Aku memeluknya rapat sekali. Tak sejengkal pun tubuh kami menjauh. Embusan napasnya terdengar hangat di telingaku, menelusup masuk ke dalam dadaku. Ia menerima pelukanku dengan ikhlas, tak bergerak banyak, hanya diam. Pejaman matanya sesekali terbuka, memandangku dengan tatapan lembut dan teduh. Mata itulah yang berkali-kali menghipnotisku, setiap kali aku memandanginya. Tatapan yang tak jemu-jemu kunikmati, sebelum waktu memisahkan kita nanti.
"Dingin." desahnya pelan.
Aku beraksi, kueratkan pelukanku. "Masih dingin?"
"Tidak. Terima kasih."
Senyumnya selalu begitu. Senyum yang lebih manis, dan semakin manis jika kupandangi terus-menerus. Jemariku menyentuh rambutnya yang hitam, dan semakin hitam karena pemandangan di luar jalan juga menggelap.
Aku mengintip ke luar jendela, lampu jalanan yang terlihat remang-remang tak membantuku mengetahui keberadaanku saat ini. "Masih lamakah kita sampai?"
"Sebentar lagi, sudah tiga jam bus ini melaju."
"Cepat sekali rasanya, apa karena malam ini kulewati bersamamu?"
Ia tertawa kecil, mendekatkan bibirnya ke bibirku, lalu sekejap; jantungku berdegup kencang. Ia menciumiku, dan aku hanya bisa diam. Sungguh, aku merasa bodoh dan seperti anak kecil. Padahal, bukan ciuman pertama, tapi gerakan bibirnya sungguh berbeda dari bibir siapapun yang pernah kucium. Aku mengedip-ngedipkan mata, telapak tangannya menutupi mataku... dia kembali mengecupku.
Menit-menit yang berlalu dengan sangat manis, sungguh tak ingin kutukar dengan kebahagiaan lain yang mungkin lebih menjanjikan. Dia, yang begitu sederhana, benar-benar menjadikanku sempurna. Sempurna sebagai pria. Sempurna sebagai manusia.
Aku membiarkan puluhan pesan singkat menggetarkan handphoneku. Kubiarkan juga puluhan panggilan yang menganggu. Aku masih menikmati bibirnya menjalari bibirku. Tak peduli pada bus aerolineyang perlahan-lahan merayap meninggalkan Singapore.
***
Manusia tak pernah merencanakan pertemuan, karena itu tugas Tuhan. Manusia hanya tahu menerima, menjalani, lalu memaknai yang telah terjadi. Menganggap segalanya hanya kebetulan sebagai alasan untuk mengakhiri yang terlarang.
Saat ia menggenggam tanganku, meliak-liuk di antara kedai makanan khas Arab; aku tak mampu lagi mengelak. Aku mencintainya, meskipun pertemuan kami baru terjadi dua hari ini. Aku dan dia bisa begitu dekat dalam waktu singkat, entah karena alasan apa, tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya, bisa dibilang jatuh cinta, alasan absurd.
Neza, wanita yang mengenggam tanganku kali ini bukan wanita murahan, mungkin apa yang ia rasakan sama dengan yang aku rasakan, aku dan dia sama-sama tak mampu menolak. Walaupun kami belum saling tahu latar belakang, kami hanya tahu status. Aku membayarnya untuk toursingkat ini, dia pemandu wisata, harusnya. Tapi, ternyata, semua bergerak melebihi yang kuduga, ia lebih dari seorang pemandu wisata.
Neza, wanita yang mengenggam tanganku kali ini bukan wanita murahan, mungkin apa yang ia rasakan sama dengan yang aku rasakan, aku dan dia sama-sama tak mampu menolak. Walaupun kami belum saling tahu latar belakang, kami hanya tahu status. Aku membayarnya untuk toursingkat ini, dia pemandu wisata, harusnya. Tapi, ternyata, semua bergerak melebihi yang kuduga, ia lebih dari seorang pemandu wisata.
"Capek?"
Aku mengangguk.
"Mau pulang ke hotel atau kita jalan-jalan ke Putrajaya saja? Sekadar melihat-lihat pusat pemerintahan Malaysia."
"Pulang ke hotel sajalah."
"Lho, kenapa?"
"Aku ingin lebih lama memelukmu."
"Halah, gombal!"
"Sebelum waktu benar-benar memisahkan kita, Neza."
"Tidak ada kata pisah, perpisahan antara kita hanya sementara kan?"
Aku mengangguk berat, aku tak mampu berjanji, takut nanti malah menyakiti.
"Bagus! Sekarang kita mau ke mana?"
"Kausaja yang tentukan."
"Lho, kausaja yang tentukan, kaumembayar aku kan."
"Aku ingin ke hotel, melanjutkan pelukan yang tidak selesai."
"Kamu ingin menyelesaikan pelukan?"
"Iya."
"Kenapa harus diselesaikan? Biarkan saja menunggu, aku tak ingin ada yang selesai di antara kita. Masih terlalu singkat. Baru beberapa hari."
"Aku memang hanya beberapa hari di sini."
Neza, yang senyumnya memesona kini terlihat muram. "Iya, hanya beberapa hari, tapi... kamu akan kembali?"
Aku terdiam.
"Oh, yasudah. Tidak perlu dijawab. Datang dan pergi itu hal yang biasa. Kabari saja kalau kamu ke sini lagi, akan kutemani kamu."
"Kenapa hati yang terbaik justru harus tertinggal?"
"Mungkin, belum saatnya untuk ditemukan. Sesuatu yang hilang akan kembali dengan cara dan waktunya sendiri."
Neza menarikku, membawa aku masuk dalam pelukannya. Dan, matahari di langit Malaysia, tak terasa panas ketika kurasakan keteduhan dalam tubuhku.
***
Aku melirik jam. Dia belum muncul juga. Kuteguk air minum berkali-kali, dahaga sudah menggumuli tubuhku sejak tadi. Dalam keadaan seperti ini, aku teringat wajah Neza.
Pelukannya, senyumannya, keteduhannya; benar-benar tak bisa dijelaskan lagi oleh kata-kata. Ia terlalu sempurna sehingga kata-kata takut menggambarkan pesonanya.
Pelukannya, senyumannya, keteduhannya; benar-benar tak bisa dijelaskan lagi oleh kata-kata. Ia terlalu sempurna sehingga kata-kata takut menggambarkan pesonanya.
Pikiranku masih terpenuhi oleh Neza. Bahkan, saat suara yang tak asing bagiku, memanggil lantang namaku.
"Dion!"
Wanita itu berlari terengah-engah dengan wajah sumringah.
Istriku.
0 comments