Azan Subuh di Masjidmu dan Dentang Bel di Gerejaku

Azan subuh yang terdengar di telingaku kali ini mengiringi tulisanku. Keputusanmu beberapa jam tadi belum bisa kuterima sepenuh hati. Kata putus yang dengan mudahnya kamu tuliskan dalam pesan singkat seakan-akan membuat aku berpikir bahwa selama ini aku tak pernah terlihat penting di matamu, terlihat berharga pun juga rasanya hanya mimpi belaka. Aku tidak bisa terlelap, memikirkan dan bertanya-tanya apa kesalahanku selama ini. Rasanya kemarin kita baik-baik saja, kamu masih menyapaku, menghubungiku, berkata sayang seperti biasanya. Dan, kata putus itu terlalu ajaib menyentil kelopak mataku, hingga deras air yang jatuh berderai-derai itu tak lagi mampu aku antisipasi.

Kamu tahu? Saat membaca pesan singkat itu, aku baru saja pulang dari pertemuan yang habis menguras tenaga dan pikiranku. Dalam pertemuan itu, aku mati-matian berdebat mengenai tulisan dan ide pokok untuk novelku berikutnya. Aku pulang, terluntang-lantung, kehujanan melawan banjir Jakarta, dan segera menaiki taksi agar bisa meraih rumah secepat mungkin; untuk memberi kabar terbaik ini padamu. Namun, apa yang kudapatkan? Kata putus tanpa penjelasan, kata pisah tanpa persetujuan, dan aku tak perlu berpanjang lebar untuk menjelaskan perasaanku kala itu. Aku remuk.

Sampai saat menulis ini, aku masih mencari-cari kesalahanku sendiri, dan bertanya-tanya pada diriku; sesungguhnya apa yang terjadi? Aku bahkan tak tahu di mana kesalahanku, kamu hanya bilang ingin mengakhiri semua, tidak kuat dengan sikapku, ingin mencari yang lain, dan pergi tanpa mengucap kata pisah. Aku yang tak ingin memperparah keadaan hanya bisa bilang maaf, lebih perih lagi ketika panggilan telepon dariku tak kaugubris sementara kamu sibuk dengan akun Twitter-mu. Entahlah, aku tak tahu pria macam apa yang kucintai hingga saat ini, pria sebodoh apa yang mudah meninggalkanku tanpa penjelasan dan alasan?

Kalau kaubilang semua karena salib di kalungku dan tasbih di tanganmu, rasanya itu lagu lama. Kita bisa akhiri semua bahkan saat pertama kali kita berkenalan. Kalau kaubilang aku terlalu sibuk dengan duniaku, berarti kamu memang adalah pria posesif yang ingin semua perintahnya diutamakan bagai Hukum Taurat. Kalau semua ini terjadi karena sikapku (yang katamu) terlalu kekanak-kanakan, maka bolehkah aku menuntut sikapmu agar tak lagi egois, kerasa kepala, membentakku dengan kasar, memakiku dengan mudah, dan mengintimidasiku dengan pertanyaan-pertanyaan seakan akulah yang membuat hubungan kita bermasalah?

Mas, oke, aku tahu, aku sangat tahu perbedaan umur, kota, pekerjaan, dan semua hal yang tak sama itu kadang membuat kita berpikir dua kali. Tapi, tolong, Mas, tolong sekali saja kamu hargai perempuan yang habis air matanya untukmu, yang pikirannya selalu terisi olehmu, yang bahkan dalam kesibukannya masih ingin mengabarimu. Mas, lihatlah siapa yang masih tegar berdiri di sampingmu saat kamu kelelahan menghadapi dunia? Tengoklah sedikit ke arah perempuan yang bersedia jadi tong sampah tempat kamu meluapkan semua amarahmu meskipun dia tak melakukan kesalahan. Aku, yang selama ini duduk di sampingmu, memeluk erat bahumu, ternyata hanya bayangan yang abu-abu di pandanganmu.

Kesia-siaan ini harusnya kusadari sejak awal. Harusnya sinyal itu kuartikan dengan sangat jeli. Aku tahu kamu hanya menganggapku persinggahan, aku sangat tahu bahwa saat kamu menatapku, menggenggam tanganku, mencium keningku.... ah! Harusnya aku tahu itu bukan cinta, harusnya aku paham bukan aku yang selama ini kaucintai setengah mati. Harusnya aku tak perlu bermimpi terlalu jauh. Sekarang, kamu tentu sudah bisa tidur nyenyak, sementara aku sekarang masih menangis dengan mata bengkak-bengkak.

Tulisan sialan, air mataku meleleh sekali lagi. Hujan di luar masih turun dan aku yang kedinginan namun enggan menghangatkan diri di bawah selimut ini rasanya ingin terus kedinginan, hipotermia, mati, lalu hilang ingatan. Menghilangkan semua kenangan yang pernah kita lalui bersama, jadi saat aku terbangun lagi, aku tak perlu ingat namamu, pekerjaanmu, pertemuan pertama kita, pertama kali kamu bilang cinta, lagu kesukaanmu, aroma tubuhmu, rambutmu, kumismu, matamu, hidungmu, wajahmu, jenjang lehermu, dengung sepeda motormu, hujan di kepala kita berdua, jalan yang pernah kita lewati, udara Jogja, dan tempat pertama kali kita menghabiskan bakmi jawa. Aku benci harus mengingat semua tentangmu karena hal-hal tolol itu selalu membawaku ke masa yang sangat ingin aku ulang, ke hari-hari saat kita masih baik-baik saja, ke masa lalu yang semua kini hanya bayang semu.

Mas, sambil menunggu dentang bel gereja, aku mencoba menulis ini untuk melegakan perasaan. Saat pagi nanti, seperti biasa aku akan bercerita panjang lebar pada pastor dan pasti beliau tertawa karena lagi-lagi aku jatuh cinta dengan orang yang tempat ibadahnya berbeda. Tawa pastor itu setidaknya bisa sedikit memberiku harapan, bahwa aku masih punya alasan untuk melanjutkan hidup.... walau tanpa kamu.

dari mantan kekasihmu
yang katamu selalu penuh cemburu,
yang selalu jadi bahan ejekan temanmu,
namun selama ini kautak tahu
dia rela berdarah-darah; hanya untukmu.

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Evo Sastra
Designed by Evo Sastra
..
Back to top