Cerita sebelumnya: Perlukah Aku Mengetahui Namamu? (I)
“Apakah menunggu harus selalu disertai dengan janji?”
Aku sudah berjanji pada diriku sendiri agar tidak berharap terlalu banyak. Kejadian beberapa hari yang lalu hanyalah ketertarikan sesaat. Mungkin, aku sudah lupa rasanya berbicara sehangat dan sedekat kemarin, makanya pria itu terasa begitu spesial dalam kacamataku. Dalam waktu singkat, kami bisa bicara banyak hal. Seleranya dekat dengan seleraku, banyak kesamaan. Namun, seharusnya banyak kesamaan belum tentu menyebabkan ketertarikan. Harusnya memang begitu. Apa yang kauharapkan dari sosok pria yang baru saja kaukenal? Bahkan kautak mengetahui namanya, asal-usulnya, dan pekerjaannya. Pikiran-pikiran itu bertengkar hebat di otakku. Aku tak pernah segelisah ini. Kupikir tak ada hal yang terlalu mengkhawatirkan di Busan, namun nyatanya kehadiran singkat pria itu benar-benar meresahkanku.
Aku sudah berjanji pada diriku sendiri agar tidak berharap terlalu banyak. Kejadian beberapa hari yang lalu hanyalah ketertarikan sesaat. Mungkin, aku sudah lupa rasanya berbicara sehangat dan sedekat kemarin, makanya pria itu terasa begitu spesial dalam kacamataku. Dalam waktu singkat, kami bisa bicara banyak hal. Seleranya dekat dengan seleraku, banyak kesamaan. Namun, seharusnya banyak kesamaan belum tentu menyebabkan ketertarikan. Harusnya memang begitu. Apa yang kauharapkan dari sosok pria yang baru saja kaukenal? Bahkan kautak mengetahui namanya, asal-usulnya, dan pekerjaannya. Pikiran-pikiran itu bertengkar hebat di otakku. Aku tak pernah segelisah ini. Kupikir tak ada hal yang terlalu mengkhawatirkan di Busan, namun nyatanya kehadiran singkat pria itu benar-benar meresahkanku.
Malam tahun baru. Aku sendirian. Teman-temanku berlibur di Seoul. Chuketa! Berpesta! Itulah satu kata yang kubenci. Terhitung bulan November yang lalu, sudah setahun aku berada di Busan, tapi kata berpesta masih begitu asing bagiku. Aku tidak suka pesta. Aku juga tak terlalu suka keramaian. Aku suka keheningan bersama dengan diriku sendiri. Berbicara mesra dengan pikiran-pikiran di otakku, dan berbincang mesra dengan isi hatiku. Di sini, aku terbiasa sendiri, menjadi mandiri adalah pilihanku agar betah hidup di negeri orang. Mungkin, itu juga alasan yang cukup logis, mengapa kehadiran pria-yang-kutemui-beberapa-hari-yang-lalu terasa sangat istimewa bagiku.
I jungeseo amugeona gollado dwaeyo. Dapatkah aku memilih? Tidak. Aku tidak dapat memilih apapun. Aku juga tak dapat memilih ketika akhirnya aku tak lagi lanjutkan lemburku di malam tahun baru. Aku juga tak memilih menyusuri jalanan yang dingin, bermantel, hingga mulutku mengeluarkan asap setiap kali aku menghela napas. Aku tak memilih untuk duduk di sini. Diam. Termangu. Sambil meminum soju. Di tempat yang sama, tempat aku tak sengaja berjumpa dengan pria itu. Aku tak rencanakan kedatanganku hari ini. Otakku yang meminta, kakiku yang menggerakan, dan hatiku yang bicara. Aku tak dapat lagi memilih ketika anggota tubuhku menginginkan sesuatu yang mereka mau. Bertemu. Pria itu.
