Big Girl You Are Beautiful



Aku merindukan senyumanmu yang sebenarnya, bukan titik dua dan tutup kurung

          Pesan singkat di WhatsApp messanger-ku, dari seseorang yang berarti sekali bertahun-tahun lalu, membuatku mau tak mau memandang cermin ukuran badan yang berada di kamar tidurku. Aku menatap diriku di sana; cantik, menarik, dengan badan tinggi semampai, rambut ekor kuda dan senyum ceria. Aku mengerjapkan mata, dan semuanya berubah menjadi; seorang wanita bertubuh raksasa, gendut, jerawatan, dengan rambut Bob yang alih-alih modis untukku, malah makin memperjelas wajah chubbyyang mengingatkan aku pada kartun favorite murid-murid TK-ku, yeah, benar Dora The Explorer, hanya saja aku tak punya sahabat seperti, Boots si monyet.
          Fiuuuh, aku menghempaskan tubuh ukuran karung berasku ke sofa tiup, yang langsung mengempes, saat penutup udaranya terlepas begitu aku mendudukinya. “Gendut, gendut, gendut!” aku memaki diriku, tapi anehnya, aku malah mencomot beberapa keping cookies bertabur choco chipsdalam toples di sampingku.
“Memangnya kenapa kalo aku gendut?” aku malah bertanya pada bayanganku dalam kaca!
“Cowok-cowok suka cewek Barbie! Bukannya seekor Babi!” aku seolah-olah mendengar bayangan di cermin mengejekku tanpa belas kasihan.
Tiba-tiba saja aku ingin kembali seperti dulu, saat aku adalah kapten Cheer Leader dan Yoga adalah kapten Tim basket sekolah, betapa sempurnanya hidupku pada masa itu, sementara sekarang aku seperti si Badut lucu.
***
          “Yoga mau ketemu gue lagi Ndin” aku bicara dalam nada panik pada Andina sahabatku. Sudah lima tahunan aku tak bertemu Yoga dia menuntut ilmu di luar negeri, aku sedikit berharap cinta lama itu bersemi kembali, tapi mungkinkah dengan keadaanku yang seperti ini? “sumpah gue bener-bener nggak nyadar, tiba-tiba aja bodygue melar!”
          “Hahahahaha salah elo juga tuh body nggak dijaga” jawabnya enteng.
          “Anak-anak suka sama pelukan bu gurunya yang hangat” aku mencoba membela diri
          “Tapi cowok suka meluk cewek ramping, kayak gue” Andina memutar bola matanya, dan dia benar.
          “Tapi gapapa deh  jadi cewek gendut minimal nggak takut dipeluk kayak meluk cewek anorexia, huh bisa-bisa patah jadi dua” aku masih mencoba bertahan dengan pendapat yang dipaksakan.
          “Punya cewek penderita anorexia, bikin irit, makannya dikit, nah cewek ukuran gentong? Makannya dobel! Bikin jebol kantong hahahahaha” Andina benar-benar tega, yeah dia emang nggak salah.
          “Trussss gue mesti gimana?”
          Andina mengangkat bahunya dan tersenyum “Kira-kira Yoga masih ngenalin elo nggak yah?” Andina menatapku, bukan ke wajahku tapi kearah tubuh raksasaku, dia tertawa mengejek dan berlalu, Andina memang kadang-kadang menyebalkan, bukan kadang-kadang yeah dia memang selalu menyebalkan, aku juga tak mengerti apakah ikatan diantara kita layak disebut persahabatan? Entahlah.
***   
          Obrolan singkat dengan Andina membuatku mengambil keputusan bijak tapi menyakitkan, aku harus melupakan Yoga, tak menjawab pesannya, tak mengangkat telponnya, menghindarinya perlahan, melupakannya, tak perlu terlalu menyesakan dada karena nantinya tak perlu mengucapkan selamat tinggal. Inilah cara terbaik, daripada aku harus menahan malu, ketika Yoga melihatku seperti ini, dan dia malah pergi melarikan diri, karena aku bukan lagi Alia yang pernah dipacarinya dulu. Seandainya bisa mengulang sekali lagi masa itu.
***
Aku sedang menikmati brunch di salah satu café favorite-ku seorang diri, tapi menu di depanku bisa membuat orang-orang menggeleng-gelengkan kepala berkali-kali. Hey aku aku yang menikmatinya! Kenapa orang lain mesti peduli? selera makanku adalah masalahku!
Astaganaga, inilah hal yang paling kubenci jika aku makan tanpa konsentrasi, manakala aku harus berjuang keras agar bisa bernafas, saat sepotong Pumpkin-Ginger Waffles tersangkut ditenggorokkan, aku buru-buru melegakkannya dan berharap Jasmine Tea mampu melancarkan makanan yang tiba-tiba saja macet itu, aku menahan diri agar tak batuk, apalagi sampai menarik perhatian dua orang yang duduk di meja depanku. Sejujurnya insiden ini juga karena aku melihat mereka; Yoga dan Andina, mengapa mereka terlihat begitu sempurna bersama?
