Gambar: di sini
Aku datang membawa beberapa lembar sarung untuk ‘melamar’ calon pengantinku. Mengendap-endap melewati gang demi gang dalam perkampungan antara magrib dan isya dan langsung menemui dia di bawah kolong rumah panggungnya.
“Pakailah.Sebagai ganti rok yang biasa kau kenakan.” Kataku pelan dalam bisikan cepat.
Wajahnya kebingungan tapi mendekap sarung-sarung itu di dadanya.
“Haruskah?” tanyanya polos. Usianya delapan belas jelang sembilan belas. Aku lebih tua tiga tahun darinya. Aku ingin menikahinya tanpa dia harus tahu apa maksudku. Aku ingin kami menikah, segera. Menikah adalah salah satu upaya untuk dianggap dewasa.
“Kunjungilah rumah sepupuku seperti biasa, pakailah sarung-sarung yang kuberikan untukmu ketika kau ke sana.”
Seminggu kemudian kami menikah. Persis seperti perkiraanku, sepupuku curiga aku menghamili kekasihku, keluargaku berkumpul, berbicara dalam bisikan karena ini aib yang memalukan.
***
“Sinar muak, Sinar mau pergi dari rumah ini!” Sinar, memuntahkan kata-kata itu. Ada kecewa di sudut hatiku. “Cahaya pergi dari rumah, dia bahagia seperti juga Terang. Mereka mendapatkan kebebasan, mereka menyusun kehidupan.” Binar mulai membandingkan diri dengan kakak dan adiknya.
“Mereka pergi setelah mimpinya mati.” Dalam hati aku mengingatkan diriku sendiri. Akulah pembunuh mimpi mereka. “Mereka pergi karena sudah waktunya untuk mereka pergi.”
“Lalu, kapan waktu yang tepat untuk Sinar bisa pergi?” kata-katanya tegas, warisan dariku. Betapa miripnya dia denganku. Itulah yang membuatku tak ingin membiarkannya pergi. Terlalu menyayanginya karena ada banyak sama yang kami punya.
“Kapan?”tak terdengar. Aku menyesap teh dinginku, menarik rokok meraih remote televisi dan menonton tayangan berita. Sinar meraih tas kerjanya dan tak lama kudengar pintu terbanting dan suara langkahnya di atas. Debu-debu halus jatuh di wajahku. Aku seperti merasakan kaki-kakinya menginjak lantai kayu tepat di atas kepalaku.
Nyaris dua puluh tujuh tahun berlalu dan aku membuat sebuah kesimpulan, tak mudah membesarkan empat orang anak; Cahaya, Sinar, Terang dan Pijar. Cahaya, yang tertua, sudah delapan tahun tak di rumah. Setengah waktunya untuk belajar di kota seberang setengah waktunya untuk bekerja di sebuah desa di pedalaman. Sewaktu-waktu dia pulang dan mengunjungi rumah. Dia selalu bahagia di rumah. Tahun lalu Terang berangkat ke kota untuk kuliah, tak adil memang bagi Sinar. Ketika gilirannya untuk melanjutkan kuliah aku tak menemukan rupiah. Tahun depan, Pijar si bungsu menyusul Terang dan dia harus diperjuangkan.
“Bapak, lambang partainya mau di sebelah kanan atas atau di kiri bawah?” Itu pertanyaan Pijar. Aku bangkit dan menunduk untuk berjalan ke arahnya yang duduk bersila di depan komputer tua. Pijar tengah mendesain stiker untuk beberapa sepupu dan familiku yang akan menjadi calon legislatif.
“Bisakah mereka memenuhi janjinya?” tanya Pijar “Pijar takut membuat orang lain mempercayai mereka.” Ragu-ragu, Pijar akhirnya menghapus sederet kata yang terdengar menjual harapan. “Pijar mendesain beberapa stiker dan poster untuk mereka. Pijar sendiri tak tahu harus memilih yang mana.” Kebingungan tampak di wajahnya.
“Tuliskan saja, biar mereka yang memilih untuk mempercayainya.”
“Bagaimana jika, Pijar harus memilih karena Pijar terpaksa percaya?” pertanyaan yang sama yang pernah dilontarkan ibunya tepat di malam pernikahan kami. Pertanyaan yang tak pernah bisa kujawab hingga kini.
***
Menikah tidak sesederhana menggengam tangan ayahnya dan berikrar ‘saya terima nikahnya.’ Maknanya dalam, janji seumur hidup, janji sampai mati.
“Kenapa kita harus menikah?” Pertanyaan yang terlontar di malam pertama. Dia tahu aku menjebaknya.”Cinta bukan jawabannya?”
Aku menggeleng.
