Feat : Sekar Mayang
Sore itu adik iparku, Putri, berkunjung ke rumah. Sudah lama kami tak berjumpa. Sejak pertengkaran terakhir antara suamiku dengannya - yah, sekitar dua tahun yang lalu - baru kali ini dia berani menampakkan wajah. Aku tak ingin memperkeruh suasana, kuterima dia dengan tangan terbuka.
“Apa kabar mbak?” tanyanya.
Dia tersenyum lalu merangkulku, pipinya ditempelkan ke pipiku dengan kikuk. Kami memang tak terlalu akrab.
“Baik,” jawabku. “Kamu, apa kabar, Put?” tanyaku sambil membantunya duduk di kursi kayu di ruang makan.
Dia tak menjawab, hanya menatap sekeliling ruangan, sudah lama dia tak pulang, aku membiarkan dia bernostalgia terhadap tempat yang pernah dia sebut rumah.
“Bagaimana kabarmu, Put?”
Aku bertanya lagi sambil menyodorkan secangkir teh padanya. Dia tak menyentuhnya. Dia menatapku tajam, tapi beberapa detik kemudian tatapannya berubah sendu.
“Mas Yatno mana, Mbak? Bagaimana kabarnya?” Dia balik bertanya bahkan sebelum dia menjawab pertanyaanku.
“Baik. Dia ehm… sedang tidur,” aku sedikit berbohong. “Kakakmu akan pergi berlayar lagi lusa. Aku akan mengantarkannya sampai ke pelabuhan Benoa.”
“Belum mau berubah,” sahut Putri yang lalu memutar bola matanya dengan kesal. “Lebih suka berpisah…. Betah sekali dibelenggu rindu,” sambungnya lagi sambil menyesap teh.
“Harus dijalani, tapi bukan dalam bentuk keterpaksaan yang absurd. Toh enam bulan sekali kami masih bisa bertemu. Walaupun cuma bertemu selama tiga minggu, tapi itu lebih baik daripada tidak sama sekali,” aku menjelaskan.
“Enam bulan bukan waktu yang sebentar, Mbak. Yang berpisah enam jam sehari saja belum tentu bisa dipercaya. Apa Mbak Mirah yakin tidak akan tersiksa dengan rasa curiga?”
Putri berbicara dengan cepat. Aku sedikit memikirkan perkataannya, ‘berpisah enam jam bisa tak dipercaya‘. Itu di dunianya, dunia yang berbeda dengan yang aku jalani dengan Mas Yatno di sini.
Lalu, “Hahahahahaha…,” aku tertawa. “Apa yang hendak kucurigai, Dik?” Aku menatapnya. “Di dalam kapal, semuanya pria. Yah… memang ada yang perlu sedikit ditakuti soal perubahan orientasi. Tapi aku yakin, Mas Yatno adalah lelaki normal.” Aku mencoba berkelakar.
Tapi Putri malah berpikir terlalu tinggi. Dia tak menganggap kata-kataku hanya sebagai lelucon. Kadang dia terlalu serius menanggapi segala sesuatu. “Asal mbak Mirah tahu, pria memikirkan seks tiap lima detik.” Dia menghela nafas. “Mbak boleh saja tidak curiga. Tapi lihat saja di penjara, banyak kasus narapidana saling sodomi.”
Aku tertawa, dan ingin sekali menyelesaikan kecurigaannya. “Tapi aku masih punya harapan, Dik. Mas Yatno takkan berbuat seperti itu, karena kami menginginkan hal yang sama. Anak.”
Aku tersenyum padanya, saat memikirkan seorang anak di tengah keluarga kami, selalu membuatku merasa bahagia, cukup lama kami menantikannya, lima tahun sudah.
“Pasangan yang memiliki kuantitas pertemuan yang tinggi saja, belum tentu bisa segera mendapatkan momongan. Apalagi yang hanya tiga minggu dalam rentang enam bulan. Banyak yang perlu dipikirkan. Kondisi kesehatan, kualitas sperma, keadaan sel telur, mood. Bayangkan saja, Mbak. Orang yang menjalani LDR saja bisa saling curigai, apalagi suami istri.”
Kedengarannya dia mengkhawatirkan hubungannya sendiri. Yang kutahu dia menjalani hal itu. Pacarnya sejak SMA yang menjadi pramugara untuk penerbangan asing, selalu membuatnya pusing.
“Mau mengandalkan apa, Mbak? Sesuatu yang disebut cinta dan rasa percaya?!” sambungnya lagi.
Dia berbicara seakan meremehkan makna kedua hal yang paling dihargai dalam jalinan perkawinan itu. Ketidakpercayaannya membuatku sedikit marah. Dia seperti gadis yang berbeda, tak lagi kukenali dirinya.
“Dan kamu melupakan kuasa Tuhan akan segalanya, Dik?” sahutku dengan cepat.
Dia memutar bola matanya lagi, sikap yang membuatku kadang kesal dalam menghadapinya. Nafasku memburu, kemarahan itu nyaris tak tertahankan.
“Ini bukan soal kuasa, tapi lebih pada usaha!” Dia memperjelas dalam nada tegas. “Bolehkah kita kembali pada dunia yang realistis?” tanyanya sambil menatapku tajam. “Tuhan takkan mengubah umatnya yang tak berusaha.”
Apa yang dia ucapkan sedikit ada benarnya, tapi entah kenapa arah pembicaraan kami jadi begitu jauh.
