Setelah Satu Setengah Tahun



Seperti satu setengah tahun yang lalu, aku menunggumu di depan Pasar Prawirotaman. Siang itu, Jogja begitu terik, panas matahari cukup menjadi penyebab keringat di pelipis. Aku menunggumu sambil sesekali melihat jam tangan. Ketika suara sepeda motormu terdengar, aku segera menegakan kepala. Kamu sudah ada di depanku masih dengan sepeda motor yang sama. 

Tubuhmu terlihat lebih berisi, rambutmu masih begitu; gondrong sepinggang. Rambutmu yang lebat selalu kausembunyikan di dalam bajumu ketika kamu mengendarai sepeda motor. Bola mata kita bertemu, “Rupanya, kamu sudah jago dandan, Dik.” ucapmu dengan suara yang khas. Disapa dengan kalimat menyebalkan itu, aku hanya membalas dengan senyum dan segera menaiki sepeda motormu.

Kali ini memang berbeda dengan satu setengah tahun yang lalu. Setiap bertemu denganku, kamu selalu membawa setangkai mawar putih dan keromantisan itu kubalas dengan memukul lembut helm-mu menggunakan setangkai bunga mawar itu—ucapan terima kasih dalam bentuk berbeda. Aku mendapati diriku yang juga berbeda, aku tidak berani mengajakmu bicara banyak. Dan, inilah yang membuatku merasa kita sudah berjarak. 

Sesampainya di rumahmu, aku bertemu ibumu. Lantas, terjadi percakapan antara tiga orang, percakapan yang tak selalu terjadi setiap hari. Ibumu bertanya soal alasanku lebih memilih UI daripada UGM, memperbincangkan soal kabar terbaru di Jogja, lalu kita tertawa bersama ketika ibu membuka kedokmu. Kata beliau, akhir-akhir ini kamu suka membuat kue sendirian. Aku tidak kaget, karena menurut hasil pengamatan diam-diam yang kudapati dari akun facebook-mu, memang benar kalau kamu sedang rajin-rajinnya membuat kue. Kita tertawa bersama, tawa yang kurindukan selama satu setengah tahun ini, dan barukali ini aku bisa kembali merasakan tawa itu.

Ibu pamit masuk kamar karena ingin menyetrika. Langkah ibumu santai meninggalkan kita, sayup-sayup langsung kudengar suara penggalan nyanyian dalam film Mohabbatein. Iya, sepertinya film Mohabbatein hari itu tayang ulang. Di saat yang sama, aku dan kamu hanya berdua di ruang tamu. Kita tak banyak bicara, sesekali mengalir pembicaraan tentang agama, lalu diam lagi. Berikutnya, mengalir pembicaraan tentang budaya, lalu membisu lagi. Setiap aku berbicara dan tertawa, seringkali kamu berkata, “Suaramu terdengar jauh lebih riang.” 

Jujur, aku tak tahu cara menjawab ucapanmu itu, aku hanya tertawa, walaupun sebenarnya aku tak paham apakah yang kaubicarakan mengandung makna konotasi atau denotasi. Kita berbicara santai saja, meskipun harus kumaklumi hadirnya suara raungan orang utan yang berasal dari Gembira Loka. Kebun binatang yang ada di dekat rumahmu. Aku mulai mengganti topik baru, membuka percakapan tentang surat-surat yang pernah kaukirim dan masih kusimpan. Ketika sampai pada pembicaraan mengenai 1 September 2010, tanggal jadian kita, aku memang tak bisa berkomentar banyak. Jurang pemisah itu memang ada dan aku tak tahu mengapa perubahan ini terasa begitu asing bagiku. 

Aku tak merasa kita pernah putus, nyatanya kita memang masih berkomunikasi. Aku tak tahu selama ini apa yang kita jalani, status kita begitu abu-abu di mataku. Entah aku ini temanmu, pelarianmu, kekasihmu, atau adikmu. Ketika dijauhkan jarak, aku merasa ada rindu dalam setiap percakapan kita di telepon. Ada cinta yang kautunjukkan dalam setiap goresan pena di kertas suratmu. Aku tak mengerti apakah itu sungguh rindu dan cinta, atau semua hanya omong kosong belaka yang dikemas dengan begitu sempurna.

