Cerbung CULDESAC Bagian 10 oleh Revalina Ranting
22.30
Perempuan itu masih menangis di pojok ruangan. Dia mengenakan stelan piyama motif boneka yang sudah mulai luntur warnanya. Dia memeluk lutut dan menyandarkan punggungnya di tembok tepi ranjang besi bertingkat itu. Beberapa perempuan hanya menatap iba. Tak ada yang mau buka suara. Bahkan sebagian lagi malah meninggalkan kamar berukuran empat kali empat meter itu.
Namanya Azizah. Dia baru saja tiba di sini satu jam yang lalu. Seperti korban trafficking lain, dia juga terbujuk oleh rayuan hunter. Gadis enam belas tahun yang baru menamatkan SMP-nya itu mengaku jatuh cinta dengan si hunter. Kedekatan emosional menumbuhkan kepercayaan gadis desa itu pada si hunter. Dia meminta si hunter, sebuat saja Opik, untuk mencarikan pekerjaan. Gadis itu tak tahu kalau ternyata Opik menjadi salah satu anggota sindikat perdagangan wanita yang berpusat di Batam. Opik berjanji akan mencarikan pekerjaan yang menguntungkan. Lalu dia mengirim Azizah ke Pak Agung.
Trik licik para Hunter!
Mengunakan jalan asmara sebagai cara merekrut korban. Korban tak tahu karena terpincut cinta. Cinta membuat mata buta warna, bukan? Hingga kadang salah menyebut bahwa kuning adalah merah, putih adalah hitam. Akupun sama. Aku buta akan cinta: pada Abby!
Fuih!
Dari informasi yang aku dengar dari Pak Parjo, Pak Agung merupakan salah satu gembong yang cukup licin di wilayah Jawa Tengah. Beberapa kali dia pindah kantor. Ini merupakan kantor ke sekiannya. Operasinya yang sangat rapi membuat aparat kesulitan mencari jejaknya. Ditambah lagi, mereka punya pelindung kuat: biro hukum, orang dalam jaksa juga oknum aparat yang mau meloloskan hukuman tanpa syarat berat. Hanya uang…uang…uang! Bila uang sudah ditangan, maka semuanya akan berjalan lancar. Dalam hal apapun!
PJTKI merupakan kamuflase tercerdas! Nama PT ini juga tak terdaftar secara resmi di BP3TKI. Ketika para calon TKW menjalankan persyaratan keberangkatan, mereka diikutkan oleh PT lain yang dipandang bonafit di sini dan terdaftar secara resmi.
Rumah yang dijadikan sebagai penampungan ini juga merupakan rumah kontrakan. Ketika ‘aparat bersih’ sudah mencium gerak-gerik mereka, mereka segera mencari tempat operasi baru. Dengan nama lain. Atau sengaja menipu dengan mengatas namakan diri sebagai kantor cabang PT yang terkenal dan dipandang cukup besar di wilayah itu.
Saat makan malam kemarin, aku mendengar pembicaraan Pak Agung dengan istrinya yang berencana akan pindah rumah. Itu artinya, gerak gerik mereka telah tercium. Aku curiga ada keterlibatan salah satu diantara ketiga orang ini: Boeng, Pak Parjo dan Pak Rusdi.
Mari bermain-main logika sebentar: Ketiga orang itu berkudeta dengan Pak Agung. Mereka punya kepentingan sendiri. Pak Rusdi menginginkan uang Pak Agung (tapi mungkin settle karena Pak Agung telah memberinya. Kecuali kalau dia rakus). Pak Parjo dibawah kendali Pak Agung karena dia memiliki red card sebagai tukang cabul. Boeng salah satu penyalur, sebut saja hunter. Kalau Pak Rusdi menerima uang itu dan tutup mulut, masalah beres. Pak Parjo kukira tak mau mengadukan ke pihak berwajib karena sumber mata pencahariaannya ada di tangan Pak Agung. Pertanyaannya, kenapa Boeng menolak jatah 30 % itu?
