oleh Ani Gorrell (Catatan) pada 16 Maret 2013 pukul 6:26
Menetap di luar negeri menyebabkan saya kadangkala terkaget-kaget ketika membaca berita atau bertemu dengan orang Indonesia yang baru kembali dari tanah air. Tiba-tiba saja orang menggunakan kata ‘secara’ untuk mengatakan ‘karena’. Selain itu muncul kata-kata yang tak pernah saya dengar sebelumnya seperti ‘lebay’ atau ekspresi seperti ‘maksud lo’ dan lain-lainnya. Tetapi, yang paling mengejutkan adalah ketika saya menjumpai kata ‘memerhatikan’. Seingat saya, selama bersekolah di Indonesia sampai akhir tahun ‘80 an, kata itu selalu ditulis ‘memperhatikan’. Dalam pikiran saya, kata itu berasal dari kata dasar ‘hati’ yang mendapat awalan ‘memper’ dan akhiran ‘kan’. Sampai saat itu, rasanya tak ada yang tahu bahwa kata dasar untuk ‘memerhatikan’ adalah ‘perhati’ yang juga merupakan kata kerja. Tak berhenti di situ, media massa sekarang tidak lagi menulis kata-kata seperti ‘mengkomunikasikan’, ‘mempengaruhi’, ‘mempersepsikan’, ‘menterjemahkan’, dan ‘mentertawakan’.
Perubahan ini membuat saya penasaran bukan karena ejaannya yang berbeda tetapi lebih karena kaidah-kaidahnya. Memang, menurut kaidah pembentukan kata kerja dalam Bahasa Indonesia, kata kerja yang diawali dengan fonem /k/, /p/, /s/, dan /t/ akan mengalami nasasilasi. Tetapi menurut Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan cetakan ke-8 (tahun 1997), ada beberapa hal yang mengalami pengecualian.
Pertama, kata dasar yang mulai dengan ter- seperti pada tertawa, terjemah, terlantar, dan tercengang fonem /t/ kadang-kadang luluh, kadang-kadang tidak. Dengan demikian, kata yang sering dipakai umumnya cenderung untuk luluh, sedangkan yang jarang dipakai lebih sering muncul tanpa peluluhan.
- Terjemah menjadi menerjemahkan atau menterjemahkan
- Tertawa menjadi menertawakan atau mentertawakan
- Tercengang menjadi mentercengangkan (jarang menercengangkan)
- Terlantar menjadi menterlantarkan (jarang menerlantarkan)
Kedua, peluluhan tidak terjadi jika fonem /p/ yang merupakan permulaan dari prefiks per atau dasarnya mulai dengan per dan pe tertentu.
- Me(ng) + peduli + kan menjadi mempedulikan
- Me(ng) + pesona + kan menjadi mempesonakan
Ketiga, kata-kata yang berasal dari bahasa asing diperlakukan berbeda-beda bergantung pada frekuensi dan lamanya kata tersebut telah kita pakai. Jika dirasakan masih relatif baru, proses peluluhan di atas tidak berlaku. Hanya kecocokan artikulasi saja yang diperhatikan dengan catatan bahwa me(ng)- di depan dasar asing yang bermula dengan /s/ menjadi men. Jika dasar itu dirasakan tidak asing lagi, morfofonemiknya mengikuti kaidah yang umum.
- Me(ng) + produksi menjadi memproduksi
- Me(ng) + klarifikasi menjadi mengklarifikasi
- Me(ng) + transfer menjadi mentransfer
- Me(ng) + protes menjadi memprotes atau memrotes
- Me(ng) + proses menjadi memproses atau memroses
- Me(ng) + diskusi menjadi mendiskusikan
- Me(ng) + sukses + kan menjadi mensukseskan atau menyukseskan
Walaupun kaidah tersebut di atas terdapat pada Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, ketika saya bicarakan dengan seorang kawan yang mengambil bidang studi Bahasa Indonesia, beliau mengatakan tidak pernah membaca tentang aturan tersebut. Oleh karena teman itu beberapa tahun lebih muda dari saya, saya menduga bahwa aturan Tata Bahasa Indonesia sudah berubah. Sayang, ketika berkunjung ke Indonesia tahun lalu, saya tidak berhasil mendapatkan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia edisi terbaru.
