Cerpen: Sepatu Kaca Berwarna Merah



Seperti dipaksa bangun oleh dering alarm di pagi hari, begitulah cara banyak orang memaksaku bangun dari dongeng ala sang Putri, tentang kehidupan dengan fantasi tinggi, aku tidak sedang bermimpi, aku hanya sedang memprediksikan bagaimana masa depanku nanti!
***
            Aku ingin melupakan bahwa hari ini adalah ulang tahun kedua puluh limaku, ya ampun angka itu sungguh mengejekku. Aku tak ingin ada acara makan malam keluarga seperti biasa, apalagi harus mengucapkan permohonan dalam hati saat aku memadamkan lilin yang mengintimidasiku itu, oh Tuhan, setiap permohonan yang kulakukan pasti akan berujung kekecewaan, aku tak lagi percaya dengan keajaiban, untuk kali ini aku ingin menyerah saja.
            Aku memilih menghabiskan senja hariku di taman sambil menikmati Ice Cream Vanilla dengan Chocochips, potongan Brownie juga cacahan kacang Mede. Di sini dulu, aku sering melewatkan banyak waktu bersama cinta pertamaku, Adera namanya, kami melakukan banyak hal di sini, katanya di sini dilarang bersedih, karena tempat ini  adalah tempat penuh tawa, tapi lima tahun lalu, aku mematahkan kata-katanya, aku menangis, saat dia mengucapkan selamat tinggal, dan kita berpisah, tak tau apakah mungkin lagi untuk berjumpa. Otakku mau tak mau mengenang kembali kejadian jauh sebelum kami berpisah, delapan tahun lalu, hari aneh di awal perjumpaan kami yang juga diwarnai oleh sedih dan tangis.

            “Hey “Seorang cowok yang tak kukenal menyapaku hangat dan memberiku sebuah senyuman. Aku sedang duduk diam karena demam, wajahku memerah dan panas, sedikit menggigil tapi aku menguatkan diri pura-pura bertahan. Aku hanya menunjukkan muka datarku, sebenarnya agak terganggu dan mengusirnya jauh-jauh, tapi ini tempat umum, jadi apa dayaku?
            “Adera” Dia menyebutkan namanya, nama yang indah. “Kamu?” dia mengulurkan tangannya untuk kujabat.
 “Sabria” jawabku pelan dan serak, kuulurkan tanganku untuk kujabat tangannya dan merasakan betapa sejuk dan nyamannya sentuhan dari tangan itu.
Dia menatapku dalam, ada ekspresi panik di wajahnya “Kamu demam?” dan dengan cepat dia menyentuh keningku, rasa nyaman itu kembali terasa, sentuhan dari orang yang baru kukenal entah mengapa terasa sangat menenangkan. “Udara terlalu dingin di sini, sudah waktunya pulang”
Aku menggeleng, dan meneruskan menatap kosong ke arah cahaya Jingga yang di ujung barat yang indah. Aku tau dia terus menatapku dalam diam, tak tahan dan tak ingin memikirkan, aku hanya ingin menumpahkan kesedihan, tak peduli apapun pendapatnya aku hanya ingin menangis, hari ini hatiku bagai teriris, seakan bibirku takkan mampu menciptakan lagi sebuah senyuman manis, hari ini aku akan mulai menjalani kehidupan yang tragis.
“Semuanya baik-baik saja?” dia bertanya, terdengar khawatir untuk dilontarkan orang yang baru dikenal.
Aku ingin mengangguk tapi ternyata aku menggeleng, Adera menghela nafasnya, dan menatap ke arahku yang tak mampu untuk menatap wajahnya, tapi aku bisa merasakan aromanya yang seperti secangkir kopi di pagi hari.
“Aku antar pulang ya?” Aku menatap wajahnya yang agak kabur karena mataku berembun. Bayangannya bergoyang, tapi tak lama, setelah tangis itu meleleh, setelah ibu jari itu mengusap dan menghapusnya. Sekarang aku benar-benar menatap sosok jangkung dengan wajah manis dan rambut berantakan yang tertiup angin, aku menggeleng, tidak tersenyum atau menampilakan ekspresi apapun. Aku bangkit dari tempat dudukku, dan melangkah gontai, melangkah pulang menuju rumah. Aku tau di sepanjang perjalanan dia mengikutiku, bukan membuntuti, tapi aku yakin dia hanya ingin memastikan aku pulang ke tempat yang seharusnya, sebuah bentuk perlindungan, walau agak aneh, karena datang dari orang yang tak kukenal.
***
                         