Mungkinkah Boeng benar-benar akan menjebloskan Pak Agung ke penjara? Lalu apa kepentingannya? Motif dendamkah? Atau murni pembelaan kemanusiaan? Kukira sekarang masih ada politik mercusuar: pura-pura membela HAM hanya untuk mengangkat derajat pribadi dan golongan. Dan seribu satu, kukira juga masih ada yang benar-benar membela HAM karena menjunjung tinggi budi pekerti sebagai makhluk Tuhan!
Oh, ya! Bagaimana dengan Abby? Apakah saat Boeng menolak, dia mengambil semua uang jatah 30% itu? Tahukah Pak Agung tentang masalah ini? Lalu seandainya jaringan ini terbongkar, apakah dia akan masuk ke penjara juga? Atau jaringan ini sebenarnya punya keterkaitan dengan pembunuh itu? Hingga aku, satu-satunya saksi mata, sengaja dibuang di tempat ini dengan cara yang super halus!
Entahlah!
Sungguh entah!
Super damn entah!
Aku mengusap-usap kepala. Pening sekali rasanya. Semakin pening ketika melihat Azizah sesenggukan di pojok kamar. Bertambah sangat pening karena kasihan melihat perempuan-perempuan itu begitu layu. Kekurangan makan dan minum. Kurus dan kering. Jiwaku juga semakin gersang…..semakin kering…..
*****
27 April 2012 at 07.30
Pak Agung memberi tahuku secara pribadi, bahwa keberangkatanku ke Singapura tinggal menghitung jam. Aku tak terkejut sedikitpun. Menit ini berangkatpun, aku telah siap. Buat apa menunggu lama?
Hanya saja aku masih seperti keledai bodoh di depan Pak Agung. Keledai yang mengganggap mafia seperti Pak Agung memiliki hati emas. Beruntung sampai saat ini dia tak tahu kalau aku telah mengetahui seluk beluknya. Beruntung juga, hingga saat ini dia masih memperlakukanku sangat manis. Bahkan dia menyediakan selamatan agar tak terjadi apa-apa.
Tapi tunggu, ini selamatan jenis apa? Agar aku benar-benar selamat dari perdagangan perempuan ini, atau agar tak ada seorangpun yang bisa menyelamatkanku?
Aku jadi gemas sendiri. Mencubit gemas pipiku sendiri!
Aku mulai mengemasi backpacerku. Kopor aku turunkan. Barang-barang yang akan aku pakai disana aku tata rapi. Tapi aku sampai saat ini gagal mengemas perasaanku sendiri.
Pikiranku kacau!
Pecah!
Sepertinya aku benar-benar kalut!
----------------
19.00
“Tai babi! Bagaimana mungkin mereka akan menggrebek tempat ini?” Pak Agung mengepalkan tinju. “Aku sudah membayarnya bulan ini dan itu lebih dari cukup. Tapi kenapa polisi-polisi bejat itu masih saja ingin menggrebek tempat ini?”
Di meja administrasi, Pak Agung tampak sangat stress. Dia duduk, berdiri, berjalan mondar mandir, duduk lagi, mengusap mukanya, mengusap-usap rambutnya. Dan aku menatapnya dari ruang tengah sambil geleng-geleng kepala. Pertama, aku menggeleng untuk tingkah lakunya itu. Kedua, menggeleng untuk para aparat yang masih tetap mau disuap untuk melindungi mafia!
Tanganku masih sibuk melipat baju, membantu istri Pak Agung. Tapi pendengaran aku fokuskan ke pembicaraan itu. Aku pastikan tak ada satu pembicaraanpun yang terlewatkan hingga aku bisa mengetahui apa yang tengah terjadi!
“Lalu bagaimana rencana kita?” tanya laki-laki yang belum pernah aku lihat selama aku berada di tempat ini. Lelaki gemuk berkulit hitam. Wajahnya juga lumayan seram. Sehingga dalam keremangan, tampak seperti anak kingkong!