Dari referensi yang lebih baru, yaitu Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia yang ditulis oleh Abdul Chaer dan diterbitkan pada September, 2000, terdapat kaidah-kaidah yang tidak dijumpai dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia keluaran Depdikbud itu. Menurut Abdul Chaer, Lektor Kepala IKIP Jakarta yang juga pernah menjadi anggota tim penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi pertama, penambahan awalan me- pada kata-kata yang mulai dengan gugus konsonan yang biasanya merupakan kata serapan dari bahasa daerah dan bahasa asing, disarankan sebagai berikut:
Untuk kata-kata yang pengindonesiaannya belum dianggap penuh… konsonan tak bersuara (s, k, p, dan t) yang menjadi konsonan awal kata-kata itu tidak disenyawakan. Misalnya seperti terdapat pada kata-kata: mengklasifikasikan, memproklamasikan, mentrayekkan, menswadayakan, mengkonfrontasikan
Untuk kata-kata yang pengindonesiaannya sudah dianggap penuh, mula-mula disisipkan vokal pepet pada gugus konsonannya, kemudian baru diberi awalan me menurut aturan di atas, dan konsonan s, k, p, dan t yang menjadi konsonan awal kata-kata itu disenyawakan dengan bunyi nasal dari awalan me.
Kritik --- keritik --- mengeritik
Proses --- peroses --- memeroses
Stensil --- setensil --- menyetensil
Dalam buku tersebut tidak terdapat pembahasan tentang kaidah seperti tersebut dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia mengenai kata berawalan ter, per dan pe. Berhubung saya tidak memiliki referensi lain untuk memverifikasi kebenaran beberapa kaidah tersebut, saya lalu berkonsultasi dengan KBBI edisi ketiga yang dikeluarkan pada 2001. Dari KBBI saya mendapatkan beberapa kata seperti berikut:
- Me + tertawa + kan menjadi menertawakan
- Me + telantar + kan menjadi menelantarkan
- Me + terjemah + kan menjadi menerjemahkan
- Me + peduli + kan menjadi memedulikan
- Me + persuasi menjadi memersuasi
- Me + pesona menjadi memesona
- Me + proses menjadi memproses
- Me + produksi menjadi memproduksi
- Me + prihatin + kan menjadi memprihatinkan
- Me + prioritas + kan menjadi memprioritaskan
- Me + komunikasi + kan menjadi mengomunikasikan
- Me + kritik menjadi mengkritik
- Me + kristal menjadi mengkristal
Setelah memeriksa beberapa kata dalam KBBI, saya berkesimpulan bahwa hanya terdapat satu pengecualian pada kaidah morfofonemik awalan me(ng). Pengecualian itu adalah bahwa kata-kata yang diawali dengan gugus konsonan, baik itu berasal dari bahasa daerah maupun bahasa asing, tidak mengalami peluluhan. Dengan pemikiran ini, saya pun mengira bahwa ‘me + punya + i’ akan mempunyai bentuknya yang baru yaitu ‘memunyai’. Ternyata perkiraan saya keliru. Saya hanya menjumpai kata ‘mempunyai’. Padahal tidak ada gugus konsonan pada kata ‘punya’. Andaikata ‘mempunyai’ dapat bertahan dengan bentuk yang tidak mengikuti kaidah morfofonemik, mungkin saja kata ‘mempesona’, ‘mempengaruhi’, atau ‘mempersepsi’ akhirnya tetap akan tercantum dalam KBBI jika mayoritas masyarakat enggan mengubah kebiasaan mereka dalam berbahasa.
