Di ujung malam seperti ini, perempuan pada umumnya sudah berada di tempat tidur. Menarik selimutnya sampai menutup bahu untuk menghindari dingin malam yang mencekam atau dinginnya air conditioner kamar. Ini salahku jika sampai saat ini aku belum terpejam, aku selalu sulit mencari kantuk. Entah mengapa sulitnya mencari kantuk sama seperti sulitnya memahami keinginanmu.
Saat menulis ini, aku habis memerhatikan isi kicauanmu bersama seseorang yang tak kukenal. Seseorang yang tampak mesra denganmu, dalam tutur kata, entah dalam dunia nyata. Aku menebak-nebak dan karena teka-teki itulah aku jadi terluka parah. Seharusnya tak perlu kuikuti rasa keingintahuanku. Tak perlu lagi kucari-cari kabarmu dari sudut dunia maya itu, tempat segala kemesraan bisa terjalin tanpa kutahu; apakah itu nyata atau drama belaka.
Begitu cepat kaudapatkan yang baru, Sayang. Sementara di sini, aku masih menunggu kamu pulang. Aku tak temukan tangis dalam hari-harimu, nampaknya setelah perpisahan kita, kamu terlihat baik-baik saja. Tak ada luka. Tak ada kegalauan. Tak ada duka. Kamu masih bisa tertawa, aku tak tahu pria macam apa yang dulu pernah kucintai dengan sangat hati-hati.
Hampir setiap malam atau bahkan setiap saat, aku masih sering merindukanmu. Mengingat betapa dulu kita pernah baik-baik saja. Aku pernah kaubahagiakan, kauberi senyuman, kaubuat tertawa, juga terluka. Pada pertemuan kita belasan minggu yang lalu, kamu menggenggam jemariku seakan memberitahu bahwa kamu tak ingin melepaskanku. Kamu menatap mataku sangat dalam bahkan tak menggubris tab-mu yang penuh dengan chat dan panggilan. Saat itu, aku merasa begitu spesial, merasa begitu penting bagimu. Dan, inilah salahku, mengharapkanmu yang terlalu tinggi.
Jujur, mungkin saat ini aku memang tak lagi mencintaimu. Tapi, sisa-sisa rasa sakit itu masih ada. Aku belum bisa menerimamu menjauh tiba-tiba seperti itu. Mengapa aku tak bisa menerima semua secepat kamu menerima perpisahan kita? Karena kamulah yang meninggalkanku lebih dulu, menuduhku punya banyak orang yang bisa kujadikan pelarian, mendakwa aku yang berkhianat. Tuan, sungguh aku tak paham maumu. Apa matamu begitu buta untuk melihat bahwa dulu, waktu masih bersamamu, hanya kaulah satu-satunya yang kuperjuangkan dan kuharapkan?
Ingat, kamu pernah bilang bahwa kamu mencintaiku seutuhnya. Sebagai perempuan yang tentu senang diberi harapan, aku tersenyum sambil memainkan rambutmu yang acak-acakan. Aku bersandar di bahumu, sementara tatapan matamu kembali sibuk dengan tab kesayanganmu. Kamu merangkulku sambil jemari kirimu membalas chat dari teman-temanmu. Aku berbisik di telingamu, memberitahu bahwa sudah waktunya salat ashar. Kamu mengangguk memahami maksudku. Kamu tahu apa yang kurasakan saat itu? Rasanya aku tak pernah ingin kehilangan kamu, bahkan membayangkannya pun aku terlalu takut. Namun, aku tak sadar, justru ketika kita bisa begitu mesra, hari itu juga adalah hari terakhir kita bertemu.
Malamnya, semua kebersamaan manis kita, yang kuingkan bisa lebih lama itu, berakhir hanya dengan percakapan beberapa menit. Tiba-tiba, kaubilang aku ini berbeda. Tiba-tiba kaubilang aku terlalu sempurna untukmu. Tiba-tiba kaukatakan bahwa semua tak bisa lagi kita jalani. Kenapa baru sekarang kamu ucapkan bahwa kebersamaan kita tak akan bertahan lama? Selama ini kamu ke mana? Selama kamu begitu rajin bilang cinta dan rindu, apakah saat itu kamu tak menyadari perbedaan kita?
Jika aku tak mengalungkan salib di leherku, jika aku tak berbeda seperti yang kaubilang, apakah kauakan mencintaiku sedalam aku mencintaimu?
0 comments