“Kita amankan dulu piaraan kita.” kata pak Agung dengan suara parau.
“Bagaimana caranya?”
Tak ada pembicaraan lagi. Ruang administrasi itu menjadi sunyi. Aku bangkit berdiri, pamit pada Bu Agung untuk membuatkan kopi untuk mereka. Bu Agung tersenyum meluluskan. Dalam hati aku bersorak senang: ini trik jadul yang moncer!
Sambil mengaduk kopi, aku berpikir: apa yang sebenarnya terjadi? Ketika aku menyuguhkan kopi, pikiranku masih terus bekerja: sebenarnya apa yang terjadi?
Pak Agung tersenyum melihatku membawa nampan bersisi kopi yang masih mengepulkan asap. Cocok sebagai pendamping malam yang menggigit sehabis hujan lebat. Dia mempersilahkan aku meletakkan cangkir porselin satu persatu di atas meja.
“Bagaimana kalau kita kirim singa-singa itu dulu. Nanti malam. Kucing kita titipkan ke PTnya pak Rahmat. Lalu tikus-tikus itu kita amankan di tempat lain. Aku pikir menyewa bus pariwisata lebih aman karena kalau ada pemeriksaan, kita bisa bilang kalau mereka wisatawan!” kata lelaki berkaos lusuh itu sambil menghisap rokoknya.
Sementara menyaring pembicaraan, pikiranku masih terus mengulang tanya: apa yang sebenarnya terjadi? lalu terjadilah kesengajaan itu: satu gelas kopi tumpah. Pak Agung terperangah. Lelaki tambun itu diam saja.
“Aduh, maaf Pak Agung. Gelasnya licin sekali!”
“Hati-hati, Ester. Untung gelasnya tak pecah. Kalau pecah dan kena tanganmu bagaimana?”
Aku menatapnya dan tersenyum. Tergopoh-gopoh ke belakang mencari lap kain. Ketika kembali, pembicaraan mereka telah berlanjut: beberapa informasi ketinggalan!
“Kalau begitu, sebelum mereka datang, kita bersihkan dulu tempat ini. Kita musti bekerja cepat. Jam berapa rencana mereka akan ‘menyerbu’?” tanya Pak Agung. Aku melirik lelaki itu.
“Sekitar pukul dua. Itu trik mereka. Biasanya jam dua, piaraan kita telah tidur, sehingga mereka bisa menggrebek tempat ini dengan mudah.” jawab lelaki itu dengan muka sok cerdas!
“Kalau begitu, kita cuma punya waktu tujuh jam untuk membersihakan tempat ini.” kata Pak Agung sambil menggaruk-garuk dagunya. Aku semakin pelan mengelap tumpahan kopi. Sengaja melebar-lebarkan tumpahannya agar pekerjaanku tak selesai-selesai. Dan tololnya, Pak Agung tak curiga sama sekali ada penguping gatal di depannya!
“Okey, kamu suruh Amin untuk hubungi sopir. Pake Kijang saja. aku tak mau pake Parjo. Dia sudah mulai kurang ajar denganku.” kata Pak Agung.
“Itu untuk singa atau kucing?”
“Singa.” Pak Agung berkata mantab. “Kita pastikan singa-singa itu telah berangkat ke Singapura sebelum penggerebekan itu tiba.”
“Kucing?”
“Pake bus pariwisata. Kita bawa mereka ke Semarang. Kita titipkan pada PT-nya Pak Gunawan.”
“Tikus?”
Sebelum Pak Agung menjawab, aku telah lebih dulu menyingkir. Setidaknya aku punya satu kunci: singa! Singa itu aku! Dan beberapa teman satu penerbanganku.
Malam ini, aku akan diberangkatkan ke Jogjakarta!
****
24.00
Gelap. Jalan gelap. Semuanya gelap. Ketakutan menyergap. Namun aku masih bisa terlelap di dalam mini bus yang mengantar aku dan keenam perempuan tujuan Singapura ke Jogjakarta.