Tak peduli ia akan datang, tak peduli aku harus sendirian menunggu. Aku lebih suka menunggu, lebih elegan dan manis daripada hanya memendam dalam diam. Menunggu adalah pekerjaan, mungkin karena biasanya dilakuan dalam diam sehingga pekerjaan menunggu sering dianggap pekerjaan tolol. Apakah bisa dianggap tolol jika seseorang menunggu untuk hal yang mulai ia sukai? Nampaknya tidak dan aku memercayai itu. Aku di sini. Menunggu pria itu datang. Tak peduli dia akan mengingatku atau tidak. Tak peduli ia akan menghampiriku atau tidak. Tak peduli ia akan membawa wanita lain sambil merangkulnya atau dia datang seorang diri. Iya, meskipun tak ada perjanjian, namun rasanya lebih baik menunggu, daripada aku seorang diri di meja kerjaku. Menatap laptop yang bukan mahluk hidup. Aku melanggar janjiku, ternyata aku berharap banyak pada pria itu.
Aku merasa udara semakin dingin. Entah tubuhku yang menggigil atau memang cuaca di luar telah menulari atmosfer dia dalam tempat aku menunggu. Kuteguk lagi soju-ku. Entah sudah gelas yang keberapa yang kuminum. Entah sudah merk soju keberapa yang kuteguk. Aku sengaja memesan pada pelayan untuk memberiku beberapa merk soju yang berbeda. Sungguh, aku tak mengerti perasaanku kali ini. Semakin aku berusaha mengerti, semakin aku tak memahami.
Aku mencoba setiap merk soju, berharap menemukan rasa nikmat di lidahku seperti saat aku meneguk sojusambil menatap sosok pria itu. Namun, tak ada rasa soju yang sama. Semua terasa hambar. Hanya dia yang bisa mengubah rasa sojulebih menyenangkan di lidahku. Dan, karena dia juga, soju yang kuteguk terasa begitu langu.
Kepalaku begitu berat. Mataku terantuk. Di tengah tawa membahana malam tahun baru. Di antara candaan orang-orang bersama dengan teman-teman mereka, mataku malah berkunang-kunang. Mengapa aku begitu sulit terlarut dalam kebahagiaan seseorang?
Kepalaku semakin berat.
Aku terlelap.
I jungeseo amugeona gollado dwaeyo. Dapatkah aku memilih? Tidak. Aku tidak dapat memilih apapun. Aku juga tak dapat memilih ketika akhirnya aku tak lagi lanjutkan lemburku di malam tahun baru. Aku juga tak memilih menyusuri jalanan yang dingin, bermantel, hingga mulutku mengeluarkan asap setiap kali aku menghela napas. Aku tak memilih untuk duduk di sini. Diam. Termangu. Sambil meminum soju. Di tempat yang sama, tempat aku tak sengaja berjumpa dengan pria itu. Aku tak rencanakan kedatanganku hari ini. Otakku yang meminta, kakiku yang menggerakan, dan hatiku yang bicara. Aku tak dapat lagi memilih ketika anggota tubuhku menginginkan sesuatu yang mereka mau. Bertemu. Pria itu.
Tak peduli ia akan datang, tak peduli aku harus sendirian menunggu. Aku lebih suka menunggu, lebih elegan dan manis daripada hanya memendam dalam diam. Menunggu adalah pekerjaan, mungkin karena biasanya dilakuan dalam diam sehingga pekerjaan menunggu sering dianggap pekerjaan tolol. Apakah bisa dianggap tolol jika seseorang menunggu untuk hal yang mulai ia sukai? Nampaknya tidak dan aku memercayai itu. Aku di sini. Menunggu pria itu datang. Tak peduli dia akan mengingatku atau tidak. Tak peduli ia akan menghampiriku atau tidak. Tak peduli ia akan membawa wanita lain sambil merangkulnya atau dia datang seorang diri. Iya, meskipun tak ada perjanjian, namun rasanya lebih baik menunggu, daripada aku seorang diri di meja kerjaku. Menatap laptop yang bukan mahluk hidup. Aku melanggar janjiku, ternyata aku berharap banyak pada pria itu.
Aku merasa udara semakin dingin. Entah tubuhku yang menggigil atau memang cuaca di luar telah menulari atmosfer dia dalam tempat aku menunggu. Kuteguk lagi soju-ku. Entah sudah gelas yang keberapa yang kuminum. Entah sudah merk soju keberapa yang kuteguk. Aku sengaja memesan pada pelayan untuk memberiku beberapa merk soju yang berbeda. Sungguh, aku tak mengerti perasaanku kali ini. Semakin aku berusaha mengerti, semakin aku tak memahami.
