Pria dalam Pelukku

Dia selalu memelukku seperti ini. Dengan lengan yang begitu lekat dan hangat, sampai bibirku tak mampu lagi ceritakan luka yang kurasakan. Pelukan itu menjalar hingga ke sudut-sudut hati yang sempat dingin oleh pengabaiannya. Ia mengecup puncak kepalaku dengan lembut berkali-kali, dan kala itu aku hanya terdiam; tak banyak bicara- karena pelukan sudah jelaskan segalanya. Tentu saja tak ada lagi air mata, karena desah napasnya yang sejak tadi berembus menyentuh rambutku... benar-benar membuatku terasa aman dan terlindungi; walau hanya detik saja, aku benar-benar merasa bahagia.

Di malam sedingin ini, saat dia semakin eratkan peluknya, lagi-lagi dia bercerita tentang kita. Kita yang selalu saja terlupakan olehnya, kita yang sebenarnya tak pernah ada, kita yang sebabkan luka namun tak ingin mengobatinya bersama-sama. Aku tak banyak berkomentar, ketika tawa renyahnya kembali mereka-reka bayang semu. Kubayangkan tubuhnya yang tak akan pernah jauh dari pandangan. Kudekap hangat dadanya, tenggelam sangat lama di sana. Sayangnya, hanya bayangan yang tak akan mencapai kenyataan.

Aku menengadahkan wajah, menatap matanya dalam-dalam. Tak kutemukan cahaya di mata itu, hanya kekosongan, juga kegelapan. Apa yang kuharapkan dari sosok yang tak pernah berikan aku jawaban?

Kuberanikan diri menjauh, membenarkan posisi tidurku. Ia memasang wajah bingung ketika tubuhku tak lagi lekat dengan tubuhnya. Aku berbalik badan, ia bergerak cepat; memelukku dari belakang.

"Ada apa?"

"Ada apa? Harusnya aku yang bertanya."

"Ada nada menyebalkan dalam ucapanmu."

"Kenapa baru datang?"

Dia terdiam. Selalu saja terdiam, tak bisa memberi tanggapan.

"Salahkah jika aku bertanya? Ke mana saja selama ini?"

"Aku baru punya waktu saat ini. Maafkan aku..."

"Maaf yang kesekian kali!"

"Kali ini yang terakhir."

"Kalimat itu sudah kauucapkan saat terakhir kita bertemu. Sebulan yang lalu!"

Dia melepaskan peluknya, dan menjauhi tubuhku. Aku menarik selimut, karena ternyata malam semakin dingin dan nyatanya ia tak lagi memelukku. Jemariku kuat-kuat memeluk guling, berusaha mencari kekuatan di sana; dan seseorang di sampingku masih terdiam... sedang berdialog dengan kata hatinya sendiri.

"Harusnya, kau tak perlu datang jika untuk pergi lebih lama lagi."

Tiba-tiba, ia memeluk tubuhku lebih kencang dari belakang. Menggelitiki tengkuk leherku dengan sangat bringas. Aku berbalik ke arahnya, dan membiarkan bibirnya menyesap bibirku. Kupejamkan mata, dan kubiarkan lidahnya menari-nari di lidahku. Kubiarkan ia tenggelam lebih lama, dalam pejaman mata, tanpa kata, cukup dengan sentuhan- kita benar-benar menyatu. Sejauh ini, itulah yang kurasakan, meskipun ia tak pernah benar-benar tinggal.

Ia tak lagi melumat bibirku, ia letakkan rasa lelahnya dengan memelukku. Aku merancau, berkata-kata dengan cepat, tak peduli dia menyimak perkataanku atau hanya sekadar mendengarkan dan menganggapnya angin lalu.

Tak ada jawaban dari keresahan yang kuungkapkan. Aku tahu, aku murahan. Aku tak punya apapun yang pantas kubanggakan. Aku terlanjur hina. Semua orang menganggapku sampah, tapi dia memandangku dari sisi berbeda; aku jatuh cinta.

Dia satu-satunya yang menjadikanku berlian dalam kubangan. Ia mengubahku menjadi bintang dalam dinginnya malam. Dia menemukanku dalam posisiku yang terjatuh, terjungkal sangat dalam di jurang pelampiasan. Ia menarik tanganku, memelukku dengan hangat- pelukan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Ia mengubahku menjadi bintang dalam dinginnya malam.

"Jangan pergi." tangisku mengalir membasahi pipinya.

Terdiam. Dia sama sekali tak bereaksi.

"Jangan pergi. Tetaplah di sini." ulangku lebih keras lagi.

Ia masih terdiam, tak menjawab.

Kueratkan pelukku, tangisku pecah di bahunya; namun ia tertidur pulas dalam pelukku.

Di ujung malam, mendekati pagi; dia akan pergi lagi. Menghampiri kekasihnya yang akan dinikahinya dua hari lagi.

Aku sendiri.

Selamanya... Mungkin.

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Evo Sastra
Designed by Evo Sastra
..
Back to top