                 Aku bertemu lagi dengannya keesokan pagi, bukan kebetulan lagi kurasa, karena hari itu kami sama-sama terlambat dan menunggu giliran hukuman di ruang BP, dia menyodorkan sebatang cokelat bar.
                 “Cokelat bisa bikin kamu bahagia, percayalah” Aku mengambilnya, menggenggamnya erat, seakan takut terlepas dari genggaman. Aku sadari muka melankolisku menimbulkan empati dari orang lain, semalaman aku menangis, aku menangis karena usiaku 17 tahun, aku menangis karena diusia itulah aku mendapat kado tak menyenangkan, perjodohan tanpa belas kasihan. Aku kehilangan harapan bahwa suatu hari nanti pangeranku akan membawakan sepatu kaca yang cocok untukku. “Sudahlah, itu hanya dongeng!” kata-kata mama memusnahkan harapanku.
                 “Lain kali saat kita ketemu, aku pengen dengar kamu tertawa” setelah itu dia berlalu, bersama peralatan untuk membersihkan toilet cowok sebagai hukuman.

***
                 Entah nasib yang mempermainkan ataukah ada yang disebut daya tarik menarik diantara kita. Aku bertemu lagi dan lagi dengannya, hingga kami memutuskan menamakan takdir atau mungkin kebutulan yang kami alami itu sebagai persahabatan, yeah persahabatan yang berubah menjadi cinta, hanya itu yang mampu kutawarkan untuk dia yang setelahnya tak bisa kupungkiri bahwa ada sesuatu yang disebut getaran cinta, tapi apa yang bisa kulakukan selain menyangkal pada akhirnya? Ada mas Eda di sana, seseorang yang akan kunikahi nanti, walau belum pernah kutau bagaimana wajah atau hati yang dia punya, karena…aku belum mampu untuk menghadapinya, aku hanya ingin menemuinya ketika saatnya tiba agar aku bisa menjalaninya dengan mudah.
***
                 Banyak hal yang kami lalui bersama, yang paling membuatku terkenang, memang pertemuan setiap sore  kami di taman ini, untuk menikmati senja dan merasakan lezatnya ice cream atau manisnya kembang gula, sambil tertawa dan membicarakan apa saja, bersamanya hanya ada satu hal yang tak pernah diizinkan untuk kulakukan, menumpahkan air mata, katanya dia menyukai senyumku, dan dia juga mengatakan betapa inginnya dia menyimpan tawaku dalam toples kaca agar bisa dinikmati kapan saja.
                 Ini hari ulang tahunku yang kedua puluh lima, dan tak boleh lagi ada air mata, apakah aku harus lega bahwa hari ini datang juga? Lamaran itu akan dilaksanakan malam nanti, dan untuk pertama kalinya aku akan bertemu dengan calon orang yang akan menua bersamaku, mungkin tiba waktunya untuk melupakan dongeng impian tentang sang pangeran yang kupikir sosoknya kutemukan pada sosok Adera…
                 Ada tiga tahun kebersamaan yang menyenangkan saat kami menikmati hari ulang tahun rahasia di sini, bagaimana kami merayakannya dengan cara sederhana dan tak biasa, tak ada lilin yang ditiup untuk mengucapkan keinginan, yang dia lakukan adalah…di ulang tahun kedelapan belasku, dia membawakanku sebuah layangan, di ulang tahun yang kesembilan belasku dia membawakanku sebuah balon helium, di ulang tahun terakhirku, bersamanya, usia dua puluh, dia membawakanku sebuah botol kaca. Taukah kamu apa yang dilakukannya? Dia mengeluarkan spidol dan kertas merah muda, untukku menuliskan keinginan yang diterbangkan bersama layangan, balon helium, dan yang terakhir akan dibiarkan mengikuti arus lautan luas dalam botol kaca yang dilemparkannya dari pantai, dia akan menutup mata saat aku menuliskan permohonanku, seharusnya begitu, karena permohonanku satu, aku mengharapkan Adera-lah yang menjadi pangeran yang akan memasangkan sepatu kaca pada kakiku. Tapi sudahlah habis cerita. Usia 25 aku harus bangun dari khayalan gila.
                 Aku bangkit dan tersenyum pada senja, mengucapkan selamat tinggal pada indahnya mimpi dan khayalan, sambil mengucapkan selamat datang pada realita yang menyakitkan.
***

