Penantian itu tidak pernah menyakitkan, selama masih ada kerinduan, harapan dan kepercayaan. Pada akhirnya, kenanganlah yang akan membawanya pulang.
“Kamu boleh pergi kemanapun kamu pergi, tapi please…janji kalo suatu hari nanti kamu akan kembali…pulang lagi kesini”Air mataku tertahan, dan suara serak terasa menyakitkan di tenggorokkan. Aku telah gagal untuk membuatnya tetap tinggal, tapi aku tak ingin gagal untuk membuatnya berjanji untuk kembali suatu hari nanti. Dia menatapku, sekilas, tapi langsung menatap lagi keluar jendela, sama sepertiku, matanya berkaca-kaca.
“I Love You, Re…”
Dan dia pergi, tanpa mengucapkan selamat tinggal, karena mungkin dalam hatinya tahu, ucapan itu hanya akan terasa menyakitkan karena mematikan harapan untuk bisa berjumpa lagi, tapi…dia juga tak mengatakan sampai jumpa lagi, mungkin dia hanya tak ingin membuatku tersakiti apabila seandainya kita tak bisa benar-benar berjumpa lagi. Tapi dalam hati, aku yakin dia pasti kembali, pasti, yeah suatu hari nanti.
Dua tahun berlalu…
Aku selalu menunggunya, suatu hari aku percaya dia akan pulang, masuk melewati gerbang itu, dan mengetuk pintu rumahku, seperti dulu. Aku hanya akan pura-pura tidak terlalu antusias dengan berjalan perlahan untuk membukakannya pintu. Di tangannya aku tau pasti ada sekotak cupcake cokelat favoritku, nantinya kita akan menikmatinya bersama kopi mocca di balkon belakang sambil memandangi hujan, matahari yang terbenam atau bintang-bintang di langit malam, kadang dia akan mengambil gitar dan menyanyikan lagu yang sama. December.
December, come to me
I hope I can see
You're not just in dreams
I will let you be
Why can't you believe
How much you really mean?
December, won't you come
Back with snow, even sun?
Don't say that it's done
I will carry you home
Take you from the loneliest place
You have known
I will carry you home
Take me from the loneliest place
I have known
Suaranya selalu indah membelai telingaku, sedikit berat namun halus, aku suka caranya menyebutkan kata perkata, aku suka cara bibirnya bergerak dan ada senyum indah saat dia memandang mataku. Kenangan tentangnya selalu hal yang indah-indah.
“Ngapain?” tanya Gheghe, aku tak menyangka tiba-tiba saja dia duduk di hadapanku, dia menyodorkan segelas cokelat hangat.
“Minimal ini, bikin loe bisa tetap sadar, gue bosen liat elo over dosis kafein, sist”
“Thanks”
“Tadi Hendru telepon, katanya loe nggak ngangkat teleponnya.”
“Sengaja” aku tersenyum jail lalu menjulurkan lidah “Gue cuma nggak pengen ngasih dia harapan.”
Ghegehe memutar bola matanya
“Apa kabar Ananta?” pertanyaan menjebak dan akan bermetamorfosis jadi sebuah sindiran.
“Kita baru aja abis ngobrol” jawabku asal
Gheghe memandangku dengan tampang sebal
“Bicara via telepati lagi? lewat koneksi hati? Sampe kapan elo mau nipu diri???? Kalo Nanta cinta sama elo, dua tahun ini dia pasti ngirimin kabar! Siapa yang tau apa yang dia lakuin di jauh sana!”Gheghe membuatku ingin menangis tapi aku memaksakan diri untuk menahannya, dan mencoba menampilkan seulas senyum tipis.
“Gue percaya sama Nata lebih dari apapun” Aku menguatkan diri saat mengatakkannya.”Dan tebak!” aku berpura-pura ceria! “Desember ini dia akan pulang!” aku berbohong!
“Tahun lalu kamu juga bilang begitu” Gheghe meniggalkanku dengan kesal.
***
Ananta pergi bukan karena ingin pergi tapi karena memang harus pergi, aku percaya dia akan kembali, hari ini, seperti yang dikatakannya semalam dalam mimpi.
***
Seperti hari-hari yang lalu aku menunggunya dari balik jendela kamar, yeah hari ini dia datang aku tak pernah seyakin ini. Aku sungguh-sungguh mempersiapkan diri hari ini, Gheghe boleh tertawa Hendru boleh berkata aku gila, aku tetap percaya, karena apa yang dikatakan hati tak pernah berdusta.
Dibalik jendela di bawah deras hujan, tiba-tiba sesosok orang di bawah payung hitam berjalan, melewati gerbang menuju pintu rumahku, kali ini aku tak ingin pura-pura tak antusias, aku berlari secepat kakiku bisa bergerak, bahkan sebelum suara pintu terketuk aku membukanya lebih dulu. Di balik pintu kulihat sosok itu, genangan air mata mengaburkan pandanganku, entah mengapa secara naluriah aku langsung memeluk sosok yang sangat kurindukan itu.
“Maaaaf” Cuma kata-kata itu yang terdengar dari bibirnya. Aku tak peduli, kali ini aku hanya ingin memeluknya, dan merasakannya dalam dekapanku, membuktikan bahwa dia benar-benar nyata. Dan yeah dia nyata.
“Re…”suaranya dikalahkan oleh hujan, terdengar berbeda, tapi tak mengapa mungkin memang telingaku bermasalah.
“Re…” aku melepas pelukanku, ingin sekali kupandangi matanya yang sangat kurindukan.
Kupandangi lagi mata itu, terlihat berbeda, yeah binarnya berbeda, air mataku sederas hujan di luaran sana. Manakala aku akhirnya tersadar dia bukan orang yang sama, karena…Ananta selalu membawa kotak berisi cupcakes, bukan sebuah guci antik.
“Mama mau kamu menyimpan sedikit diri Ananta” Guci itu diletakkan di tanganku, ada rasa yang menyakitkan, ketika yang berdiri di depanku, alih-alih Ananta, tapi Ananda, saudara kembarnya. “Ananta, seharusnya pulang awal Desember ini, tapi…maaf dalam keadaan seperti ini” Aku mendengarnya menghela nafas. “Maaf selama ini…” Ananta terdengar serak. “Kecelakaan pesawat merenggut Ananta.” Akhirnya dia mengatakkannya. Aku memandanginya seperti dalam adegan lambat film hitam putih. Ananda merogoh kantungnya. “Harusnya Ananta memberikkanmu ini” Kotak mungil beludru merah berisi cincin berlian.
Aku tersenyum dalam tangisku, setidaknya dia pulang, setidaknya di sana dia tak pernah berhenti mencintaiku, aku tau aku merasakannya di sini….di hati.
Gambar : Enakei
Gambar : Enakei
0 comments