Kanata, 15 Maret 2013
----------------------
Uum G. Karyanto : Terima kasih atas tag-nya, Mbak Ani Gorrelll. Ini artikel yang sungguh menarik. Untuk artikel ini saya berkomentar sebagai berikut. (1) Tentang proses morfologis dan morfofonemis suatu kata tertentu, masih terdapat ketidaksepakatan di antara ahli-ahli bahasa kita. (2) Bahasa yang digunakan di media massa belum dapat dijadikan standar penggunaan bahasa yang benar; hanya beberapa media saja yang sudah mendekati keajekan kaidah bahasa. (3) Penggunaan bahasa oleh masyarakat umum masih sangat jauh dari harapan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, termasuk penggunaan oleh tokoh-tokoh nasional, baik yang tergolong akademisi maupun yang bukan akademisi. Jadi, sangat riskan kalau kita menyandarkan diri kepada penggunaan bahasa oleh tokoh-tokoh nasional itu. (4) Terkait dengan butir (1) s.d. (3) itu, kita dianjurkan untuk memedomani Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (PUEYD), KBBI dan TBBI saja, yang sudah distandardisasi melalui penelaahan dan kerja ilmiah dalam satu tim yang mengintegrasikan seluruh bidang dan memiliki legalitas dari Pemerintah serta telah mengakomodasi hasil-hasil pembicaraan di dalam kongres-kongres nasional Bahasa Indonesia. (5) Kata 'mempunyai' memang memenuhi syarat morfologis menjadi 'memunyai'. Akan tetapi, di dalam KBBI kata itu tetap dituliskan 'mempunyai' dengan pertimbangan secara foniologis kata 'memunyai' dinilai tidak serasi. Saya sendiri menilai pertimbangan ini tidak cukup kuat karena ada bias subjektivitasnya. Kata 'memunyai' bisa saja dinilai serasi secara fonologis oleh si A, tetapi tidak oleh si B. Dalam kasus seperti ini, kita sebagai pengguna bahasa akan lebih baik taat saja kepada ketentuan KBBI itu.
Satu hal lagi yang bisa saya tambahkan untuk artikel Mbak Ani, nasalisasi pada kata dasar dengan bunyi/huruf pertama /k/, /p/, /t/, dan /s/ kadang-kadang dikecualikan karena keperluan kepastian makna. Kata ‘kaji’ jika diserangkaikan dengan awalan me- dituliskan menjadi ‘mengkaji’. Padahal, kalau kita mengikuti kaidah mestinya ‘mengaji’. Akan tetapi, jika kaidah itu kita ikuti maka akan terjadi kerancuan dengan kata ‘mengaji’ yang terbentuk dari kata dasar ‘aji’. Oleh sebab itu, diambil jalan keluar ‘mengkaji’ untuk kata dasar ‘kaji’ dan ‘mengaji’ untuk kata dasar ‘aji’. ‘Mengkaji’ bermakna ‘memeriksa, menyelidiki, memikirkan, menguji, menelaah’, sedangkan ‘mengaji’ bermakna ‘membaca, merapal’.
-----------------
Masmimar Mangiang : Para linguist bahasa Indonesia “terlalu bernafsu” menegakkan kaidah bahasa dan hendak memperbaiki semua penyimpangan --yang sebetulnya tidak mengganggu nalar bahasa-- yang hidup dalam pemakaian bahasa sehari-hari. Mereka seakan-akan tidak mau menerima irregular form.
Tetapi di sisi lain, ada penyimpangan yang dibuat dengan sengaja, yakni “mengaji” jadi “mengkaji” (untuk urusan yang bukan kegiatan beragama). Pangkal dari penyimpangan yang disengaja ini adalah kesalahan memahami kata “kaji” dan “mengaji”. “Mengaji” diartikan --hanya-- sebagai kegiatan membaca Alquran, atau mempelajari masalah agama. Padahal arti “kaji” yang sebenarnya adalah “bahas”; “mengaji” adalah “membahas”, “mempelajari”. Itulah sebabnya kini kita sering membaca dan mendengar kalimat sejenis ini: Tim itu bertugas mengkaji faktor penyebab kegagalan proyek pengembangan perkebunan rakyat.