Aku mencoba setiap merk soju, berharap menemukan rasa nikmat di lidahku seperti saat aku meneguk sojusambil menatap sosok pria itu. Namun, tak ada rasa soju yang sama. Semua terasa hambar. Hanya dia yang bisa mengubah rasa sojulebih menyenangkan di lidahku. Dan, karena dia juga, soju yang kuteguk terasa begitu langu.
Kepalaku begitu berat. Mataku terantuk. Di tengah tawa membahana malam tahun baru. Di antara candaan orang-orang bersama dengan teman-teman mereka, mataku malah berkunang-kunang. Mengapa aku begitu sulit terlarut dalam kebahagiaan seseorang?
Kepalaku semakin berat.
Aku terlelap.
***
“Bangun! Bodoh...”
Suara itu sepertinya begitu lantang diucapkan seseorang, tapi teredam oleh dentuman tawa para pengunjung yang jumlahnya ternyata semakin banyak. Sudah berapa lama aku tak sadarkan diri?
“Untuk apa minum sebanyak ini? Katanya kauminum hanya untuk menghangatkan tubuhmu, tapi jumlah botol-botol ini terlalu banyak.”
Aku mengenal suara ini, walaupun pengenalanku tak terlalu lama dan masih begitu singkat. Aku mencoba membuka mata, melawan rasa berat di kepalaku.
“Hah, kautidak menjawab aku. Aku ke toilet dululah!”
Cepat-cepat kutarik tangannya, mengumpulkan seluruh tenagaku untuk menahannya. “Jangan....”
“Kenapa?”
“Nanti kaumeninggalkanku seperti kemarin.”
Dia terduduk lagi. Menatapku dengan tatapan hangat. “Kenapa minum sebanyak ini? Kasihan tubuhmu. Sudah tinggal sendirian. Malam tahun baru sendirian. Minum sendirian juga!”
“Heh!” selorohku lunglai, aku masih mencoba melawan rasa berat di kepalaku. “Kausedang membicarakan dirimu sendiri ya?”
“Aku membicarakanmu!”
“Masa? Walaupun mataku berkunang-kunang, aku tahu sebenarnya kaujuga minum banyak. Ada enam botol di depanmu. Itu milikmu kan?”
Ia tersenyum geli.
“Aku memang mabuk, tapi aku cukup bisa mengingat bahwa botol yang kuminum hanya lima, bukan sebelas!”
“Bukankah sebenarnya manusia sedang membicarakan dirinya sendiri ketika ia menyindir orang lain?”
Aku tak menjawab, malah mengalihkan pertanyaan. “Kenapa tidak liburan tahun baru? Lihat kembang api misalnya. Daripada di sini. Kautak temukan kebahagiaan di sini.”
“Ada kebahagiaan kok di sini.”
“Mana?”
“Di depanku.”
Aku terdiam. Dalam keadaan berpangku dagu, aku mengayun-ayunkan tanganku di depan wajahnya. “Gombal!”
“Bukankah kamu suka mendengarnya.”
“Sok tahu.”
“Kalau kautak menyukaiku, kautidak menahanku.”
Aku nyengir, mencoba meredam rasa salah tingkah. Ia menebak perasaanku dengan detail, dan aku tak mampu lagi melawan.
“Kenapa baru datang sekarang? Sejak kemarin aku di sini.”
“Ngapain?”
“Menunggumu.”
“Buat apa menunggu? Tidak ada janji kan?”
“Apakah menunggu harus selalu disertai dengan janji?”
“Mungkin, tidak juga.”
“Aku suka melihat senyummu walau dalam keadaan mabuk seperti ini. Tapi, aku ingin pulang, udara di sini dingin sekali."
“Chuwoyo! Di luar dingin.”
“Tidak apa-apa, aku terbiasa dengan hal yang dingin. Dengan hati yang dingin, dengan perasaan dingin, dengan cuaca dingin. Sungguh, aku sudah sangat terbiasa."
