Jangan Mengolok-olok Pacar Saya!

"Berusaha MENERIMA, berusaha MELENGKAPI. Itulah CINTA."
     
                Aku membiarkan tubuhku basah oleh hujan senja. Berlari-lari kecil sambil tertawa riang menuju rumahku. Dengan langkah santai aku memasuki rumah, kembali kubiarkan kepalaku menoleh ke belakang, pemandangan sederhana yang keindahnnya relatif dimata banyak orang. "Hanya orang-orang tertentu yang bisa mendengar nyanyian rindu yang dimainkan begitu saja oleh hujan." Ucapku lirih dalam hati.
                Di ambang pintu kulihat si Mbok dengan wajahnya yang terlihat cemas. Rambutku yang basah kukibaskan dengan tanganku yang mulai berkerut kedinginan. Sambil berputar-putar layaknya bocah yang kegirangan saat bermain hujan, aku pun juga menengadahkan tangan, merasakan butir-butir lembut hujan menyentuh telapak tanganku dengan manjanya. Si Mbok berlari ke arahku sambil meneduhkanku dengan payung yang dibawanya, beliau menarik paksa tanganku agar segera memasuki rumah.
                Dengan gerak-geriknya yang tergesa-gesa, beliau membawakanku handuk, "Pulang sama siapa to, Cah Ayu?" Tanyanya sambil mengeringkan rambutku dengan handuk.
                "Sama mas Gian." Jawabku seadanya.
                "Naik motor lagi to?"
                "Iya, Mbok."
                "Halah-halah, Mas Rudi enggak jemput kamu yo, Nduk?"
                "Jemput tadi di kampus, tapi kusuruh pulang aja, kasihan istrinya lagi sakit."
                "Haduh, Nduk. Nanti Mbok dimarahin papa kalau kamu masih pulang naik motor sama mas Gian ituloh."
                "Haaaaa ora usah bilang-bilang papa lah, Mbok. Gitu aja kok repot to yo?"
                "Ya sudah, ya sudah. Kamu mandi terus minum teh hangat sama sup ya, mbok yang buatin."
                "Iya, Mbok. Makasih ya." Jawabku perlahan dibalut kedinginan
                Sambil memegangi handuk, aku masih sibuk mengeringkan rambutku. Kuperhatikan sekeliling rumah, konsep minimalis dengan cat berwarna putih lembut. Di depan tempatku duduk, ada TV plasma yang ramping beserta pemutar DVD yang sering kugunakan untuk menonton DVD, sendirian. Lalu, berdampingan dengan pemutar DVD, ada portable karaoke, biasa kugunakan untuk mengisi waktu senggang, menyanyi hingga bosan, sendirian. Aku mengangkat kepalaku sedikit, ada foto keluarga yang tertempel di dinding. Foto aku, mama, dan papa dengan senyum bahagia, dengan senyum yang terlihat sempurna. Dengan pikiran yang memecah ke berbagai masalah, aku menghela nafas, “Apa semua foto keluarga menyelipkan kebohongan diantara senyum bisu yang mereka perlihatkan? Kenyataannya, keluargaku tidak sebahagia foto keluarga yang menempel manis di dinding itu." Ucapku lirih dalam hati, meninggalkan ruang TV.
***
                “Maaf, aku enggak bisa nganterin kamu pakai mobil mewah seperti mobil yang biasa dikendarai supirmu itu.” Ujar Mas Gian dari ujung telephone, dengan nada penyesalan.
                “Enggak apa-apa, Mas. Lagian istrinya Mas Rudi lagi sakit, masa sih dia malah kerja? Kusuruh pulang aja, enggak usah kerja dulu hari ini.” Ucapku dengan nada menghibur, Mas Gian diam sejenak.
                “Kamu enggak malu naik motor sama aku?” Tanya Mas Gian.
                “Kenapa harus malu, Mas?” Tanyaku balik.
                “Malu dilihat temen-temenmu itu loh. Terus di jalan juga kena polusi, panas, kalau kehujanan ya kehujanan sekalian. Kamu suka ketidaknyamanan seperti itu?”
                “Aku enggak pernah malu karena memiliki kamu, maka aku juga enggak akan pernah malu untuk menghabiskan waktu bersama kamu. Sekalipun hujan-hujanan naik motor, sekalipun harus kena asap kendaraan motor, yang penting sama kamu, asal sama kamu.” Ceplosku mendiamkan Mas Gian beberapa detik.
                “Maaf untuk segala ketidaknormalan yang aku berikan sama kamu. Maaf untuk setiap keabnormalan yang terjadi selama ini. Aku sulit menjadi pria biasa pada umumnya.”
                “Makanya itu aku mencintaimu, karena kauberbeda. Menjadi luar biasa itu baik, Mas. Yang tidak menarik adalah menjadi biasa-biasa saja dan menjadi normal-normal saja.”
                “Aku menyesal. Kenapa toh aku tidak bisa mengimbangi kamu?”
                “Pacaran itu soal saling melengkapi, Mas. Bukan soal harus sama tinggi, sama rendah, atau sama seimbang dengan kekasihnya.”
                “Kamu tahu? Walaupun aku tidak pernah terlihat seimbang denganmu, walaupun di luar sana mereka menganggap kita seperti Beauty and The Beast, dan walaupun semua berjalan dengan abnormal, tetapi mengapa aku masih bertahan untuk mencintaimu?”
                “Kenapa, Mas?”
                “Karena kamu tetap terlihat luar biasa dengan jiwamu yang sederhana. Kalau istilah quote-quote di Twitter sih ya seperti ini: yang tajir itu banyak, tapi yang tajir tapi tetap bersikap sederhana ya jarang. Salah satu orang seperti itu ya kamu.”