Saya termasuk orang yang enggan mengubah kebiasaan (kebiasaan yang tidak mengandung kekacauan nalar) berbahasa. Penyimpangan dalam hal kaidah yang tidak merusak logika, sebaiknya dibiarkan hidup sebagai irregular form. Saya suka “memperhatikan” dan tidak “memerhatikan”.
-------------------
Uum G. Karyanto : Setuju, Pak Masmimar Mangiang. Saya pun orang yang lebih mengutamakan aspek komunikatif dalam berbahasa; tidak ingin dipusingkan dengan serentetan kaidah yang pada kenyataannya juga tidak bisa sepenuhnya diterapkan secara ajek. Akan tetapi, kita tetap membutuhkan standardisasi yang legal, terutama untuk ragam ilmiah dan resmi. Standardisasi ini merupakan bagian penting dari politik bahasa nasional yang tujuan utamanya melindungi dan memberi arah yang jelas bagi perkembangan bahasa Indonesia itu sendiri dengan tetap menghargai sikap masyarakat dalam berbahasa.
-----------------
Ani Gorrell : Bang Uum G. Karyanto .. Benar bahwa kita tidak bisa menyandarkan diri pada penggunaan bahasa oleh media massa, tetapi media massa memberikan sirene akan adanya suatu perubahan atau perkembangan bahasa. Terutama untuk saya yang tidak dilingkungi oleh Bahasa Indonesia, media massa menjadi indikator yang penting. Yang saya pertanyakan adalah apakah kaidah-kaidah Tata Bahasa Indonesia itu berubah-ubah dari waktu ke waktu. Dari TBBI 1997 masih ada kaidah untuk morfofonemik me(ng) dengan dasar kata ter, per/pe, dan kata serapan. Menilik KBBI, saya pikir aturan itu tidak berlaku lagi. Padahal saya kira aturan itu sangat bijak dan baik untuk menandai karakteristik Bahasa Indonesia. Dengan memberlakukan aturan untuk kata serapan, akan terlihat yang mana kata asli Indonesia dan yang mana merupakan serapan. Saya pun setuju dengan Bang Masmimar Mangiang tentang bentuk tak teratur itu. Bahasa-bahasa yang lebih tua dan telah mapan aturannya pun masih mempunyai bentuk-bentuk irregular dan pengecualian-pengecualian. Dalam ketakteraturannya, selama masih ada pedoman (seperti ketika menghadapi kata dasar yang berawal dengan per atau pe misalnya), yang tidak teratur itu akan menjadi teratur juga, kan Saya setuju dengan Bang Uum bahwa kerancuan ini salah satunya bersumber pada ketidaksepakatan ahli-ahli bahasa kita. Saya pikir, sangat riskan mengubah kaidah tata bahasa karena ahli bahasa terdahulu menciptakan aturan tertentu bukannya tidak melalui pertimbangan-pertimbangan matang. Selain itu, selama kaidah-kaidah itu tidak saling bertentangan sehingga membingungkan pemakainya, saya kira itu justru akan memperkaya bahasa kita.
------------------
Ani Gorrell : Masmimar Mangiang .. Saya pun seperti Bang Mimar, tapi bukan karena enggan untuk mengubah kebiasaan melainkan tidak sampai hati mengucapkan memerhatikan. Saya merasa seperti merusak keindahan bahasa sendiri Mengaji bukan satu-satunya kata yang mempunyai potensi untuk merancukan. Mengukur punya beberapa arti. Begitu juga dengan memasak. Toh kita akan tahu perbedaannya ketika melihat konteksnya. Jadi, kita gunakan kata mengaji saja supaya orang-orang tahu bahwa mengaji tidak selalu mengacu kepada mempelajari Al Quran?
