Sometime it is easier to smile even if you're hurting inside, than to explain to the whole world why you're sad
***
Senin selalu jadi hari paling membosankan. Dengan berat hati aku harus mengucapkan“ I Love Monday” hanya untuk menyemangati diri, dalam hati aku justru merasa bahwa saat lidahku mengucapkan kalimat ajaib itu, tahukah kau seperti apa rasanya? Seperti mengatakan bahwa “I Love You” pada mantan pacar brengsek yang mengkhianatiku! Mantan brengsek rasanya tak seberapa parah, hanya saja jika si jalang selingkuhannya itu bukanlah sahabatku.
Syukurlah aku bisa melewati Senin ini dengan sukses walau melelahkan, pekerjaanku tidaklah begitu mudah juga tidak begitu menyenangkan hanya saja, karena aku tak bisa meninggalkannya, jadi aku harus mencintainya. Itulah yang membuatku bertahan, selain mengingat bahwa aku punya tagihan-tagihan setiap bulan, hey bukankah kita semua hidup di dunia yang matrealistis?
***
Aku baru saja selesai melakukan ritual mandi yang menyenangkan dan akan mengoleskan Hydrating Body Souffle Cream ke seluruh tubuhkan tepat saat pintuku diketuk seseorang. Tahukah dia bahwa malam ini aku hanya ingin berkencan dengan Darren, tanpa gangguan siapapun.
“Siapa?” aku berteriak sambil memandang cermin yang menampilkan wajah alamiku tanpa make up dengan rambut basah tergerai berantakan, hey aku tidak jelek, hanya saja terlihat…oh sudahlah! Aku mempererat tali jubah mandiku dan bergegas membuka pintu.
“Hey…” dari balik pintu Jesse memberikan senyumannya, tanpa kupersilahkan dia langsung masuk. Apakah dia tidak melihat bagaimana ekspresiku saat memutar bola mata sambil menatapnya?
“Lottie… aku punya beberapa film, kamu pasti menyukainya!” Jesse terdengar bersemangat.
“Ninja, Vampire, Cowboy?” kataku cepat sambil berjalan masuk ke kamar dan mengganti jubah mandiku dengan dress rumah. “Film-film yang kau bawa membuatku muntah-muntah, darah, mayat, pembunuhan…itu sama saja dengan menyiksa jiwa romantisku. “ Aku berteriak, tapi dari ruang depan aku mendengar tawa Jesse yang serak tapi riang.
“Itu sebabnya aku mencintaimu Lottie! Jiwa romantismu” kata-katanya membuat pipiku bersemu merah….tanda bahaya! Aku tak ingin seperti ini terlalu lama. Aku melarang diriku jatuh cinta pada Jesse, karena …satu…dia lebih muda tiga tahun dariku, pengalaman mengajarkan…bahwa pria lebih muda tidak baik untuk hidupku, mantan pacarku sebelumnya yang berusia tiga tahun lebih muda hanya menjadikanku sebagai objek obsesi horny-nya. Sekarang takkan lagi kubiarkan, dan yang kedua…aku tak mungkin bisa mengkhianati Darren. Cinta sejatiku.
“Tapi aku tak mencintaimu anak muda” kataku datar dan duduk di sampingnya di sofa merah nyaman kesayanganku, sambil membuka Netbook-ku lalu memulai kencan virtualku, kencan virtual?, hey…sejujurnya tidak seperti itu.
“Aku suka wangimu” bisik Jesse sambil menggodaku. Film-nya telah diputar dan adegan awalnya sudah membuatku mual. “Apa yang kamu lakukan?” Jesse ingin tahu.
“Seperti biasa” jawabku cepat sambil mengklik pada nama berwarna biru.
“Oh yeah Darren…kekasih sejatimu…hanya saja aku tak pernah menjumpainya…jika aku menemukannya…maka akan kuhadapi dia sebagai laki-laki.”
Aku tertawa, mengingat usianya baru menginjak 17 tahun, dia baru akan lulus SMU beberapa bulan lagi. Seandainya aku seusianya aku akan memacarinya, setidaknya dia cukup keren, rambut berantakan, gaya urakan, tampang berandalan, cewek mana yang tak suka bad boy? Mereka menantang…tapi aku gadis dewasa.
“Apa yang akan kau lakukan?” aku mencoba bertanya “akan kuhadapi dia sebagai laki-laki?” aku tertawa mengulang kata-katanya. “kau cuma bocah laki-laki yang terjebak dalam tubuh pria dewasa.” Aku mengejeknya.
“Aku akan menghancurkan wajah tampan Darren-mu tersayang.” Dia berbicara dalam nada dingin, antara dia memang membenci Darren tahu dia memang tak suka aku menyebutnya sebagai bocah laki-laki.”Ingat aku pernah menghajar David karena mencampakkanmu, hey…aku nyaris mengenal siapapun yang kau kencani, entah mengapa kau masih saja merahasiakan Darren?”