                “Aku seperti itu karena memang aku tidak berhak untuk menyombongkan diri, Mas. Hasil keringat orangtua berupa materi sama sekali tidak pantas disombongkan oleh anaknya,” Ucapku mengalun merdu dengan nafasnya yang terdengar di telephone. “Aku suka setiap kamu mengisi kekosonganku ketika orangtuaku sibuk mengisi kekosongan mereka sendiri. Aku punya kamu, makanya aku enggak kesepian. Aku mau kita terus seperti ini, Mas.” Jelasku lirih.
                “Aku juga, Cah Ayu.” Responnya membuatku tersenyum sambil memeluk bantal. Aku mencintai dia. Dia yang secara status sosial, fisik, dan strata sosial berbeda jauh denganku.
***
                Aku berjalan dengan santai memasuki Fakultas Psikologi, melihat pohon-pohon rindang yang mulai meranggas pada musim kemarau, menikmati semilir angin yang nakal menggelitik kulitku. Tiba-tiba di ujung koridor, aku melihat kerumunan orang, aku mendekati kerumunan tersebut.             
                “Dira itu istimewa dan wanita sepertimu tidak pantas mengganggu hidupnya!” Cetus Mas Gian. Aku masih bingung dengan apa yang kulihat dan kudengar saat itu.
                Beberapa detik kemudian, Amora menyibukkan matanya untuk celingak-celinguk kanan kiri, entah siapa dan apa yang dia cari, sesaat setelah itu Amora menarik paksa tanganku. “Oh, cewek ini toh yang elo sebut istimewa? Kalau dia istimewa enggak mungkin papa mamanya ninggalin dia setiap hari cuma buat ngurus bisnis mereka. Kalau dia istimewa, dia enggak mungkin jadian sama cowo idiot kayak elo. Yang tingginya 196 sentimeter, elo orang atau tiang listrik? Yang matanya minus 10, dan yang cuma punya motor butut kayak elo! Dira tolol yang sok lugu ini cuma manfaatin lo, elo enggak tahu kan di luar sana pacarnya segudang? Gue yang istimewa, Gi. Gue yang pantes dapetin lo. Cuma gue yang sayang tulus sama lo, Gian. Tanpa melihat kekurangan lo! Cuma gue, Gi!” Bentak Amora tanpa merasa malu dilihat oleh banyak orang kala itu.
                Emosiku terbakar dalam hitungan detik, nafasku tak teratur, dan detak jantungku mulai beradu dengan otakku yang mulai panas. “Eh, Jalang! Kalau elo sayang sama Gian, elo enggak bakal ngata-ngatain dia idiot! Elo juga enggak bakal ngata-ngatain kendaraan yang dia punya! Elo enggak bakal menjelek-jelekan keabnormalan yang dia punya. Gue tahu dia berbeda dari pria-pria lainnya, tapi gue berusaha menerima, gue berusaha melengkapi dia. Itu yang namanya cinta. Tanpa elo pun, hidup gue udah berantakan! Orangtua gue yang enggak pernah perhatian sama gue, kekosongan gue ketika gue kangen sama mereka, dan kehidupan keluarga gue yang terlihat harmonis di luar tapi bobrok di dalam, puas lo, Jalang?! Tapi, setelah ada Gian, gue bisa kok mengisi kekosongan gue dengan kehadiran dia. Dan, kalau lo mau ngerebut dia dari gue, silet-silet dulu nih urat nadi gue! Dia mutlak punya gue! Jangan mengolok-olok pacar saya! Dia milik saya! Dia pilihan saya!” Panjang lebar mulutku hampir berbusa. Kuhempaskan tangan Amora, menarik tangan Mas Gian menuju kelas. Meninggalkan Amora yang mematung di ujung koridor.
                “Mas, kita seperti pemenang dalam perang.” Aku berusaha meredakan amarahku, menatap dalam-dalam bola mata Mas Gian. Dia tersenyum. Dia mengerlingkan matanya. Indah sekali.
***
                Rasanya, ingin sekali tertawa mengingat peristiwa 3 tahun lalu itu. Membela seseorang yang kaucintai memang adalah ciri-ciri orang  yang pemberani.               
                Sambil memegangi keyboard laptop, aku masih saja sibuk mengingat-ingat kejadian yang harus kutulis. Kuperhatikan sekeliling rumah, konsep minimalis dengan cat berwarna putih lembut. Di depan tempatku duduk, ada TV plasma yang ramping beserta pemutar DVD yang sering kugunakan untuk menonton DVD, bersama dengan orang-orang yang kucintai. Lalu, berdampingan dengan pemutar DVD, ada portable karaoke, biasa kugunakan untuk mengisi waktu senggang, menyanyi hingga bosan, bersama dengan orang-orang yang kucintai. Aku mengangkat kepalaku sedikit, ada foto keluarga yang tertempel di dinding. Foto aku, Mas Gian, mama, papa, dan anakku: Gani. Dengan senyum bahagia, dengan senyum yang terlihat sempurna. Dengan pikiran yang memecah ke berbagai masalah, aku menghela nafas, “Inilah foto keluarga yang benar-benar keluarga. Senyum yang benar-benar nyata, kebahagiaan yang benar-benar ada.” Ucapku lirih dalam hati.
                Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti bahagia berarti perasaan suka cita yang biasanya diiringi dengan senyuman. Tapi, bagiku bahagia adalah aku, Mas Gian, dan anakku Gani. Se-simple itu dan sesederhana itu.

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Evo Sastra
Designed by Evo Sastra
..
Back to top