Aku sedang asik memandangi setiap aksara yang tertulis di depan layar laptop-ku. Kubaca setiap kata-kata magis di sana. Perempuan yang satu ini terlalu kesepian, kurasa. Ia banyak menangis, mengeluh, dan mengasihani dirinya sendiri. Sesekali, aku dibuat tertawa dan meringis karena membaca setiap kalimat yang tertulis di akun Twitter-nya.
Memerhatikan akun Twitter-nya bukanlah suatu kebiasaan bagiku. Kegalauan dan tulisan sampahnya hanya kujadikan bahan tertawaan yang bagiku sangat lucu. Sebuah penghiburan melihat tulisan-tulisan yang begitu ekspresif dan kekanak-kanakan. Tulisan busuknya hanya kujadikan candaan, mengundang kelucuan tersendiri bagiku.
Tak heran, jika saat tak ada kerjaan seperti ini, aku kembali membaca setiap kegalauan yang tertulis di akun Twitter-nya. Kutertawakan sekali lagi, tawa yang entah mengapa begitu lepas. Sungguh, aku benci wanita sialan ini. Ia memposisikan dirinya di sudut paling bawah, seakan pria adalah satu-satunya mahluk Tuhan yang paling berhasil menyakitinya. Ditambah lagi, mention-nya yang menjijikan. Ia menyapa setiap pria layaknya kekasih yang kesepian dan haus perhatian. Mengapa Tuhan menciptakan makluk mahalucu seperti wanita ini?
Demi Tuhan! Aku tak akan jatuh cinta dengan wanita yang meletakkan hatinya pada banyak pria, bermesra-mesraan layaknya cumbuan adalah hal murah yang bisa diobral.
Suasana kantin kali ini tak begitu ramai. Malam-malam dengan hujan deras seperti ini memang tak mengundang banyak orang datang. Beberapa jam yang lalu, langit sudah memberi pertanda bahwa ia akan menangis, mendung sudah begitu tebal. Melihat cuaca yang buruk, banyak mahasiswa yang mengurungkan niat untuk berbincang lama di kantin.
“Ngapain lo?” Joni menepuk bahuku dengan kasar, “Serius banget, liatin apa?”
Aku tertawa geli dan menyodorkan layar laptopku agar juga dilirik olehnya. Joni, yang tak tahu-menahu langsung menyediakan pandangan ke laptop-ku, membaca setiap tulisan yang ada di sana. Beberapa menit, Joni sibuk membaca dan aku menunggu reaksinya, “Lucu, ya? Temen jurusan kita, nih.”
“Apanya yang lucu?” Dahi Joni berkerut, “Dia memaparkan fakta yang terjadi sekarang, perasaan wanita zaman sekarang, masa lucu?”
“Lucu, aja. Berlebihan, sih, kalau menurut gue.”
“Berlebihan gimana? Lo emang dasarnya nggak punya perasaan!” tanggap Joni dengan tawa yang lepas, seakan ia mengenalku dengan sangat dalam.
“Nggak punya perasaan gimana maksud lo?”
“Ya, pokoknya, lo nggak punya perasaan. Itu cewek mau ngasih tahu gimana perasaan dia lewat tulisannya dia, masa hal kayak gitu lo ketawain? Masa rasa sakit hatinya lo ketawain? Nggak punya perasaan lo!”
“Bukan cuma itu yang gue ketawain, ini cewe juga sering mention-an dengan nada-nada mesra pada banyak orang. Menjijikan!”
“Hidupnya dia, sih. Kalau lo nggak suka, ya, tinggalin aja. Lo nggak dipaksa buat suka sama tindakan dia kan?”
“Dih, Jon, otak lo sekarang udah kayak otak cewe! Bawaannya galau mulu! Ngeluh mulu!”
“Bro, harusnya sebelum lo ngomong gitu, lo kudu kenal dulu tuh cewe, apa lo tahu gimana kehidupan dia yang sesungguhnya?”
Aku menggeleng, tapi dalam hati aku menyetujui kalimat yang ia utarakan.
“Biarin ajalah dia mau berbuat apa, selama dia nggak bikin hidup lo ribet, ya, nggak perlu diurusin juga!”