Tapi lelap ini masih saja menyeret ingatanku pada pembicaraan Pak Agung tadi. dan juga, kode-kode yang belum bisa aku pecahkan saat meninggalkan pelataran rumah Pak Agung.
Pikiranku diaduk-aduk berbagai pertanyaan: apa maksud kata aman dan terkendali yang Pak Sopir buncit ini sampaikan pada Pak Agung? Aman pada siapa? Apakah sebelum berangkat mereka observasi jalan yang akan mereka tempuh dulu? Apakah mereka menyogok aparat tertentu agar mereka diberi ‘jalan aman’?
Kenyataannya, mobil ini melaju. Kencang. Sangat kencang. Melewati jalan lingkar selatan yang sepi di atas jam dua belas malam. Melewati kota yang seolah-olah mati. Meski di titik tertentu, masih tersisa keramaian: kafe dan beberapa warung remang-remang yang menyediakan perempuan penghibur.
Sampah masyarakat yang sampai sekarang masih belum bisa dibersihkan. Semakin ke depan justru semakin menjamur. Kafe-kafe yang didesain sok modern dan elegan justru disangsikan kebersihannya.
Aku pernah sekali mengunjungi kafe milik salah satu teman kencanku. Desainnya menarik dan elegan. Tamu-tamunya dari kelas menengah ke atas. Tempat itu memiliki ruangan khusus yang dijadikan ajang konspirasi antara pejabat pemerintah dengan bisnismen. Tempat nyaman untuk melakukan miting. Ruang kusus kedap suara yang didesain khusus untuk melakukan transaksi busuk. Mungkin koruptor-koruptor itu juga menggunakan tempat itu sebagai ajang penghancuran negara.
Ah, berpikir tentang Negara membuatku semakin pusing. Mau jadi apa negara ini nantinya bila orang-orang busuk macam Pak Hasan, si Pembunuh dan Abby masih berkeliaran dengan bebas. Kepatuhan hukum menjadi lelucon. Dulu waktu SD, aku di suruh menghafal pancasila dan UUD 1945 hingga diluar kepala. Kalau tak hafal distrap di depan kelas: jewer kuping kanan dengan tangan kiri, sementara tangan kanan memegang kaki kiri. Menyusahkan sekali. Tapi setelah besar, setelah dewasa, semua hafalan diluar kepala itu menjadi tak beguna. Gurupun sekarang lebih suka memunggungi pancasila. Oknum pemerintahan juga. Kekuasaan dan uang membuat mereka buta. Jangankan mengingat pancasila, meningat dari mana mereka berasal saja kadang lupa!
Pak Ketut sekali pernah mengirimku sebagai pelicin. Dia membayarku lumayan tinggi hanya untuk merayu salah satu oknum pejabat agar menyetujui pengambil alihan lahan penduduk untuk pembangunan perumahan mewah. Hal terbodoh yang pernah aku lakukan. Karena setelah itu, banyak penduduk yang tak menerima ganti rugi secara adil. Banyak penduduk yang protes. Unjuk rasa ke gedung DPRD. Kata-kata sarkastis berjajar di antara papan-papan dan spanduk. Demokrasi. Demonstrasi. Dan entah apalagi istilahnya untuk merebut hak mereka kembali.
Pak Ketut terkekeh. Si pejabat tertawa karena perjanjian bagi hasil itu lumayan besar. Dan si Ester, terguncang!!! Terguncang melihat betapa rakyat kecil selalu menjadi korban kerakusan pejabat.
Guncangan mobil yang cukup keras menyadarkan ingatanku kembali. Si Sopir mengumpat karena tak bisa menghindari aspal berlubang. Sementara aku cuma bisa meringis menahan perutku yang mendadak mual.
Sepanjang Magelang-Jogja aku sudah tak bisa lagi memejamkan mata. Pikiranku benar-benar majemuk. Tumpang tindih tak jelas!
***
bersambung....
0 comments