Aku berdiri, hendak melangkah pergi. Aku berusaha keras tak menoleh ke belakang. Dalam keadaan seperti ini, seharusnya aku tak berjalan sendirian. Aku sedang mabuk. Terlalu nekad kalau harus menyusuri jalanan sendirian. Seusai membayar minumanku, pergelangan tanganku ditarik secara paksa. Pria itu menarik tanganku hingga meninggalkan restoran. Ia membawaku berlari. Entah ke mana. Aku tak bisa melawan, genggamannya sangat kuat. Sungguh berat bagiku harus berlari di tengah lalu-lalang orang yang ingin menikmati malam tahun baru. Kepalaku bertambah berat, rasanya aku ingin memuntahkan seluruh isi perutku ke wajah pria itu. Langkahnya semakin cepat dan genggamannya semakin kuat.
Langkah larinya mulai pelan ketika kami sampai di sebuah jembatan yang tak pernah kulewati sebelumnya. Aku tak mengenali jembatan ini. Ia menggiringku hingga ke tengah jembatan. Kami berpegangan pada gagang jembatan. Di bawah jembatan mengalir sungai yang tak begitu deras, tak ada gemericik yang mengisi kesunyianku dan kesunyiaannya. Aku tak bertanya banyak. Apa yang harus kutanyakan dalam keadaan serba bingung seperti ini?
“Kadang, kita tak pernah punya alasan untuk menunggu seseorang. Kita hanya tahu menunggu adalah yang terbaik, tak peduli ia akan datang atau ia tak pernah pulang.”
Aku memandang jauh pada gelapnya malam kala itu. Dalam ketidakpedulianku, ternyata telingaku cukup menyerap pernyataan yang ia ucapkan.
“Bahkan, kautak perlu mengetahui nama seseorang hanya untuk membuat dirimu terdiam dan terus menunggu.”
“Nama memang bukan segalanya, tapi bagiku jika kautak mengetahui nama seseorang dan ternyata takdir menginginkan orang tersebut menjadi kenangan, berarti kautak bisa memanggil namanya dalam hati juga dalam bibirmu.”
“Apa gunanya nama?”
“Untuk diucapkan dalam doa.”
Pria ini tersenyum tipis. Ia menatap jam tangannya. Menghela napas.
DAR! DAR! DAR!
Aku terbangun dari tidur panjangku dan kepala beratku.
Kembang api tahun baru. Baru kali ini aku memasuki tahun baru bersama seseorang yang mungkin saja akan menjadi orang yang spesial dalam hidupku.
“Namaku....” ucapnya tertahan, beradu bersama dentuman kembang api.
Bojamaja maeusayadeu Reosseoyo.
Begitu aku melihatnya, aku menyukainya.
Suara itu sepertinya begitu lantang diucapkan seseorang, tapi teredam oleh dentuman tawa para pengunjung yang jumlahnya ternyata semakin banyak. Sudah berapa lama aku tak sadarkan diri?
“Untuk apa minum sebanyak ini? Katanya kauminum hanya untuk menghangatkan tubuhmu, tapi jumlah botol-botol ini terlalu banyak.”
Aku mengenal suara ini, walaupun pengenalanku tak terlalu lama dan masih begitu singkat. Aku mencoba membuka mata, melawan rasa berat di kepalaku.
“Hah, kautidak menjawab aku. Aku ke toilet dululah!”
Cepat-cepat kutarik tangannya, mengumpulkan seluruh tenagaku untuk menahannya. “Jangan....”
“Kenapa?”
“Nanti kaumeninggalkanku seperti kemarin.”
Dia terduduk lagi. Menatapku dengan tatapan hangat. “Kenapa minum sebanyak ini? Kasihan tubuhmu. Sudah tinggal sendirian. Malam tahun baru sendirian. Minum sendirian juga!”
“Heh!” selorohku lunglai, aku masih mencoba melawan rasa berat di kepalaku. “Kausedang membicarakan dirimu sendiri ya?”
“Aku membicarakanmu!”
“Masa? Walaupun mataku berkunang-kunang, aku tahu sebenarnya kaujuga minum banyak. Ada enam botol di depanmu. Itu milikmu kan?”
Ia tersenyum geli.
“Aku memang mabuk, tapi aku cukup bisa mengingat bahwa botol yang kuminum hanya lima, bukan sebelas!”
“Bukankah sebenarnya manusia sedang membicarakan dirinya sendiri ketika ia menyindir orang lain?”