“Bapakku meninggal, aku tak punya tujuan. Tidak ada kepercayaan bagi remaja lelaki dengan banyak masalah. Aku ingin mereka melihatku sebagai laki-laki dewasa.” Aku menjawabnya. “Aku perlu pengakuan, sedikit warisan dan sebuah kehidupan. Kehidupan di atas kakiku sendiri. Denganmu aku bisa mewujudkan kehidupan itu, beri aku kepercayaan.”
“Bagaimana jika, aku harus memilih karena aku terpaksa percaya?”
Terpaksa, karena ya kami sekarang telah menikah. Pakaian adat yang masih melekat dan cincin pengikat adalah bukti yang kuat.
***
“Aku sudah melahirkan anak-anakmu. Membesarkan mereka dengan bantuan sedikit tanggung jawab darimu! Cahaya menelponku, aku bersyukur dia sakit. Aku memiliki alasan untuk menjenguk dan merawatnya beberapa hari. Artinya aku bisa libur dari pekerjaan rumah tangga dan lelahnya mencari nafkah.” Dia membereskan tas pakaiannya. “Untuk makan dan rokok.” Dia menyelipkan beberapa lembaran berangka yang akan memenuhi kebutuhanku beberapa hari.
“Kapan kau pulang?”
“Segera setelah Cahaya pulih, dia hanya perlu ini dan ini.” Istriku memperlihatkan dua kantung plastik kecil berisi obat-obatan tradisional.
“Suruh saja Cahaya pulang dia bisa ke dokter,”
“Tiga perempat gajinya habis untung Bank dan dia masih menanggung kuliah Terang.” Jawabnya cepat. “Lagipula, mau suruh Cahaya tidur di mana? Kursi di ruang tamu, tidak nyaman untuk orang yang sakit. Dan kolong? Dia harus berbagi tempat dengan Pijar dan barang-barang usang? Dia dengan senang hati andai kata dia anak lelaki! “
“Di kamar Sinar,”
“Seperti tak mengenal adat Sinar dan Cahaya, mereka terlihat seperti saudara hanya di depan kamera.” Aku teringat banyak foto-foto mereka di komputer milik Pijar. Mereka tampak bahagia tapi setahuku mereka jarang berbicara. Cahaya berhasil di wisuda di saat Sinar tak bisa melanjutkan kuliah. Sinar terlalu marah dan Cahaya terlalu merasa bersalah.
Aku membiarkan istriku berangkat untuk menemui putri tertuaku. Di rumah aku hanya bisa menunggu.
***
“Sampai kapan kita tinggal di sini?” Istriku mengeluhkan hal yang sama berulang-ulang. Dia ingin segera berada di rumah yang belum kami miliki.Untuk sementara kami harus bersyukur memiliki tempat berteduh di kolong rumah panggungnya. Itupun berkat kemurahan saudari-saudarinya yang dia tinggal menikah.
“Bukankah ini rumahmu?” itu jawaban dan juga pertanyaan.
“Masih rumah bapakku, andaikan dia tak kawin lagi dan meninggalkan aku dan saudari-saudariku di sini. Kapan kita bisa punya rumah sendiri, agar aku tak terus menerus bertoleransi?”
“Nanti,”
“Nanti? Setelah tanah warisanmu kau jual dan uangnya habis di meja judi?”
Tak ada jawaban hanya tamparan, setelah itu aku akan pergi dan menghilang berhari-hari.
***
Aku menua, terlihat dari jumlah uban dan kerutan. Kedewasaanku terlambat datang. Menyesal menyia-nyiakan begitu banyak waktu dan kesempatan. Lupa kapan harus memulai untuk bertanggung jawab sampai kemudian tanggung jawab sendiri yang menuntutku dengan kejam.
Pijar baru saja pamit ke lapangan untuk bermain bola. Nyaris bersamaan dengan masuknya SMS Terang yang minta dikirimkan uang tunggakkan kosnya. Tak lama istriku menelpon, mengabarkan untuk menjemputnya segera. Cahaya kritis dan nyawanya dalam bahaya. Hendak melangkah, seorang pemuda tanggung berwajah cemas memasuki kolong, menyapaku ragu lalu menjabat tanganku. Aku merasakan tangannya dingin dan gemetar.
“Ijinkan saya bertanggung jawab atas Sinar,”
Peristiwa itu seolah saling bertabrakan dan pecahan-pecahannya menghantamku tanpa rasa kasihan. Aku ingin kembali di suatu ketika saat kolong ini masih kosong. Aku berharap aku hanya menunggu dan menunggu, gadis itu tak pernah datang dan sarungku tak berpindah tangan. Hingga aku tak perlu memikirkan jawaban ‘Bagaimana jika, aku harus memilih karena aku terpaksa percaya?’
Sekarang, aku hanya ingin memilih untuk percaya bahwa kolong ini pernah tanpa cerita dan kosong. Jauh sebelum aku datang dan memulai segalanya dengan sebuah jebakan bohong.
0 comments