Matahari sudah mulai bersembunyi dari langit Jogja. Aku dan kamu sepakat untuk mengunjungi tempat kencan pertama kita. Mister Burger di Jalan Sudirman. Sore itu, kita kembali membelah jalanan Jogjakarta dengan sepeda motormu. Setiap berhenti di lampu merah, kamu menyanyikan lagu andalanmu dengan lantang, “Akulah putra SMA De Britto. Gagahlah cita-citaku Murni sejati jiwaku!” nyanyian itu terdengar manis di telingaku. Jemarimu memainkan stang sepeda motor seakan benda itu adalah drum.

Aku menghela napas ketika mendengar kamu menyanyikan lagu itu. Kamu pernah berjanji ingin mengajariku agar bisa menyanyikan lagu itu sampai benar-benar hapal. Namun, sepertinya, kamu sudah lupa janji itu. Seperti yang kutahu, perempuan adalah pengingat sejarah yang baik sementara pria adalah pelupa yang ulung. Aku yang lebih sering diam daripada mengingatmu, memilih untuk diam dan tetap memerhatikan jalan. Terlalu banyak kenangan kali ini, rasanya aku ingin segera pergi dan berlari.

Sebelum mencapai Mister Burger, kamu mengarahkan sepeda motormu melalui fly over di dekat UKDW. Di sini tempat pertama kali kita melihat kembang api. Lalu, kita melewati gereja di depan UKDW. Ingat? Waktu pertama aku beribadah di gereja itu bersamamu, aku menggerutu karena tak menemukan kertas liturgi. Kamu, dengan gaya khasmu hanya berkata, “Sabar, Dik.” Padahal, liturgi ibadah ada di depan layar besar di dekat mimbar pendeta. Mengingat kita pernah melewati peristiwa manis itu, rasanya aku ingin tertawa. 

Saat membawaku keliling-keliling di tempat kenangan kita, kamu tak membuka suara. Diam-diam aku memang memerhatikanmu, mencoba memahami arti diammu. Tapi, aku selalu gagal. Bertahun-tahun aku mengenalmu, tapi aku tak pernah tahu apa yang ada dalam hatimu. 

Sesampainya di Mister Burger, aku memilih duduk di tempat kita biasa duduk. Di lantai dua dekat dengan balkon. Satu setengah tahun yang lalu, kita sering duduk di sini. Sambil mendengar deru kendaraan bermotor di Jalan Sudirman. Kita memakan burger dengan lahap, seperti biasa tanpa suara. Aku merasakan udara yang sama dengan satu setengah tahun yang lalu, kamu menggenggam tanganku dan kurasakan ada kekuatan di sana. Kutatap matamu dalam-dalam dan kurasakan ada dunia baru di sana. Tuan, seandainya aku tahu apa yang ada di dalam isi hatimu, ketika kaugenggam tanganku, ketika kautatap mataku; apakah karena kausungguh merindukanku?

Hingga sore berganti malam, kamu memutuskan untuk mengantarkanku pulang ke rumah. Saat itu, kamu kembali menggenggam tanganku dan menatap mataku dengan lembut. Dalam kehangatan itu, akhirnya kamu kembali membuka suara. Kamu bercerita tentang kekasih barumu masih dengan genggaman tanganmu yang ada di jemariku. Kamu tersenyum ketika bercerita tentang wanita itu, tapi kamu juga terus menatap mataku seakan tak ingin adanya perpisahan di antara kita.

Aku menghela napas berat. Ketika kaumasih terus bercerita tanpa memerhatikan perubahan raut wajahku. Sudah tiga tahun aku mengenalmu, Sayang. Tapi, entah mengapa, aku tak pernah mengerti isi hati dan jalan pikiranmu selama ini?

Sungguh, aku tak tahu pria macam apa yang ada di depanku, yang masih bisa bercerita tentang wanita lain ketika jemarinya hangat menggenggam jemariku. 

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Evo Sastra
Designed by Evo Sastra
..
Back to top