Aku tak menjawab, malah mengalihkan pertanyaan. “Kenapa tidak liburan tahun baru? Lihat kembang api misalnya. Daripada di sini. Kautak temukan kebahagiaan di sini.”
“Ada kebahagiaan kok di sini.”
“Mana?”
“Di depanku.”
Aku terdiam. Dalam keadaan berpangku dagu, aku mengayun-ayunkan tanganku di depan wajahnya. “Gombal!”
“Bukankah kamu suka mendengarnya.”
“Sok tahu.”
“Kalau kautak menyukaiku, kautidak menahanku.”
Aku nyengir, mencoba meredam rasa salah tingkah. Ia menebak perasaanku dengan detail, dan aku tak mampu lagi melawan.
“Kenapa baru datang sekarang? Sejak kemarin aku di sini.”
“Ngapain?”
“Menunggumu.”
“Buat apa menunggu? Tidak ada janji kan?”
“Apakah menunggu harus selalu disertai dengan janji?”
“Mungkin, tidak juga.”
“Aku suka melihat senyummu walau dalam keadaan mabuk seperti ini. Tapi, aku ingin pulang, udara di sini dingin sekali."
“Chuwoyo! Di luar dingin.”
“Tidak apa-apa, aku terbiasa dengan hal yang dingin. Dengan hati yang dingin, dengan perasaan dingin, dengan cuaca dingin. Sungguh, aku sudah sangat terbiasa."
Aku berdiri, hendak melangkah pergi. Aku berusaha keras tak menoleh ke belakang. Dalam keadaan seperti ini, seharusnya aku tak berjalan sendirian. Aku sedang mabuk. Terlalu nekad kalau harus menyusuri jalanan sendirian. Seusai membayar minumanku, pergelangan tanganku ditarik secara paksa. Pria itu menarik tanganku hingga meninggalkan restoran. Ia membawaku berlari. Entah ke mana. Aku tak bisa melawan, genggamannya sangat kuat. Sungguh berat bagiku harus berlari di tengah lalu-lalang orang yang ingin menikmati malam tahun baru. Kepalaku bertambah berat, rasanya aku ingin memuntahkan seluruh isi perutku ke wajah pria itu. Langkahnya semakin cepat dan genggamannya semakin kuat.
Langkah larinya mulai pelan ketika kami sampai di sebuah jembatan yang tak pernah kulewati sebelumnya. Aku tak mengenali jembatan ini. Ia menggiringku hingga ke tengah jembatan. Kami berpegangan pada gagang jembatan. Di bawah jembatan mengalir sungai yang tak begitu deras, tak ada gemericik yang mengisi kesunyianku dan kesunyiaannya. Aku tak bertanya banyak. Apa yang harus kutanyakan dalam keadaan serba bingung seperti ini?
“Kadang, kita tak pernah punya alasan untuk menunggu seseorang. Kita hanya tahu menunggu adalah yang terbaik, tak peduli ia akan datang atau ia tak pernah pulang.”
Aku memandang jauh pada gelapnya malam kala itu. Dalam ketidakpedulianku, ternyata telingaku cukup menyerap pernyataan yang ia ucapkan.
“Bahkan, kautak perlu mengetahui nama seseorang hanya untuk membuat dirimu terdiam dan terus menunggu.”
“Nama memang bukan segalanya, tapi bagiku jika kautak mengetahui nama seseorang dan ternyata takdir menginginkan orang tersebut menjadi kenangan, berarti kautak bisa memanggil namanya dalam hati juga dalam bibirmu.”
“Apa gunanya nama?”
“Untuk diucapkan dalam doa.”
Pria ini tersenyum tipis. Ia menatap jam tangannya. Menghela napas.
DAR! DAR! DAR!
Aku terbangun dari tidur panjangku dan kepala beratku.
Kembang api tahun baru. Baru kali ini aku memasuki tahun baru bersama seseorang yang mungkin saja akan menjadi orang yang spesial dalam hidupku.
“Namaku....” ucapnya tertahan, beradu bersama dentuman kembang api.
Bojamaja maeusayadeu Reosseoyo.
Begitu aku melihatnya, aku menyukainya.
0 comments