“Darren begitu istimewa?” matanya tak menatapku tapi masih lurus menatap pada wajah kanibal yang saat ini tengah mencabik-cabik tubuh manusia dengan brutal di layar TV
“Sangat…”
“Yeah…apakah dia setampan David? Kamu mencintainya seperti David?”
Aku tertawa
“Hahaha demi Tuhan Jesse, aku tak pernah bersungguh-sungguh dengan David, demikian juga dengan Allan, Bobby atau Siapapun laki-laki yang pernah kukencani, mereka hanya sebagai seseorang yang harus kumiliki untuk mengatakan pada dunia bahwa aku bukanlah lajang yang menyedihkan. Aku tak pernah jatuh cinta pada mereka, sungguh.” Aku mengucapkannya dengan serius.
Jesse melihatku yang saat ini sedang menatap lurus pada layar dengan antusias memandangi wajah Darren yang tersenyum pada kamera. Dia terlihat tampan mengenakan T-Shirt Polo dan celana berwarna khaki.
“Dia?” Jesse tertawa. “Jadi? Pria seperti itu yang membuat kamu menolakku?” Jesse menggeleng beberapa kali, tak habis pikir, matanya menatapku dan menatap wajah Darren di Netbook-ku.
“Oh sudahlah” bisikku, tanganku membuka tab baru dan membuka halaman profile facebook-ku dan mulai menuliskan sebuah status.
I want to be with you,
But you’re millions of miles away.
I wish you would call just to ask about my day.
It would make things so much better if I could hear your voice,
I guess I can’t complain too much, it just wasn’t your choice.
I miss you so much
“Well yeah, aku tahu kenapa statistik menunjukkan banyak orang yang masih betah dengan Facebook bahkan di saat Twitter sudah tercipta, karena…jika Twitter adalah media tercepat dalam penyebaran informasi, maka Facebook adalah media paling tepat untuk menghambur-hamburkan isi hati.” Jesse berbicara dengan nada bosan “Lottie….”
“Aku lebih menghargai bila kamu memanggilku dengan Charlotte, aku terdengar seperti bocah lima tahun saat kau memanggilku dengan nama seperti itu.”
“Kau memanggilku bocah dan saat aku menyebut namamu seperti itu kau marah?” Dia menatapku tak percaya “Sungguh menjengkelkan”
“Jesse!”
“Lottie!”
“Jesse!” aku menaikkan nadaku, marah.
“Loony Loopy Lottie!” lalu dia tertawa.
“Dewasalah!” Jesse sungguh keterlaluan, jadi aku memilih bangkit dari sofa dan meninggalkannya. Aku berdiri menghadap jendela, mencari angin segar menikmati udara malam.
“Loony Loopy Lottie” dia masih tertawa dan kini mengulang lagi “Loony Loopy Lotty…Loony Looooooopy Lootttttttttttttttttttttttttie”
“Oh shut up!” teriakku, sungguh-sungguh marah.
“Sorry” Aku mengabaikannya.
Dan setelah itu lama kami terdiam…kupikir dia sedang menikmati film-nya sementara aku sedang sibuk dengan pikiranku sendiri.
“Boleh bertanya sesuatu?” akhirnya kebisuan itu terpecahkan.
“Katakan” sejujurnya aku tak sungguh-sungguh bisa marah padanya, dia seperti adik laki-lakiku.
“Kau begitu bodoh Lottie! Apa yang kau lakukan?” mendengarnya berbicara aku lalu berbalik menghadapnya dan melihat apa yang dilakukannya, dia sedang menatap pada layar Facebook-ku. “Darren bukan lagi pacarmu…kamu hanya…”
“Bagaimana bisa kamu bicara seperti itu?” ada nada panik dalam suaraku, dan dengan segera aku menghadapinya dan merebut Netbook-ku dari tangannya.
“Ada apa denganmu?” Jesse menatap padaku yang menghindari tatapan matanya.
“Kau masih mencintainya, kan sementara dia? Kalian sudah berpisah lama, menyerahlah!”
“Sangat…” ingin kujawab, tapi kuhanya bisa mengatakannya dalam hati, entah mengapa saat itu tenggorokkanku tercekat, aku menyadari betapa bodohnya aku.
“Kau dan dia …? tidak…?” tatapan matanya menuduhku, membuatku malu, serasa menghujam langsung ke jantungku.
“Yeah…tidak” aku tak tahan, aku menyerah
Jesse menatapku
“Apa yang harus kukatakan? Aku malah bertanya, itu membuat aku terlihat semakin bodoh.
“Lottie” dia menanti jawabanku, dan aku sungguh kesal, malu dan seperti kehilangan harga diri bahwa saat ini dia mengetahui ketololanku. Aku tak tahan lagi, hingga lidahku mulai mengatakannya.