--------------------
Uum G. Karyanto : Ya, Mbak Ani Gorrell. Saya kira di situlah peran penting standardisasi bahasa (dalam hal ini KBBI, dll.). Seorang ahli bahasa bisa saja bersilang pendapat. Persilangan pendapat ini tentu membingungkan kita. Dalam kondisi seperti ini kita tentu membutuhkan kaidah yang mempunyai kekuatan legal. Nah, kekuatan legal itu--katakanlah begitu--adalah hasil kerja tim yang dibentuk oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (dulu: Pusat Bahasa), yaitu KBBI dll. itu. Saya sendiri berpendapat KBBI masih memiliki beberapa kelemahan. Tetapi, apa boleh buat, itulah yang kita miliki sekarang. KBBI dll. itu juga mengalami revisi dari waktu ke waktu. Tentang 'pembicara' dan 'pebicara', saya melihat ini juga contoh kelemahan tata bahasa kita. Di dalam KBBI hanya ada 'pembicara'. Padahal, jika kita menggunakan kaidah yang sama mestinya 'pebicara' juga ada sebagai turunan kata 'berbicara' untuk dibedakan dengan 'pembicara' yang diturunkan dari kata 'membicarakan'.
-------------------
Sitok Srengenge : Awalan me- jika melekat pada kata berawalan huruf /p/ memang mengalami peluluhan. Begitu aturan EYD. Tapi itu hanya berlaku bagi kata dasar dan bukan kata jadian atau kata serapan. Karena itu, untuk kasus yang ditanyakan oleh Ani Gorrell, mestinya "memperhatikan" karena kata dasarnya "hati".
------------------
Ani Gorrell : Sitok Srengenge.. Semula saya kira begitu juga. 'Memperhatikan' berasal dari kata 'hati'. Tapi ternyata kata dasarnya 'perhati'. Jangan kaget krn saya yakin tak bnyk orang yg tahu kata ini. Dan, sampai akhir th '90 an, utk kata serapan dari bhs asing dan daerah ada perlakuan yg berbeda. Tapi sekarang, aturan ttg kata serapan itu tidak ada lagi. Hanya kata dasar yg diawali dg gugus konsonan (misal pr, kr, kl) yg tdk mengalami peluluhan. Karena itu, menurut kaidah tata bahasa sekarang, mestinya kita tidak lagi menulis mempersepsikan tapi memersepsikan. Bukan mengkomunikasikan tapi mengomunikasikan. Aneh ya?
-------------------
Sitok Srengenge : Kata dasar "perhati itu" tak ada. Itu khayalan sejumlah orang dari pusat bahasa yang salah tapi gengsi tak mau malu Kata "persepsi" itu serapan, jadi ketika mendapat awalan me- menjadi "mempersepsikan". Apa yang disampaikan Bung Masmimar Mangiang itu benar belaka
---------------
Kajitow El-kayeni : benar mas Sitok Srengenge. perhatikan seharusnya berkata dasar "hati." orang pusat bahasa harus merunut akar kata pradasar perhati, yaitu hati. seperti punya dari akar empu. satu lagi, seharusnya tidak hanya sistem yang digembar-gemborkan, tapi apa yang berlaku dalam masyarakat. KBBI seharusnya menerangkan sejarah kata, bukan asal comot.
