“Kan sudah lewat surat? He he he,” kutanya dia
“Maksudku ngomong langsung ke kamu?”
“Enggak"
"Kalau mau, aku bisa. Itu gampang”
“Kenapa enggak?”
“Kalau langsung, gak seru. Biasa”
“He he he”
Ah, Dilan. Dia selalu pasti bisa bagaimana caranya membuat aku ketawa.
“Nanti kalau kamu mau tidur, percayalah aku sedang mengucapkan selamat tidur, dari jauh. Kamu ga akan denger”
“He he he”
Di atas kasur, selagi mau tidur, aku dilanda kebimbangan, haruskah terus terang, bilang ke Dilan, bahwa aku sudah punya pacar?
Iya, kayaknya harus. Biar sejak itu, Dilan akan berhenti mengejarku dan aku sedih. Nanti Dilan tidak akan lagi membuat kejutan-kejutan yang kalau aku harus jujur, sebetulnya aku juga suka.
Seru!
Tidak, kayaknya aku gak perlu bilang. Biarin saja.
Atau haruskah aku bilang ke Beni, bahwa ada orang di Bandung, satu sekolah denganku, namanya Dilan, sedang berusaha mendekatiku?
Kayaknya jangan, aku tahu Beni, jika kukatakan, justeru malah akan nambah masalah dari pada berusaha menyelesaikannya.
Aduh, Beni, aku yakin kamu tidak akan bisa menolongku!
Lebih baik aku tidur. Di luar turun hujan. Kamu di mana sekarang, Dilan? Oh iya di Mars he he he. Hati-hati kalau di jalan.
Kututup mataku dengan bantal dan: “Selamat tidur juga, Dilan”
BERSAMBUNG
aku menunggu kelanjutanya (h)
ReplyDelete