Aku berlari tergesa-gesa mendekati seorang pria yang duduk manis di bangku besi memanjang. Bangku berwarna kuning, tempat kita menyempatkan waktu untuk bertemu. Hanya di waktu-waktu seperti ini kami bisa saling bertatapan mata, berbicara, serta mengungkapkan rasa. Hanya di tempat ini, aku dan dia berani menjadi dua orang yang saling jatuh cinta; tanpa mendengar bisikan sinis dari banyak orang yang mencoba menghakimi kita.
“Maaf, aku baru sampai di sini. Tadi mata kuliahnya sampai sore.”
“Enggak apa-apa kok, yang penting aku bisa lihat kamu.”
Senyum itu adalah senyum yang selalu mencairkan rasa ketakutanku. Di stasiun ini, meskipun di tempat umum, tetap saja kami bersembunyi dari pasang mata yang mengawasi.
“Aku bawa air minum, kamu haus?”
“Hari ini kan hari Kamis, aku puasa.”
“Oh, maaf. Bagaimana hari ini, menyenangkan?”
“Sangat menyenangkan, terutama jika aku bisa bertemu denganmu.”
“Aku kangen.”
“Aku juga.”
Tatapan matanya menyentuh bola mataku yang membulat. Dia tidak menyentuhku tapi perkataan dan senyumnya sudah sangat menghangatkan aku.
“Bagaimana harimu, menyenangkan?”
Aku mengangguk pelan. “Tapi, karena telat, aku jadi tidak bisa lama-lama melihatmu.”
“Besok masih ada waktu.”
“Habis kamu sholat Jumat?”
Dia tertawa misterius. “Habis aku salat Jumat bukankah kamu ada latihan paduan suara di gereja?”
“Oh, iya, berarti besok kita bertemu seperti biasa saja, di sini.”
Jarum jam bergerak sangat cepat saat aku menghabiskan waktu bersamanya. Ketika adzan Magrib menggema, kereta commuter lineberjalan pelan mendekati stasiun. Aku bersiap-siap menaiki gerbong kereta. Di sampingku, kudengar bibirnya lirih mengucap “Alhamdulillah.”
Sudah jam buka puasa. Dengan tatapan mohon pamit pulang, aku tergesa-gesa meninggalkan dia di peron sendirian.
Aku sudah berada di dalam gerbong kereta, ia masih lurus-lurus menatap ke arah kalung salibku. Aku melambaikan tangan.
Tak perlu sedih karena tak ada perpisahan. Besok kami bertemu lagi, sebelum adzan magrib.
0 comments