Aku pernah jadi yang paling bahagia dalam rangkul pelukmu. Aku pernah berada dalam keadaan baik-baik saja saat jemarimu masih erat menggenggam jemariku. Kita pernah merasa bahwa yang aku dan kamu jalani adalah yang selama ini kita cari-cari, kebahagiaan yang nyata meskipun kita berbeda.
Sudah lewat sembilan minggu sejak kepergian kamu dan ingatanku masih sangat tajam mengenang kita yang dulu pernah ada. Aku pernah kaubuat tertawa dalam setiap canda kita, dalam setiap pesan singkat, dalam setiap sambungan telepon, dan dalam setiap tatap mata. Saat itu, aku percaya bahwa kamulah yang kelak akan membukakan mataku tentang cinta, mengubah persepsiku bahwa cinta tak selalu luka dan dusta. Hadirmu membuat aku percaya, bahwa kita sedang menuju bahagia, aku dan kamu sedang dalam perjalanan menuju ujung pencarian kita. Tapi, akupun yang selalu bicara tentang cinta; ternyata bisa juga salah.
Aku salah mengartikan semuanya. Kupikir perhatianmu sungguh kautunjukkan untukku. Kukira segala ungkapan dan ucapanmu adalah hal mutlak yang menjadi peganganku. Kuterka bahwa yang selama ini kita jalani adalah kekuatan cinta. Ah, aku begitu cepat menduga. Yang selama ini kuberi nama cinta, hanyalah omong kosong belaka. Yang kukira perasaanmu nyata, ternyata hanya rasa iseng yang pura-pura kauseriusi. Dalam pikiranmu, aku dianggap sebagai medan permainan, tempat kaumelarikan kekesalan pada dunia yang tak lagi tunduk pada keinginanmu. Kauperlakukan aku layaknya boneka, kaulumpuhkan hatinya, kaubutakan perasaannya, lalu kauatur segalanya. Kaurancang semuanya, hingga mataku buta, hingga telingaku tuli; hingga aku tak bisa membedakan mana cinta dan mana dusta.
Aku tak tahu, apakah kata sayang yang selama ini kaubisikan dalam setiap percakapan kita, hanyalah bualan yang kaupikir bisa dijadikan bahan candaan? Kamu pernah berjanji, Sayang. Ketika kuceritakan tentang dia yang pernah melukaiku, kamu berjanji tak akan berikan luka yang sama padaku. Kalau aku diizinkan mengungkit segalanya, lantas mengapa kaupergi ketika aku sedang cinta-cintanya?
Setelah kepergianmu, kamu tak pernah lagi pulang. Bahkan untuk sekadar tahu kabarku, bahkan untuk sedikit saja menyapaku; kamu tak mau. Kita berpisah tanpa kata pisah. Kita menjauh tanpa pernah tahu yang sesungguhnya terjadi. Rasanya ingin kukatakan berkali-kali bahwa bukan ini yang kumau, bahwa bukan kepergianmu yang selama ini kutunggu. Kubiarkan kauterus mendekatiku, kuterima kaudalam keadaan terburukmu, kurangkul kaudalam doa dan nyata; tapi nyatanya kaubikin aku begini tersiksa.
Aku menunggu saat-saat aku dan kamu bisa melebur jadi satu. Saat aku dan kamu melupakan perbedaan kita, saat-saat aku tak peduli berapa tebal dompetmu, saat aku tak peduli dengan kendaraan yang kautunggangi. Aku sudah berada dalam titik itu, tapi kauterus diam, tak ingin kuajak berjalan dan melangkah terlalu jauh. Jika selama ini semua terasa begitu manis, mengapa kauberikan aku sesuatu yang sangat pahit di akhir, Sayang?
Sembilan minggu setelah kepergian kamu. Tak banyak berubah. Langitku masih sama, mendungku masih ada. Sakitku masih parah, lukaku masih merah. Hatiku masih lebam, ingatanku masih keram. Kamu datang dan pergi sesuka hati, membiarkanku jadi penonton dalam dramamu. Kamu berganti-ganti topeng sesuka hati, membiarkanku kebingungan membedakan dirimu yang sesungguhnya masih begitu abu-abu.
Tak pantas lagi mengharapmu kembali, kamu yang sembilan minggu lalu masih begitu manis, tiba-tiba sekarang jadi begitu sadis. Kamu yang kukenal baik, lugu, dan tak banyak tingkah; kini sudah berganti wajah. Aku tak paham pria macam apa yang dulu kucintai. Ketololanku semakin lengkap ketika kutahu, kamu begitu mudah punya yang baru, sementara di sini aku masih sibuk menyembuhkan lukaku.
Di antara rasa lelah menunggu, di antara kesabaran merindu; ternyata aku masih berani merapal namamu dalam doaku. Selamat sembilan minggu, Sayang. Kapan pulang?
0 comments