                 Aku hanya bisa tersenyum pasrah saat detik demi detik yang menyiksa seakan mencekik, kupikir gaunku yang kesempitan yang membuat perasaan tak nyaman ataukah memang karena aku menelan pahitnya keadaan. Mama dan Tante Utami tersenyum, Papa memberikanku senyum bahagia, tak tau apa yang kulakukan, seandainya saja bisa memberontak, tapi sia-sia, aku tak ingin merasa bersalah, juga berdosa apalagi harus menggenggam label anak durhaka.
                 Aku hanya menunduk, seakan dengan menatap lantai atau ujung Stilleto-ku bisa membuat keadaanya membaik, sebenarnya itu lebih karena aku ingin tak menatap siapa-siapa, apalagi pria yang akan menjadi pendampingku.
                 “Cantik” aku menundukkan kepala saat mendengar seorang pria menyebutkan kata itu, kurasa itu suara calon suamiku, aku menunduk dan rasanya ingin memejamkan mata, sungguh aku tak ingin melihat wajahnya, pujian yang keluar dari mulutnya sungguh tak terdengar manis apalagi membuatku tersanjung, karena di otakku calon suamiku tak lebih dari pria yang mau melakukan perjodohan karena dia tak laku dipasaran.
                 “Wah Eda, bagaimana? Sudah nunggu lama untuk ketemu Sabria?” suara Mamaku terdengar manis, tapi kata-katanya membuatku menangis, saat ini, aku harus membunuh mimpiku, mengubur anganku.
                 “Akhirnya tante…”suaranya membuatku ketakutan, aku memaksa diri untuk menguatkan hati. Kakiku bergetar, dan kursi tempatku duduk seakan tak kuat untuk menopang, saat dia datang dan berdiri tepat di depan.
                 “Sabria” dia menyebut namaku, “boleh menatapku?” aku tak mampu, yang kulakukan hanya mengalirkan air mata. Aku tak ingin menatapnya, bahkan saat cubitan mama memaksa. “Maaf membuatmu harus menjalani hidup bak Siti Nurbaya” Suaranya terdengar mengejek, itu membuatku muak, dan aku semakin ketakutan saat orang itu berlutut di hadapanku, menyentuh tanganku yang kugenggam erat, sungguh aku tak ingin membukakan jariku untuknya, dia tak memaksa tapi hanya berkata “Gadis manis aku takkan menyerah” dengan cepat dia melepas tanganku tapi menyentuh kakiku dan melepaskan sepatuku dan berkata “Cinderellaku aku tak menemukan sepatu kaca yang cocok untukmu, kuharap kamu suka Stilletto Manolo Blahnik warna merah” terdengar seperti mimpi dan olokan hingga membuatku bingung untuk mencernanya, mau tak mau aku menatapnya, dan terlihat di sana…
                 “Apa kabar Sabria?” Seseorang yang kurindukan tengah tersenyum padaku, seolah tak percaya aku mengerjapkan mataku untuk meyakinkan bahwa ini bukan fatamorgana. “Bukankah permintaan yang sama setiap ulang tahun yang kuberikan?” dia memberiku senyuman “Sejujurnya cincin terlalu membosankan untuk pertunangan, kalau kamu keberatan untuk bertunangan denganku, kuharap kamu mau mengembalikan sepatuku! Sayangnya tidak ada cewek yang mampu menolak Manolo Blahnik”  
                 Aku masih tak tau harus berkata apa, tapi yang pasti ada yang menggelitik di dalam hati.
                 “Delapan tahun lalu aku juga keberatan dijodohkan, tapi tak lagi keberatan saat tau bahwa cewek yang kutemui di taman itulah orangnya, yang menangis hingga demam, yang memendam perasaan karena dia telah bertunangan, hey, akulah tunanganmu, akulah si Eda, walaupun aku benci panggilan masa kecilku masih dijadikan panggilan oleh orang tuaku….well, mau menerima sepatu kacaku? Atau….?” Dia bangkit dan berdiri tegak di depanku, tak lagi menunduk, aku malah mendongak menatap tubuh jangkungnya.
                 “Bagaiamana bila ukuran sepatu itu tak pas di kakiku?” Kalimat idiot yang tak pantas kutanyakan.
                 “Well, berarti aku bukan sang pangeran, dan perjodohan dibatalkan!” dia tersenyum jail, tapi dengan cepat memasangkan sepetu cantik berwarna merah itu yang ternyata pas sekali di kakiku, aku nyaris melupakan semua orang yang berada di sekeliling ruangan, tepukan tangan merekalah yang menyadarkanku, bahwa mimpiku menjadi kenyataan, ternyata aku benar bahwa setiap gadis adalah Cinderella dan cuma masalah waktu untuk menunggu sang pangeran datang, seandainya sedari dulu kutau siapa pangeranku, delapan tahun terlalu lama untukku mengulur waktu, tapi bagian terbaiknya, yeah kami bertemu dan membuktikan bahwa happily ever after ada di duniaku.
:::The End:::

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Evo Sastra
Designed by Evo Sastra
..
Back to top