Kita sudah hilang kontak sejak lama, sejak aku meninggalkan Jogja untuk beberapa bulan. Alasanku cepat-cepat pergi karena masih banyak hal yang harus kuselesaikan di sini. Kuliahku, tulisanku, dan beberapa lagu-lagu rindu yang sebenarnya hanya tertuju untukmu. Dengan mata yang terantuk kantuk sehabis mengerjakan tugas kuliah ini, tiba-tiba aku ingin menulis tentang kamu. Tentang pria yang selalu datang pergi, hadir dan hilang, dekat dan menjauh; kamu.
Aku tak tahu apakah liburan kali ini aku bisa pulang ke Jogja. Aku juga tak mau berjanji jika bisa menemuimu akhir tahun ini, seperti beberapa tahun lalu kita menghabiskan tahun baru di gereja depan UKDW, sambil melihat kembang api di dekat alun-alun utara dan menikmati dinginnya Jogja di malam hari. Seandainya kautahu, di sini aku setengah mati merindukanmu. Denyut napas dan helaan jantung juga turut menginginkan kamu ada di sampingku, sedekat ketika kita saling menatap di lantai dua Mister Burger di Jalan Sudirman. Semua hal tentangmu masih hinggap di kepalaku, juga saat kaugenggam jemariku, kautuntun aku menari di bawah hujan di area Plengkung Gading kala itu.
Ingatanku kembali menyerap sosokmu lagi, saat kamu datang ke rumah dan simbahku berkali-kali bertanya soal kita. Aku bisa jawab apa? Hanya dengan tawa miris yang sebenarnya begitu sulit kutunjukkan. Kamu mengangguk lemah dan dengan bahasa Jawa halus kaujelaskan segalanya. Kaubilang aku adalah kekasihmu, kebangganmu, kecintaanmu nomor satu. Simbahku tersenyum, seakan beliau merasakan yang ia rasakan dulu bersama kakekku.
Kita berpamitan sebelum meninggalkan rumah, kamu mencium tangan simbahku sembari berpamitan. Aku memerhatikan kejadian itu, seakan tak percaya bahwa kaulah pria yang kukenal selama ini. Setelah kita putus, rasanya aku tak ingin mengaku bahwa hubungan kita telah berakhir di depan banyak orang yang bertanya soal kebersamaan kita saat ini. Karena, aku dan kamu berusaha terlihat baik-baik saja, kamu masih sering datang ke rumah, mengajakku makan malam, memintaku menemanimu melihat beberapa bangunan di Jogja untuk kaugambar.
Aku pernah sangat mencintaimu, pernah sangat mengerti bahwa kita dulu punya perasaan yang sama. Di atas sepeda motormu yang suaranya selalu kubenci, kamu memintaku memelukmu sangat erat. Aku ingat saat itu sedang lampu merah di dekat Jalan Solo. Ketika melewati sekolah SMA-mu dulu, kamu memekik Mars De Britto sambil ketawa cekikikan. Aku tak tahu apa yang kautertawakan, aku juga tak tahu apakah tawa itu adalah tawa yang kaupaksakan karena tahu esok hari aku akan meninggalkan Jogja lagi.
Kauarahkan sepeda motormu ke Jalan Sudirman, kita berhenti di tempat biasa kita menikmati suara kendaraan bermotor sambil bercerita banyak hal megenai aku dan kamu. Kamu menyentuh pipiku, rambutku, dan mencubit hidungku sampai merah. Entah mengapa, aku tidak melawan, karena hari itu adalah hari terakhir aku bisa menatapmu sedekat ini. Setelah ini, aku tak perlu lagi bersembunyi dan kamu tak perlu lagi menyembunyikanku. Selamanya, aku akan jadi adikmu, mantan kekasih yang diam-diam masih sering merindukanmu.
Sambil menatap matamu yang teduh, sesekali kuperhatikan jari manismu. Kamu memberiku undangan dengan namamu dan nama seorang wanita yang beberapa minggu lagi menjadi satu daging bersamamu. Benda itu sudah cukup jadi alasan agar aku mematikan perasaan.
Terima kasih untuk persembunyian yang menyenangkan, terima kasih untuk peluk hangat yang diam-diam kauberikan untukku meskipun saat itu kekasihmu mengirimi pesan singkat berkali-kali; pesan yang tak kaugubris sama sekali. Ah, rasanya setiap mengingat ini, aku ingin lari. Pria macam apa yang bisa kucintai sampai berdarah-darah begini?
0 comments