---------------------
Uum G. Karyanto : Saya ingin mengucapkan terima kasih atas komentar teman-teman yang saya nilai sangat responsif dan membuat saya merasa perlu menggali kembali informasi perihal kontroversi kata ‘memperhatikan’ vs. ‘memerhatikan’. Hasilnya sangat positif. Saya menemukan artikel yang ditulis oleh Imam Jahrudin Priyanto (Pikiran Rakyat, 21 Januari 2009) yang bagian relevannya saya kutipkan di bawah ini. Dengan ini pula saya mohon maaf dan saya sampaikan pula bahwa komentar saya tentang kedua kata itu dapat diabaikan saja karena bersumber pada KBBI Edisi III yang ternyata telah direvisi dengan edisi IV. Satu hal yang perlu saya tegaskan bahwa kita perlu mengapresiasi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (dulu: Pusat Bahasa) karena Alhamdulillah seperti diuraikan di dalam artikel itu ternyata mereka responsif terhadap pendapat yang berkembang di dalam masyarakat. Jadi, Mas Sitok Srengenge, dalam kasus ‘memperhatikan’ vs. ‘memerhatikan’ ini mereka ternyata “tidak gengsi” dan “mau malu”. Dalam kasus-kasus lain, Wallahu ‘alam. Mudah-mudahan artikel tersebut bisa mengakhiri polemik ini tanpa mengakhiri kehangatan diskusi kita.
….
Namun, yang lebih penting dari KBBI edisi keempat ini adalah dikembalikannya lema ‘perhati’ ke lema ‘hati’. Hal ini penting karena menyangkut bentuk turunan lainnya. Sejak enam tahun lalu, pemakai bahasa, terutama media cetak menggunakan kata ‘memerhatikan’ karena pada KBBI edisi ketiga, lema yang ada adalah ‘perhati’. Dengan lema ini, bentuk turunannya adalah ‘memerhatikan’ karena huruf /p/ pada kata dasar, luluh saat didahului awalan me-. Meski demikian, dalam perjalanannya, kata ‘memerhatikan’ ”digugat” oleh para pengamat bahasa. Mereka menilai, lema yang tepat adalah ‘hati’ sehingga (salah satu) bentuk turunannya adalah ‘memperhatikan’.
Menariknya, pendapat para pengamat bahasa tersebut diakomodasi oleh KBBI edisi keempat. Lema ‘perhati’ diarahkan ke lema ‘hati’. Ditinjau dari prinsip item and arrangement, kata ‘memperhatikan’ dibentuk dari kata dasar ‘hati’ dan konfiks ‘memper-kan’. Namun bila dianalisis dengan prinsip item and process yang lebih mendetail, lema ‘hati’ membutuhkan awalan ber- untuk menjadi verba (kata kerja) sehingga terbentuklah kata ‘berhati’. Berhati, seperti tercantum dalam KBBI edisi keempat, berarti ‘menaruh hati, menaruh belas kasihan’. Menurut Kepala Balai Bahasa Bandung M. Abdul Khak, setelah ‘berhati’, bentuk turunan berikutnya adalah ‘perhati’. Kata ‘perhati’ (verba) diberi arti ‘amati, cermati’. Kata ‘perhati’ yang kini statusnya sebagai bentuk turunan dari lema ‘hati’ (bukan lema dasar), kemudian mendapat konfiks me(N)-kan, menjadi ‘memperhatikan’. Sementara ‘pemerhati’ diberi arti ‘orang yang memperhatikan’. Kata ‘perhatian’ berarti ‘ihwal memperhatikan atau minat’.
Awalan pembentuk verba adalah ber- dan me(N)-. Lema ‘hati’ memiliki bentuk turunan ‘berhati’, ‘perhati’, ‘perhatian’, ‘memperhatikan’, dan sebagainya. Awalan ber- akan menghasilkan bentuk derivasi per-, pe-, atau pel-, seperti ‘tani-bertani-pertanian-petani’. Pemakai bahasa belum membutuhkan konsep ‘tani-menani-penani’. Dalam kaitan lema ‘hati’, secara konsep yang dibutuhkan adalah bentuk derivasi ‘berhati’, ‘perhati’, ‘perhatian’ dan seterusnya, bukan ‘hati-mehati-pehati’.