Tiba-tiba, aku tertawa lepas. Menertawakan diriku sendiri.
Aku memutuskan meninggalkan sikap wanita penggalau itu, kututup layar laptop-ku, lalu aku berbincang dengan Joni. Memperbincangkan banyak hal dari soal tugas kuliah sampai soal politik. Ketika kulihat hujan berubah jadi gerimis dan cukup bersahabat untuk pulang menggunakan sepeda motor, aku pamit diri meninggalkan Joni. Langkahku ringan menuju tempat parkir sepeda motor dan kulajukan sepeda motorku di tengah gerimis yang tiba-tiba menderas dan berubah jadi hujan lebat. Aku mengarahkan sepeda motorku untuk menepi.
Hanya ada aku dan seseorang di depan toko tua yang sudah lama tutup. Mungkin, karena di sini terlalu gelap, tak banyak sepeda motor yang memilih menepi. Toko yang terasnya terlalu sempit itu menyebabkan aku dan orang di sampingku tak berjarak terlalu jauh. Aku tak menengok sedikit pun ke arah sosok itu. Aku terlalu sibuk mengutuk hujan dan meminta pada Tuhan agar hujan berhenti turun. Ini sudah terlalu malam.
Entah atas daya apa, sebuah sentuhan kecil terasa di lenganku, aku sontak menoleh. Dan, sosok itu, dengan siluet wajahnya yang begitu tegas di bagian rahang dan dagu, gelap dan temaram, seakan tersenyum ke arahku. Tatapan matanya tipis-tipis terlihat karena masih ada sisa-sisa cahaya yang menampaknya bola matanya.
“Eh, baru sadar, kita sejurusan di fakultas kan?” bisik wanita itu, yang baru kali ini suaranya kudengar dengan jelas. Ternyata, suaranya menenangkan dan cukup meneduhkan.
“Iya, sejurusan.” Jawabku singkat, tak ingin terlibat percakapan terlalu jauh.
“Kamu, kok, berteduh di sini? Kosan kamu juga di daerah sini?”
Sialan! Wanita itu.... aku berusaha menjauhi segala percakapan dengannya, dia malah mengajakku terus bicara. Tidak tahukah dia bahwa aku begitu jijik mengenal dan berbicara dengan wanita penggalau yang sok laku seperti dia?
Sebisa mungkin, aku menjawab dengan singkat, agar tak ada celah untuk ia kembali bertanya, “Iya, di dekat sini. Gue nggak ngekos, gue ngontrak rumah, lebih murah daripada kosan.”
“Oh, lebih murah, ya? Rumah kontrakan di sana masih ada yang kosong nggak?”
“Kayaknya ada.”
“Mungkin, aku bisa pindah ke sana. Kebetulan kosan yang aku tinggali saat ini mau naik lagi harganya.”
Aku membelalakan mata, sepertinya aku salah bicara. Ingin rasanya aku meninggalkan wanita sialan itu sendirian dan segera melajukan sepada motorku dengan cepat. Aku berharap tak akan lagi bertemu dengannya. Ah, tapi aku tertawa dalam hati, aku baru tahu, ternyata wanita yang selalu kutertawai karena sikap galaunya; punya suara yang manis dan menenangkan.
Aku tak menanggapi pernyataannya yang terakhir. Ketika kulihat hujan tiba-tiba gerimis lagi, dan mereda lagi, aku bersiap-siap kembali melajukan sepeda motor. Tubuhku sudah ada di atas sepada motor dan wanita itu hanya memandangku dengan tatapan entah—aku tak bisa mengartikan tatapan itu. Suatu kekuatan seperti mendorong bibirku, kata-kata yang sebenarnya tak ingin kukatakan malah meluncur dengan mudah, “Mau gue anterin pulang ke kosan lo?”
Tanpa pikir panjang, dengan suaranya yang teduh dan penuh bumbu manja, ia menjawab cepat. Ia segera menaiki sepeda motorku dan kami membelah jalanan malam dalam keadaan gerimis tipis. Kurasakan dalam keheningan kami berdua, jemarinya menyentuh pinggangku. Dan, kini, seluruh lengannya melingkar di dekat perutku.
