Tidak disangka, sudah sepuluh minggu sejak aku dan kamu memilih pisah. Ternyata, beberapa bulan ini, segalanya memang terasa tak lagi sama seperti dulu. Aku dan kamu memilih saling menjauh, sebenarnya tak saling, karena yang memilih pergi lebih dulu adalah kamu. Di sini, aku cuma mengimbangi, cuma berusaha menerima kamu yang sudah jauh berbeda.
Selama ini, aku berusaha terlihat baik-baik saja. Tentu saja, ada yang datang dan pergi selama sepuluh minggu ini, Sayang. Tapi, entah mengapa; aku tak berani membuat hubungan baru itu menjadi hubungan yang serius. Aku masih teringat kamu, masih teringat kita, dan masih terlalu takut untuk buru-buru membuka hatiku.
Aku sudah tahu kalau kamu sudah punya penggantiku. Betapa mudah bagimu, Sayang, untuk melupakan segalanya. Aku juga ingin sepertimu yang mudah bahagia tanpa melibatkan kehadiran masa lalu. Kemudian, atas izin Tuhan, aku bertemu dia. Pria yang tak setampan kamu, berkulit sawo matang, rambutnya memang tidak sesempurna rambut tebal dan hitammu. Hidungnya tidak mancung, dia tidak terlalu humoris seperti kamu. Ah.... bayangkan, Sayang, aku masih membanding-bandingkan banyak pria dengan kamu. Entah sejak kapan postur tubuhmu yang begitu kuingat sudah menjadi patokanku untuk mencari pengganti baru. Mungkin, ini obsesi tersendiri. Aku ingin menghadirkan sosokmu dalam tubuh seseorang yang baru.
Pria baru itu berjanji seperti kamu, Sayang. Dengan tatapan lembut, dengan rangkulan yang pekat, dengan bisikan yang terasa begitu dekat. Awalnya, aku tak ingin memercayai itu. Awalnya, aku ingin mendiamkan kehadirannya dan membiarkan dia bertingkah tanpa kugubris sama sekali. Tapi, sekali lagi, Sayang, aku sedikit menemukan sosokmu dalam kehadirannya. Dia pendengar yang baik, mau memahami imajinasiku, mampu membuatku tertawa. Dan, satu lagi, perlahan-lahan dia hampir membuatku melupakanmu.
Ada dirimu di dalam dirinya, tapi dia sungguhlah orang yang berbeda. Dia pernah bilang padaku, takkan menyakitiku seperti kamu menghempaskanku. Dia pernah berjanji, takkan meninggalkanku seperti dengan mudah kamu menyuruhku pergi. Sorot matanya yang lembut dan hangat, membuat aku (sekali lagi) percaya bahwa itu cinta. Aku mencoba melupakanmu, Sayang. Aku izinkan dia masuk dalam hidupku, menjadi orang yang menggenggam jemariku; jemari yang pernah kaugenggam begitu erat dan kaujanjikan tak akan pernah kaulepaskan.
Pelan-pelan, dia mengobati lukaku. Dalam setiap percakapan panjang kami di ujung telepon, dia selalu membuatku tertawa geli, walaupun leluconnya memang tak sebodoh leluconmu. Oh, iya, dia juga suka menulis, Sayang. Dia mengajariku teknik menulis skenario yang diajari oleh dosennya. Kalau kauingin tahu, dia seangkatan dengan kita, Sayang, hanya saja umurnya lebih muda darimu. Lalu, dengan sikapnya yang manja namun menggemaskan, dia menjelaskan perbedaan antara tokoh antagonis dan protagonis. Sambil menyebut namaku dengan panggilan yang sangat manis, dia mengucapkan kata sayang itu. Kata sayang yang lembut dan deras, sama ketika kamu ucapkan kalimat itu untukku.
Aku yakin dia adalah yang paling berbeda, dia berhasil sedikit demi sedikit membawa matahari ke dalam mendungku. Pertama kali bertemu, dia langsung membawaku ke dalam rangkulannya. Sayang, kamu ingat? Pertama kali bertemu, kamu juga langsung merangkulku. Namun, aku tak sadar, bagi seorang pria; rangkulan berarti hanya menginginkan segalanya sebatas pertemanan, walaupun ada kata sayang dan kata cinta dalam status tersebut. Iya, itu yang kupelajari darimu. Alangkah jahatnya pria-pria macam dia dan macam kamu, semoga cukup aku saja yang merasakan dusta seperti itu.
Dibuatnya perasaanku tak lagi beku, tapi diam-diam pun aku masih merindukanmu. Masih kucuri waktu untuk mencari kabarmu. Masih kusempatkan diri untuk merindukanmu. Masih kusebutkan namamu dalam setiap wirid lemah di ujung malamku. Kamu masih jadi segalaku, Sayang. Entah sejak kapan, kamu sudah memenuhi ruang-ruang sepi di hati dan otakku. Bukan perkara mudah untuk mengusir kamu dengan mengganti seseorang yang baru. Seseorang yang sosoknya justru sering mengingatkanku padamu.
Kamu mau tahu cerita akhirnya? Iya, dia tidak berbeda denganmu. Dia membuatku mulai mencintainya, lalu aku percaya segala perkataannya. Ketika kuharap dia menjadi yang pertama, ternyata dia malah menjadikanku yang kesekian. Dia tinggalkan aku semudah kamu meninggalkanku. Dia pergi semudah kamu memilih pergi. Aku tak tahu, Sayang. Sekarang siapa yang salah? Siapa yang berdusta? Rasanya aku sudah terlalu lelah. Terlalu lelah merindukanmu, juga sudah terlalu lelah mengharapkan seseorang yang lebih baik darimu.
Apakah aku harus berkata hal bodoh ini? Aku ingin kamu kembali.
0 comments