--------------------
Sitok Srengenge : Terima kasih Bung Uum G. Karyanto, Yang kerap dilupakan orang adalah: para pegawai di Pusat Bahasa itu adalah manusia yang tentu saja bisa keliru dalam menyusun kamus dan lainnya. Banyak orang langsung menganggap kamus pasti benar. Banyak kasus kekeliruan yang kerap tak mereka akui, itulah yang saya sebut gengsi. Ingat kasus "pencurian" Tesaurus Bahasa Indonesia? Banyak linguis jelas menyatakan tesaurus susunan Pusat Bahasa itu "nyolong" dari tesaurus susunan Eko Endarmoko. Banyak bukti sudah dipapar tentang itu. Apakah mereka mengakui dan minta maaf? Tidak!Betapa ironisnya lembaga negara mencuri karya warna negara!
-----------------------
Uum G. Karyanto : Betul, Mas Sitok Srengenge. Realitas yang demikian sesungguhnya memprihatinkan. Kita berharap saja Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa secara kelembagaan mulai sekarang punya kemauan dan kemampuan menangkal ketidakjujuran seperti itu.
------------------
Ani Gorrell : Sitok Srengenge .. Uum G. Karyanto .. Kajitow El-kayeni .. Saya menyadari bukan pekerjaan mudah untuk menyusun kamus Bahasa Indonesia. 'Memper + N + kan' biasanya mempunyai arti 'membuat sesuatu menjadi' jika N = kata benda. Mempersoalkan = membuat sesuatu menjadi soal. Mempermasalahkan = membuat sesuatu menjadi masalah. Melalui pengelompokan ini, kata 'memperhatikan' seharusnya mengandung makna 'membuat sesuatu menjadi hati' yang terasa tidak logis. Artikel yang ditulis oleh Imam Jahrudin Priyanto sangat membantu untuk memahami kata 'memperhatikan' dengan melihat kata asalnya ('berhati). Seperti halnya dengan kata 'mempergunakan' (dari kata 'berguna'), 'memperebutkan' (dari 'berebut'), 'memperhitungkan' (dari 'berhitung') dll. Dalam hal ini, konfiks yang digunakan untuk membentuk 'memperhatikan' bukanlah 'memper+kan', tetapi 'me(ng)+kan'. 'ber' dalam 'berhati' berubah menjadi 'per'. Akhirnya, 'me(ng)+ kata dasar berawalan per + kan' ternyata tidak meluluhkan /p/. Jadi, dengan proses pembentukan yang sama, 'me+persepsi+kan' seharusnya tetap menjadi 'mempersepsikan'. Ini sebenarnya salah satu kaidah yang saya pertanyakan dalam Note saya di atas. Saya menyayangkan jika kaidah yang mengatur morfofonemik 'me(ng)' dengan kata dasar berawal 'per/pe' dihapus karena ini akan mempengaruhi (saya enggan mengatakan memengaruhi) banyak kata yang telah terbentuk dan akan membingungkan generasi berikut yang tidak sempat mengalami periode penyerapan kata-kata dari bahasa daerah atau asing ke dalam Bahasa Indonesia. Pengetahuan mereka akan terbatas pada peluluhan fonem /k/, /p/, /t/, dan /s/. Terima kasih untuk diskusi yang hangat dan sangat mencerahkan.
-------------------
Sitok Srengenge Ani Gorrell kalau tujuannya "membuat sesuatu menjadi" tidak harus menggunakan memper + N + kan. Tanpa akhiran -an juga bisa, misal "memperistri", "memperbudak". Dan tidak harus dengan nomina, misal "memperbesar"," memperjelas", "memperindah". Sebaliknya, tidak semua memper+ N + kan = membuar sesuatu menjadi, misal "mempersetankan", "memperanakkan", "memperagakan". Dengan contoh-contoh itu jelas bahwa analisis Imam Jahrudin Priyanto yang dikutip Bung Uum G. Karyanto kurang lengkap dan karenanya lemah.
------------------ diskusi, tapi mungkin ada lanjutan lain. kalo ada akan di pos ke bagian 2. salam. :)
di kutip dari catatan Ibu Ani Gorrell :)
Semoga Bermanfaat Yah Sahabat :)
0 comments