Ada kehangatan yang berdesir. Aku seperti merindukan masa lalu. Setahun yang lalu, saat mantan kekasihku memelukku sehangat ini.
Wanita ini.... sialan! Dia sangat lancang.
Namun, mengapa aku tak melawan dan berusaha untuk melepaskan?
***
Ketukan pintu pada pagi hari selalu mengagetkanku. Dengan senyumnya yang entah mengapa terlihat ajaib, ia membawakan sepotong roti dan segelas coklat panas. Sekarang, senyumnya kusantap bagai sarapan. Minggu-minggu ini, ada sesuatu yang baru, hal sederhana yang menyentil aktivitas sehari-hariku.
“Akhir-akhir ini kamu terlihat tampak lebih segar.” Nina tersenyum sambil menepuk bahuku.
Nina? Hey, aku belum mengenalkan nama wanita ini padamu. Nina itu si wanita penggalau yang selalu kutertawai isi tweet-nya, si wanita yang selalu bermesraan dengan banyak pria di media sosial. Wanita yang begitu jijik kusebut namanya, kudekati sosoknya, dan kudengar suaranya.
Disapa seperti itu, aku hanya membalas dengan senyum dingin, “Hanya perkiraan kamu aja kali.”
“Kita kelas jam berapa, ya? Siang, ya? Jam dua kan?”
Aku mengangguk singkat.
Sikapku sengaja kubikin kaku dan dingin karena aku begitu tahu bagaimana gelagat wanita ini. Selain wanita penggalau, ia tentu saja membagi hatinya untuk banyak pria. Caranya bermesraan dengan banyak pria di dunia maya layaknya ia adalah wanita paling terlatih untuk mencumbu dan menyembulkan rindu. Aku sungguh tahu, wanita seperti dia adalah penggoda yang akan pergi ketika tahu pria yang sempat ia sukai tak sehebat yang ia ketahui.
“Dua minggu di rumah kontrakan ini, rasanya aku mulai akrab pada banyak orang. Termasuk sama kamu.”
Aku terbatuk di sela-sela saat aku meminum coklat panas buatannya.
“Kenapa? Nggak enak? Nggak biasanya kamu batuk.” Ia tertawa sebentar, kemudian dahinya berkerut, ia menepuk bahuku dan membasuh bibirku dengan tissue miliknya.
Ada apa, sih, dengan wanita ini? Mengapa ia begitu baik meskipun sikapku sudah begitu kaku dan dingin padanya? Aku bertanya-tanya dalam hati, bahkan aku tak bisa melawan ketika ia menyentuh tubuhku dengan jemarinya yang hangat dan berbeda. Aku juga salah tingkah, ketika ia tertawa karena ulahku.
Mengapa wanita ini tak sesialan yang kukira?
Aku sudah cerita soal ini? Sekarang, aku juga tak tahu mengapa perbincanganku dengan Nina seringkali menggunakan panggilan ‘aku’ dan ‘kamu’. Panggilan yang harusnya ditunjukan hanya untuk dua orang yang punya kedekatan. Mengetahui kenyataan ini, aku juga jijik. Ditambah lagi panggilan itu kutunjukkan untuk Nina, wanita penggalau yang mudah bermesraan dengan banyak pria di dunia maya.
Setelah tinggal di samping rumah kontrakan yang kutinggali, Nina mengubah banyak hal. Ia mewarnai waktu sarapanku setiap hari dan mengubah waktu malamku dengan percakapan-percakapan singkat ditemani teh serta angin malam.
Nina mengubah banyak hal. Aku tak tahu, Nina yang satu ini apakah adalah sosok yang sama, sosok yang dulu begitu jijik untuk kudekati dan kuketahui jalan hidupnya.
Nina kini menjelma jadi apapun di kepalaku. Jadi lugu. Jadi malu. Jadi candu. Jadi rindu.
***
Rumah kontrakan kami mati lampu. Sambil membawa lilin, Nina mengetuk pintu kontrakanku dan meminta untuk ditemani. Hujan turun deras sekali dan aku tak tahu sejak kapan Nina bersandar di bahuku dan ia merancau tanpa pernah aku meminta ia bicara banyak.
