Baca sebelumnya: Surat Cinta untuk Jokowi
Aku tak perlu menanyakan kabarmu, karena senyummu yang manis kala itu sudah menjawab segalanya. Nampaknya kamu sehat-sehat saja. Sinar matamu yang bersinar terang cukup membuatku tenang. Tak berkurang kegilaanku, aku ternyata semakin mencintaimu dalam keadaan sadar ataupun tidak sadar.
Pengeran kotak-kotakku datang dengan kemeja putih. Tampak sangat tampan dan memukau. Tubuhnya yang tipis membuatku ingin selalu melindunginya dalam pelukan. Baiklah, aku lancang. Ketika menyadari posisiku bukan siapa-siapa, aku memilih menatapmu dari jauh.
Sudah lama kutunggu saat-saat itu, saat aku bisa menggenggam erat jemarimu meskipun harus berjibaku dengan ratusan penggemar. Aku memimpikan saat-saat bisa menyelami banyak hal yang ada di bola matamu. Siang tadi, aku merasakannya. Kuatnya magismu, tawa lembutmu, dan suaramu yang santai menyebabkan gerakan aneh di hatiku; entah perasaan apa.
Senyummu yang bisa kunikmati dari jarak lima meter itu terus mengguncangkan pikiranku. Kalau kautak ada di panggung kala itu, aku akan memelukmu erat-erat dan tak akan melepaskanmu sampai kapan pun. Mustahil. Siapa aku di matamu? Rasa kagumku terlalu kecil jika dibandingkan dengan rasa kagum dan perhatian mereka untukmu. Keberaniaanku untuk menyentuhmu terlalu lemah, hingga hanya jemari dan bahumu saja yang bisa kusentuh.
Kebahagiaanku berlipat ganda. Senyummu bisa kunikmati tanpa batasan layar kaca. Kamu mau tahu perjuanganku saat menemuimu? Aku bangun pagi dan bergegas mengambil undangan, itu kulakukan hanya untuk menemuimu. Aku harus menempuh jarak puluhan kilometer, Bogor-Jakarta; hanya untuk menikmati senyummu. Aku tak sarapan dan makan siang, hanya untuk merasakan hangatnya jemarimu mengisi sela-sela jemariku saat kita bersalaman. Sekarang, saat sedang menulis ini, kepalaku seakan berputar tak karuan. Sosokmu yang manis dan riuh penonton kala itu masih terdengar di telingaku.
Ini pertama kalinya aku bertemu denganmu. Kepercayaan dan keyakinanku terjawab juga, jika Tuhan mau— segala yang tak mungkin bisa saja menyentuh nyata. Aku tak berharap ini adalah pertemuan pertama dan terakhir. Izinkan aku terus berdoa untuk pertemuan kita selanjutnya. Perbolehkan aku terus mencintaimu dalam diam dan ketakutanku.
Takut? Apa yang kutakutkan? Aku takut jika hanya aku yang histeris sendirian ketika kautiba-tiba muncul dalam ingatanku. Aku takut jika perhatianku tak benar-benar kaurasakan. Aku takut pada ketidaktahuanmu terhadap sosokku.
Kausaja tidak tahu namaku, masih pantaskah aku berharap lebih?
dari pengagummu
yang selalu merindukan pertemuan nyata
0 comments