Memilih Pergi dan Berhenti

Aku menghampirimu dengan beberapa buku di genggaman jemariku. Buku-buku mengenai keajaiban-keajaiban yang dilakukan Yesus, mengenai khotbah sehari-hari, dan santapan rohani untuk saat teduh setiap pagi. Kamu tersenyum ke arahku, ketika kutunjukkan buku-buku yang sudah menjadi pilihanku. Sambil berbincang beberapa kalimat, kamu meminta pendapatku mengenai buku yang kamu pilih. Buku mengenai keajaiban saat berpuasa dan terapi salat tahajud. Aku mengangguk setuju, itu buku yang sama menariknya bagiku. 

Lalu, kamu menyodorkan sebuah buku yang lebih dulu kupunya; buku iqro. Kamu berkata dengan suara santai bahwa buku itu bisa membantuku melewati mata kuliah ikhtisar bahasa arab di jurusan kuliahku. Aku menggeleng lemah karena buku itu sudah lebih dulu kubeli ketika awal semester satu. Aku sudah menamatkannya sampai iqro lima. Memangnya kamu lupa? Waktu aku bisa menuliskan namamu dengan tulisan Arab dan seusai itu kamu tertawa setengah mati. Tulisan Arab yang belum sepenuhnya sempurna, dengan harakat tasydid yang belum terlalu rapi. Aku ikut tertawa ketika melihat kamu tertawa. Iya, kita pernah dalam keadaan bahagia dan baik-baik saja.

Sepulang dari toko buku di bilangan Depok itu, kita berjalan menuju parkiran sepeda motor. Seperti biasa, kamu menawarkan diri untuk membawa plastik berisi buku-buku yang kita beli. Kita sampai di depan honda beat merah milikmu, sepada motor yang sering kamu gunakan untuk membelah jalanan menuju cempaka putih, menuju kampus tempat kamu melahirkan kreativitas dan ide cemerlang. Tanpa kuminta, kamu membelai rambutku dengan sentuhan lembut, lantas memakaikan helm di kepalaku. Kamu juga mengenakan helm dan merapatkan jaket jeans birumu. Jaket yang selalu kusarankan untuk dicuci sekali dalam dua hari.

Dalam perjalanan menuju rumah temanku, kita bercerita banyak hal. Kamu berulang kali bercerita tentang telur balado dan ayam goreng. Masakan yang paling kaucintai, namun paling berbahaya bagimu. Aku ingat, Sayang. Kamu sakit maag dan perutmu tak mungkin bersahabat dengan sambal serta makanan berminyak. Lagipula, saat itu kamu juga sedang tidak makan dan tidak minum sampai merdu suara azan magrib menggema. Peristiwa selanjutnya, seperti peristiwa dalam film komedi romantis. Ketika kita berhenti sejenak di lampu merah dekat Jalan Juanda, kamu memutar kaca spion agar bisa menatap wajahku yang ada di belakangmu. Kamu menggenggam erat jemariku sambil melayangkan pandangan matamu ke arah kaca spion. Aku merasakan kedamaian yang sulit dijelaskan. Aku percaya, Sayang, suatu saat nanti kita bisa bahagia dengan atau tanpa perjuangan yang berlebihan.

Aku selalu bahagia ketika bersamamu, entah dalam pertemuan atau dalam percakapan kita lewat telepon. Kamu selalu bilang bahwa yang kaurasakan bersamaku adalah kenyamanan yang tak kaurasakan pada mantan kekasihmu. Aku tersenyum dan merasa hatiku begitu hangat disentuh dengan ucapan seperti itu. Kamu juga selalu minta ditemani, walaupun hanya lewat pesan singkat, ketika mengerjakan tugas kuliahmu atau tugas membuat spanduk untuk karang taruna. Kita sudah begitu dekat, tapi salahku, sekali lagi, yang tak meminta status dan kejelasan padamu.

Sesampainya di depan rumah temanku, aku bermaksud mengenalkan sosokmu pada mereka. Kamu menjawab dengan gelengan mantap, katamu dengan tatapan meyakinkan; bahwa kamu masih harus kembali ke jalan Margonda untuk mengambil stempel. Aku membalas dengan senyuman yang sebenarnya dibalut dalam rasa kecewa. Aku turun dari sepeda motormu dan kamu membuka helm yang kukenakan. Sebelum kamu pamit pergi, kamu yang masih di atas sepeda motor, kembali memegang kepalaku dan membelai helai rambutku. Kamu menarikku dalam pelukan, pelukan yang tidak kubalas sepenuhnya. Aku langsung melepaskan pelukanmu dan mengingatkan padamu agar puasa yang kaujalani tidak makruh. Dengan tawamu yang kurasa tak begitu lepas, kamu akhirnya menerima nasihatku. Kamu melambaikan tangan dan pergi.

Dan, nyatanya, kamu memang benar-benar pergi. Setelah peristiwa itu, kabarmu tak lagi mampir di telingaku, di tatapku, juga di handphone-ku. Kamu menghilang seakan kita dulu tak pernah tahu dan bertemu. Aku bertanya-tanya tentang rasa kehilangan yang sebenarnya tak lagi asing bagiku. Tapi, tidak munafik jika setiap kehilangan pasti menghasilkan perasaan tersendiri; penyesalan, marah, dan rasa takut. 

Kita belum saling memperjuangkan juga saling membahagiakan, namun mengapa kamu sudah memilih pergi dan berhenti?

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Evo Sastra
Designed by Evo Sastra
..
Back to top