“Kadang, aku berpikir, mengapa hujan sederas ini, dengan petir semenyeramkan ini, jadi tak menakutkan ketika kita berada di samping seseorang?”
“Yang kamu takutkan bukan hujan dan petir, tapi kesepian yang kamu rasakan ketika terjadi hujan dan petir.”
Nina menatapku dengan matanya yang teduh. Ia tersenyum singkat dan kembali meletakkan kepalanya di bahuku. Cahaya lilin yang bergoyang sesekali menambah kesan menyenangkan di dadaku. Tetiba dadaku jadi begitu hangat dan banyak petasan yang meledak-ledak. Sikapku yang kaku entah mengapa begitu sulit kutunjukkan di depan Nina. Aku bahkan mulai berani menyentuh rambutnya.
“Tapi, sekarang aku udah nggak takut lagi, kok.” Dengan nada manja yang hampir kuhapal, Nina mencoba untuk kembali memberi tanggapan.
“Kenapa nggak takut lagi?” nada penasaran tak mampu lagi disembunyikan dari caraku berucap.
“Sudah ada kamu.”
Aku tertawa geli. Nina yang mendengar suara tawaku malah memukul lenganku. “Apa yang lucu?”
“Terlalu cepat menganggap kehadiranku akan menghapus ketakutan kamu Nina.” Aku terbatuk-batuk dalam tawaku yang menderas, “Lagipula, aku nggak akan sudi dengan wanita penggalau yang mudah bermesraan dengan banyak pria di dunia maya.”
Mendengar pernyataanku yang bahkan aku tak tahu pernyataan itu bisa melukai perasaannya, Nina terbangun dan tak lagi rebah di bahuku.
“Kamu berpikiran seperti itu?”
Aku mengangguk ragu.
“Kenapa?”
“Aku sudah kenal betul wanita seperti kamu. Yang akan meninggalkan orang yang mencintainya dengan begitu mudah, lalu kemudian mendapatkan pengganti dengan begitu cepat. Aku tahu orang sepertimu, Nina! Semua tingkahmu tercermin dalam setiap tulisanmu di dunia maya.”
Nina terdiam dan pipinya menjatuhkan bulir-bulir halus. Air matanya mengalir. Menderas bagai hujan di luar.
“Nggak semua yang kamu lihat di dunia maya sama seperti di dunia nyata. Aku bukan sibuk bermesraan dengan banyak pria, aku hanya mencari sosok yang bagiku cocok untukku.”
“Oh, ya? Tapi, harusnya kautak perlu memanggil banyak pria dengan panggilan ‘sayang’ kan?”
Tangis Nina tiba-tiba diwarnai tawa yang meledak, ia mendekatkan wajahnya, “Jadi, selama ini kamu memerhatikanku?”
Aku menggeleng dengan keras. Berusaha agar aku tak tertangkap basah.
“Aku cuma kesepian dan mencari pelarian. Jauh di dalam lubuk hatiku, aku juga ingin punya seseorang. Aku lelah meloncat dari satu hubungan ke hubungan lain.”
“Kalau begitu, mulai sekarang, berhentilah meloncat dari satu hubungan ke hubungan lain.”
“Lantas, aku harus berbuat apa?”
Sebelum menjawab pertanyaannya, aku mengundang dia kembali rebah di bahuku, “Meloncatlah sekali lagi, tapi berjanjilah, loncatan kali ini adalah perpindahanmu yang terakhir.”
“Lalu, harus kuarahkan ke mana loncatanku yang terakhir ini?”
“Kamu itu bego beneran atau pura-pura bego?”
Nina mengedipkan matanya, bingung dengan pertanyaanku yang terdengar sarkastik.
“Arahmu sekarang cukup mengarah padaku. Habis ini, kautak perlu membuat dirimu lelah dengan berjalan ke arah yang lain. Bisa?”
Tanpa banyak jawaban. Nina hanya mengecup keningku. Itu sudah cukup jadi jawaban bagiku. Dan, akhirnya, kupatahkan janji yang telah kuucapkan pada Tuhan. Dulu, aku bersumpah tidak akan pernah mencintai Nina. Tapi ternyata....
“Aku mencintaimu. Aku sudah terbiasa sama kamu. Jadi, jangan pergi.”
0 comments