Bulan di Kotaku dan Bulan di Kotamu

Malam tak pernah sama di sini. Setiap jalan, setiap gang, dan setiap pekarangan rumah tidak selalu sepi seperti di kotamu. Laron-laron beterbangan di sinaran cahaya lampu, tak sebanyak jumlah laron yang menggumuli sinar lampu di rumah sederhanamu. Kotamu dan kotaku sangat berbeda. Kotamu, yang dulu juga menjadi kotaku, dan sering aku dan kamu sebut sebagai kota kita; kini tak lagi muncul di dalam otakku. Sejak ke sini, aku merasa kota ini milikku, dan aku pantas melupakan kotamu, kota kita.

Aku sedang menatap bintang-bintang yang belum habis termakan malam. Cahayanya terselip di antara terang lampu tembak. Seringkah lampu tembak, yang cahayanya mampu menembus langit malam terlihat menari-nari di langit kotamu? Aku berusaha mencari bulan, ia tampak lebih tua dan lebih redup. Inilah yang tak dimiliki kotaku. Bulan di kotaku beradu dengan sinaran tajam dari lampu-lampu yang menembus jendela gedung-gedung tinggi. Bulan di kotaku sangat redup dan sedih, entah mungkin karena ia juga merasakan kerinduan yang kurasakan, kerinduanku dengan kotamu, kota kita.
Sawah-sawah di sini berganti topeng menjadi apartemen, mall, kantor, dan gedung-gedung pencakar langit lainnya. Sawah-sawah di kotamu, di kota kita, masih hijau dan selalu menguning ketika masa panen tiba. Asap-asap di sini tidak disebabkan oleh mesin pembajak sawah yang berbahan bakan diesel itu, yang baru beberapa bulan diberikan kepala desa. Asap-asap di sini adalah asap kendaraan bermotor yang tak habis-habisnya berlalu-lalang di jalanan. Kotamu dan kotamu sungguh berbeda.
Rasanya memang sulit melupakan peristiwa yang sengaja diciptakan untuk tidak dilupakan. Di beranda rumahmu, aku dan kamu pernah melihat cahaya bulan yang terangnya mampu menembus bekunya hati kita. Kamu berbisik, bercerita, dan menerbangkan anganku sampai langit ke tujuh. Perasaanku tak bisa kugambarkan lagi kala itu, aku mulai merasa kauakan jadi seseorang yang istimewa; seseorang yang suatu saat mengubahku menjadi wanita yang berbeda. Tapi, ternyata, semua memang hanya kiasan. Kauyang kutunggu lebih senang menjamu hal yang semu. Aku menunggu hingga aku tak bisa lagi menunggu.
Keputusanku untuk pergi meninggalkan kota kita dulu karena aku berusaha mengobati luka. Apa pedulimu? Kamu juga tidak mengejarku. Kamu hanya sering mengirim surat, berkali-kali, berlembar-lembar. Apakah tulisan bagimu sudah cukup menjadi obat pengering lukaku?

Di sini, sudah ada pria yang menggantikanmu. Jangan khawatir, dia tidak akan membuatku terus menunggu seperti kauyang selalu membuatku menunggu. Aku hanya membutuhkan kepastian dan dia memberikannya hanya untukku. Melalui penjelasanku, sekarang kausudah tahu bagaimana perasaanku. Berhentilah mengirimiku surat berkali-kali. Aku sudah muak. Aku sedang melupakanmu dan sedang proses mengobati lukaku. Sebenarnya, wajah pria itu sangat mirip denganmu. Aku berusaha mencari-cari dirimu di dalam dirinya. Aku bersikeras menemukan sifatmu di dalam tingkah lakunya. Namun, tetap saja peluknya dan sehangat pelukmu. Dan, segala tingkah manismu, tutur lembutmu, serta sapa manjamu tak kutemui di dalam sosok pria itu.
Jauh dalam lubuk hatiku, aku juga ingin pulang. Tapi, gemerlap yang menggiurkan di kota ini begitu menggodaku dan menahanku sangat erat. Aku rindu kotamu, yang sering aku dan sebut sebagai kota kita. 

Aku rindu cahaya bulan di kota kita, tapi belum waktunya aku pulang. Aku belum siap melihat istrimu, yang baru beberapa bulan kaunikahi itu. Aku belum siap melihat wajah ibuku yang tak pernah setuju aku tinggal di kota baru ini. Aku belum siap bertemu lagi dengan kenangan yang selama ini belum benar-benar kulupakan.
Bulan di kotaku tak seterang bulan di kotamu. Aku rindu bulan di kotamu, bulan di kota kita, juga merindukan pelukan sederhanamu, yang tak bisa diberikan lengan siapapun, selain lenganmu.

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Evo Sastra
Designed by Evo Sastra
..
Back to top