Sial! Aku sudah tak mampu lagi menahan, aku bahkan bisa menatap wajahku memerah di balik nampan perak, dan batuk-batuk itu meledak begitu saja, keras dan benar-benar memalukan, semua mata tertuju padaku, mau tak mau aku menjadi tersipu. Ditengah derita yang kualami, hal yang tak kuinginkan terjadi Yoga berbalik dan menatapku. Oh Tuhan! Dia melihatku, menatapku dalam keadaan begini, aku benar-benar ingin bunuh diri, saat ini, tapi yang kulakukan adalah tindakan pecundang, membuka dompet, mengeluarkan beberapa lembaran, lalu pergi. Tapi aku tau Yoga menatapku hingga jauh.
***
Saat paling menyenangkan adalah saat bermain di jam istirahat bersama anak-anak, kami bisa tertawa bersama-sama; menikmati hangatnya matahari, menari, bernyanyi, bersenang-senang bersama mereka membuatku menyadari tak perlu ada yang dikhawatirkan di dunia ini. Aku mencintai anak-anak, kepolosan mereka, kelucuannya, serta canda tawa, dan perasaan suka cita yang alamiah, mereka bahagia dengan cara yang sederhana, tidak seperti kami para orang dewasa.
          “Boleh peluk bu guru?” permintaan malu-malu dari Pippy, hari ini dia agak sakit, sedari tadi dia terlihat tersiksa dengan meler dan juga pantangan menikmati Ice Cream cokelat kesukaannya.
          “Selama yang Pippy mau” aku memelukknya dan menggelitiknya agar dia tertawa dan juga merasakan suka cita teman-temannya.
          “Bu guru sayang sama aku?” dia bertanya manja
          “Sangaaaaaaaaaaaat sayang”
          “Sama anak-anak yang lain?”
          “Sayang juga, bu guru sayang sama semua yang ada di sini” aku meyakinkannya.
          “Termasuk, sama om yang itu juga?” Pippy menunjuk seseorang yang berdiri tak jauh dari  bangku taman tempat kami duduk.
          Aku tak menyadari, ternyata ada orang yang memperhatikan kami bermain sedari tadi, Yoga berdiri di sana, saat melihatku, seulas senyum mengembang di bibirnya.
          “Hmmm…pelukannya udahan sayang?”
          Pippy mengangguk, dan aku melepas pelukanku, dia turun dari pangkuanku dan berlari kea rah teman-temannya yang bermain tali.
          “Hey” Yoga menyapaku, dan duduk di sampingku.
          “Hey” aku membalasnya dan memberinya sebuah senyuman
          “Apa kabar?” dia bertanya, entah terlalu formal, atau memang karena kecanggungan
          “Baik, kamu?”
          “Kemarin, kenapa pergi begitu saja?” aku tak percaya, ternyata dia langsung bertanya, kuharap dia melupakannya.
          Aku diam tak tau harus menjawab apa.
          “Alia, senang bertemu lagi denganmu” Katanya lagi, dia menatapku, tatapannya membuatku malu, aku tak ingin dia melihatku seperti ini, tapi ternyata aku tak bisa menghindari.
          “Kamu dan Andina…?”hey apa yang kutanyakan? Mengapa pertanyaan yang begitu bodoh keluar begitu saja dari bibirku. “Hmmmm…. Kalian terlihat sempurna” sekarang kata-kataku benar-benar salah total.
          “Forget it!” Dia seperti tak suka membahasnya ”I miss you, udah lama pengen ketemu kamu” tiba-tiba saja dia mengatakannya,
Aku tersenyum, tak tau harus berkata apa.
“Hey aku bukan Alia yang lama” aku mencoba tertawa tapi yang bisa bibirku bentuk hanyalah sebuah senyumanku yang biasa “Nggak ada lagi Alia yang seksi kayak dulu lagi, aku si badut gendut” semoga hal itu terdengar seperti lelucon, bukan seperti pengakuan penuh penyesalan.
Dia tersenyum dan menatap dalam ke arahku, aku benar-benar merasa malu, apalagi saat dia menggengam tanganku dan berkata “You know, the sexiest curve on your body is…your smile”. Saat dia mengatakannya aku tak lagi memikirkan berat dan ukuran tubuhku, tapi aku hanya memilih untuk percaya padanya dan memberikannya sebuah senyuman.
:::The End:::

Gambar : Google 

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Evo Sastra
Designed by Evo Sastra
..
Back to top