(Adinda duduk bersimpuh di atas sajadah, matanya basah tapi binarnya bahagia. Menarik nafas panjang dan tersenyum, berdiri melipat mukenanya dan mengenakan kembali jilbab motif bunganya yang tadinya terlipat rapi di ujung tempat tidur. Membuka pintu kamarnya dan berjalan pelan menuju kamar yang berada di samping kamarnya. Dia tidak mengetuk tapi langsung membuka pintunya. Suara langkahnya terlalu lembut untuk terdengar oleh bocah laki-laki 12 tahun yang terlelap, kedua telinga si bocah tertutup earphone yang sedang memutar musik hip-hop. Adinda mencabut earphone dari telinga adiknya, mematikan musik, dan menyetel alarm pada pukul 3:30 am. Dinda menatap wajah anak laki-laki gembul yang masih memiliki lemak bayi di hampir seluruh tubuhnya)
Mbak Dinda, akan selalu anggap Bobby jadi bayi mungil, adik yang paling mbak Dinda sayang, tahun depan kita nggak bisa ketemu lagi, Boo, tapi Boo harus janji ya bakalan betah di pesantren dan belajar jadi anak soleh. Mbak Dinda sebenarnya nggak setuju alasan Papa masukin Boo ke pesantren gara-gara ayah pengen Boo berhenti jadi anak nakal. Boo sebenarnya nggak nakal kan, ya? hanya kurang dapat perhatian.
(Adinda menatap lekat-lekat wajah Bobby, membelai rambut membandel di keningnya, mencium puncak kepalanya, merapatkan selimut dan mematikan lampu kamar yang dipenuhi poster jagoan dalam Manga kesayangan adiknya. Adinda keluar dari kamar dan menutup pintu perlahan lalu membuka pinta kamar yang berada tepat di depan kamar adiknya. Adinda memasuki kamar yang dimana wangi dupa aromaterapi Lavender tercium dan instrumen saxophonemengalun lembut, dua hal yang membantu si pemilik kamar agar bisa tertidur. Adinda menatap wajah cantik yang terlelap yang hanya disinari temaram lampu dengan cahaya keemasan)
Mbakku sayang, Dinda pasti akan kangenin mbak Laura. Kita emang nggak pernah lagi berbagi banyak waktu seperti ketika kita kecil dulu. Tapi mbak Laura harus tahu kalau kemanapun Dinda pergi, mbak Laura akan Dinda simpan di dalam hati. Mbak Laura selalu bilang, kalau tidak ada lagi yang peduli? Ada mbak...Yang Maha Pengasih. Mbak selalu marah pada hidup dan bilang bahwa hidup nggak adil. Keadilan ada di Yang Maha Adil, mbak, sama kayak cinta tak terhingga di Yang Maha Penyayang. Allah selalu ada untuk mbak Laura, mungkin hanya mbak Laura yang menjauh dari-Nya. Mbak Laura, gadis yang beruntung, mbak Laura punya segala hal yang diinginkan oleh gadis manapun, mbak Laura hanya perlu mencukupkannya dengan syukur.
(Adinda meraih jam beker berwarna silver di sisi tempat tidur, memasang waktu berdering nanti di pukul 3: 40 pagi. Memperbaiki letak selimut cashmerekakaknya, dan memberi cium hangat di keningnya. Adinda berbalik dan keluar kamar, lalu menuju ke kamar terakhir yang paling ujung, kamar orang tuanya. Kamar besar, mewah, dan hangat. Suara nafas lembut ayah dan ibunya membuatnya meneteskan air mata. Masing-masing diberikan kecupan hangat di pipi oleh Adinda. Adinda duduk di puff mungil di dekat tempat tidur menatap kedua orang tuanya yang bernafas pelan dan teratur)
Dulu, Adinda juga selalu masuk ke kamar mama-papa lewat tengah malam kayak gini, dengan diam-diam. Cuma untuk memastikan kalau mama papa masih hidup, bernafas teratur dalam lelap tidur. Adinda selalu ketakutan kalau-kalau tidak bisa lagi melihat mama-papa keesokan harinya. Lagipula, selain malam hari, Adinda tak tahu waktu yang tepat untuk kita bisa ketemu.
Ma....pa... Dinda sangat sayang pada kalian berdua, Dinda berterima kasih atas semua hal yang udah diberikan pada Dinda, tapi ada hal yang belum pernah papa berikan untuk Dinda, kalau boleh lagi Dinda minta satu hal, Dinda ingin diimami sholat sama papa. Seingat Dinda, kita nggak pernah kan, ya? Papa selalu sholat sendiri, itupun hanya sholat jumat dan hari raya dan jika papa sempat dan ingat.
Ma... Dinda senang sekali jika mama mau memakai hijab, dan mama pasti akan terlihat sangat cantik. Boleh berhenti kan ma, menganggap diri bisa muda selamanya? Mama cantik apa adanya, tanpa diet berat, perawatan kecantikan di salon mahal ataupun face lift yang menyakitkan.
(Dinda mencium kening kedua orang tuanya dan menyetel alarm di beker yang berada di meja sisi tempat tidur. Dinda menutup pintu dan mematikan lampu. Dinda memasuki dapur yang beraroma wangi makanan kesukaan keluarganya, membantu wanita yang mulai menua yang menggantikan fungsi ibunya di rumah. Jelang setengah empat pagi, Adinda duduk di meja makan, membuka laptop-nya dan login di Skype, membuka recent contact tapi seseorang yang dimaksud rupanya sedang offline, jadi dia masuk ke profil dan menatap foto yang menampilkan wajah lelaki berkulit pucat dan berambut merah yang sedang tersenyum padanya)
Kiitos, rakas[1]. Muhammad Waduud-ku, semoga namamu menjadi doa bagimu, Muhammad yang penuh kasih sayang, nama indah yang kamu pilih sendiri, seperti nama nabi kami dan sifatnya yang penuh kasih. Dua kalimat Syahadat yang kau ucapkan tiga bulan lalu, tentu bukan karena kamu mencintaiku, tapi karena kamu memang telah diberi hidayah untuk beriman kepada Allah, terima kasih, ini bukan hanya karena alasan untuk mempermudah toleransi.
(Terdengar bunyi alarm yang hampir bersamaan dan suara langkah kaki yang menuruni tangga. Satu persatu wajah anggota keluarganya bermunculan di ruang makan dengan wajah mengantuk tapi tersenyum pada Adinda dan mengangguk. namun Adinda menunduk, memejamkan mata dan berbisik pada dirinya sendiri)
Semoga, Ramadhan terakhirku di rumah membawa berkah, mengembalikan keluargaku ke jalan Allah. Tahun depan Insyah Allah aku akan menjalani Ramadhan di Helsinski, di mana calon suamiku berada, Ramadhan yang akan membawa tantangan berbeda, berpuasa dengan rentang waktu yang jauh lebih lama. Aku percaya Allah selalu punya cara untuk mengembalikan umatnya ke jalannya dengan cara yang penuh cinta.
0 comments