“Okay, dia bukan lagi siapa-siapa hanya seorang mantan lama….yang begitu kucinta” saat mengatakannya aku memaksakan diri melihat langit-langit, mencoba menahan air mata yang menggenang. “Mungkin pikiranmu benar, harus kukatakan…aku gadis bodoh yang mencintainya dari jauh, mengamati aktivitasnya dari dunia maya, puas!” setelah itu aku …entah mengapa merasa lega dan sekarang…tak peduli lagi harus seberapa banyak menumpahkan air mata.
“Hey…” Jesse duduk di sampingku, lalu membelai rambutku yang masih lembab. “Kau ingat? Kau selalu mengatakan bahwa kau punya seorang Darren di sana, hingga kau menolakku dan pria-pria lain yang menyayangimu….aku memahami, tapi aku belum putus asa…” Jesse berbicara seperti bukan dirinya terdengar lebih lembut dan dewasa.
Aku diam dan membiarkan air mataku tetap mengalir
“Apa dia mengetahuinya? Bahwa di sini kamu begitu mencintainya” mengapa Jesse harus bertanya seperti ini.
“Tidak…sama sekali.”
“Sudah kuduga” Jesse menatapku aku tak ingin menatapnya. “Lottie… sadarkah kau betapa manisnya nama Lottie? Tapi kau lebih suka dipanggil Charlotte, karena Darren memanggilmu begitu?”
Aku mengangguk
“Kau tahu Darren mengaktifkan chat-nya di seberang, kau juga bisa menuliskan pesan di dindingnya…tapi kenapa kau malah hanya menuliskannya sebagai status di facebook-mu, mengapa tak kau katakan?”
Aku berusaha.Aku mencoba. Betapa aku mencintainya, tapi tak ingin membayangkan bila saat itu tiba dan aku harus mengatakannya sementara Darren…oh Tuhan aku sungguh ketakutan..biarlah aku tetap mencintainya dalam diam, biarlah seperti apa adanya…aku hanya ingin mencintainya tanpa perlu diketahuinya itu saja…dan aku menangis lagi memikirkan betapa menyedihkannya cinta yang harus kualami, kukatakan pada Jesse dan siapapun bahwa aku masih memiliki Darren, kenyataannya aku tak lagi memilikinya, hanya terus mencintainya sebagai seorang pecundang.
“Tak ingin mengatakannya? Bertahan sebagai mantan lama yang masih mencintainya?” tatapan Jesse membuatku merasa bersalah
Aku mengangguk
“Kau seharusnya menjadi pemain teater, berpura-pura punya kehidupan cinta dengan seseorang yang luar biasa yang berada jauh diluar sana, menampilkan wajah seolah kau adalah wanita paling bahagia di dunia… padahal di sini kau menderita dalam kesedihan karena tak mampu mengungkapkannya … kau tahu bahwa tidak ada yang lebih menyedihkan dibanding menipu diri dan pura-pura bahagia Lottie!” sekarang suara Jesse terdengar kesal.
“Sometime it is easier to smile even if you're hurting inside, than to explain to the whole world why you're sad”Aku cuma bisa berbisik pelan.
“Aku tahu jawabannya sekarang…” Jesse bangkit. “Aku menyerah, tak mudah mencintai gadis yang begitu mencintai cowok lainnya.” Dia berdiri menghadapku.” Kau tahu ini gila”
“Yeah, ini sungguh tak masuk akal tapi menurutku ini sangat benar.” aku menghapus air mataku dan bergegas berjalan ke pintu dan membukakan pintu untuk Jesse. Aku tak tahan lagi, aku tak ingin dia lebih lama lagi di sini. Jesse mengerti maksudku, dan akhirnya dia berjalan melewati pintu, tapi sebelum aku menutup pintunya dia berbicara.”Mungkin ada benarnya jika kamu terus menunggu dia, Darren…seseorang yang tepat denganmu, dibanding bertahan bersama orang yang salah sepertiku.” Lalu Jesse berlalu, punggungnya menjauh.
***
Setelah aku menutup pintu, aku merasa bahwa ini semua telah berakhir, berantakan, hingga aku menyadari ada bunyi dari Netbook-ku, tanda ada video call dari facebook-ku, kutatap layarnya…saat kulihat panggilan itu berasal dari Darren, dan menyadari bahwa di kolom chat aku membaca sebaris kalimat…status terbaruku untuk kamu…shit! Apa yang Jesse lakukan???tapi mungkin inilah kesempatanku jadi kuputuskan untuk menjawab panggilan, dan pada saat itu menatap wajah dan mendengar suara dari orang yang paling aku rindukan, di sana tergambar senyuman Darren…itulah senyuman dari orang yang paling aku harapkan… dan mungkin aku harus berterima kasih pada Jesse.
0 comments