“Oke. Jadi ini kembali lagi ke soal pekerjaan mas Yatno, kan?! Boleh aku simpulkan, kau ingin aku meminta mas Yatno untuk berganti pekerjaan. Iya, kan?!” Sedari tadi aku sudah mengerti, inilah inti permasalahannya. “Tapi apa kau pernah berpikir, Dik? Kakak laki-lakimu itu hanya tamatan SMP, tidak sepertimu yang merasakan bangku kuliah! Apa kau lupa darimana kau mendapat biaya kuliah yang tak sedikit itu?” Aku ingin menyadarkannya sebelum dia menjadi kacang yang lupa akan kulitnya. “Pekerjaan di darat memang banyak, tapi apakah bisa menghasilkan sebanyak rupiah yang Mas Yatno bawa pulang setiap enam bulan sekali?” nadaku meninggi.
Kurasa kata-kataku sedikit menyentuh hati Putri. Dia menatapku, tak lagi dengan mata bulat besarnya yang tajam. Ada raut malu pada wajahnya, tapi itu tak lama. Aku tahu betapa keras kepalanya dia.
“Mas Yatno bisa berhenti. Kalian berdua bisa menjual rumah ibu. Dan dari uang itu, Mbak Mirah dan Mas Yatno bisa buka toko sembako.” Dia berbicara seakan hal itu hanya masalah mudah.
Aku terdiam cukup lama, aku memikirkan kata-kata yang mengalir dari bibirnya. Sampai tak terasa hari berubah menjadi senja, malam akan segera tiba. “Itu… sempat kami pikirkan. Mungkin lebih tepatnya, aku yang mengusulkan seperti itu. Bukan menjual rumah ibu tapi tanah warisan dari orang tuaku yang tak seberapa luasnya.”
“Lalu kejelasan rencananya bagaimana, Mbak?” Dia nampak mulai jenuh dengan pembicaraan kami “Kira-kira usaha apa yang akan kalian jalankan? Lagipula aku cuma orang luar. Tidak ada hak ikut campur urusan rumah tangga kalian.” Akhirnya dia menyadari kapasitasnya.
“Hmm…. Sayangnya Mas Yatno tidak pernah setuju dengan hal itu. Entah apa yang ada di pikirannya. Ia tak mau mengatakannya padaku.”
“Aku masih tak mengerti. Mengapa dia masih bertahan dengan otak konvensionalnya? Sedari dulu aku menawarinya bantuan dana, tapi dia selalu menolak.” Putri terdengar kesal. Tidakkah dia sadar sikap kerasnya serupa dengan sang kakak? “Bukankah pada akhirnya aku harus membantunya juga? Aku tak ingin merasa berhutang terus. Katakan pada Mas Yatno agar meninggalkan pekerjaan lamanya. Berusahalah di rumah dengan resiko pekerjaan tak banyak. Intinya aku hanya mau…. Anggaplah ini saatku membalas budi padanya. Sejak sepeninggal ayah dan ibu, Mas Yatno membuatku menjadi seperti diriku yang saat ini. Anggaplah apa yang kulakukan sebagai wujud terima kasih. Bukankah impas bila sekarang aku membantunya?!”
“Simpanlah uang itu untuk dirimu sendiri. Nanti kau pasti akan memerlukannya.” Aku menolaknya dengan halus.
“Uang bukanlah masalah dalam hidupku sekarang ini. Aku cuma ingin Mbak Mirah meyakinkan Mas Yatno agar bersedia menerima bantuanku. Bantuan finansial dari adik perempuannya takkan menjatuhkan harga dirinya.” Aku melihat Puti menyambar tas Louis Vuittonnya. Lalu dia mengeluarkan amplop cokelat yang lumayan tebal dan memberikannya padaku. Nampaknya, ia sudah mempersiapkan amplop itu sebelumnya. “Aku tahu ini takkan berhasil,” ujarnya lagi.
Aku menolak untuk menerima. Aku tahu apa yang menjadi masalah dari mas Yatno. Ini akan menghancurkan nuraninya. Suamiku tahu apa yang dilakukan adik yang paling dibanggakannya, bukanlah sesuatu yang terpuji. Putri sukses di kariernya tapi banyak yang tahu bahwa itu bukan dengan kerja keras professional. Putri tak hanya bekerja sebagai sekretaris pribadi bosnya yang berwarga negara Jepang, tapi juga kekasih gelapnya. Menjadi wanita simpanan dari pria yang usianya hampir sama seperti usia ayahnya, itu bukan hal yang bagus didengar.
“Aku cuma mau membalas budi. Jadi…. Ijinkan aku melakukannya,” Putri berkata lirih.
“Tanggung jawab tak dibalas dengan materi. Kakakmu menyayangimu dengan sepenuh hati. Simpanlah niat baikmu.” Aku membantunya memasukkan amplop cokelat itu ke dalam tasnya. Dia menatapku. Kulihat ada air mata di sana. Tapi Putri terlalu keras pada dirinya sendiri. Dengan segera dia menghapus air matanya dan bangkit dari kursi, lalu melangkah pergi.
“Selamat tinggal, mungkin kita takkan bertemu lagi. Besok aku akan berangkat ke Osaka. Kupikir aku bisa bertemu dan mendapat restu dari kakakku.” Dia tersenyum tegar tapi matanya menyiratkan tatapan sendu. Dan dia terus berjalan, pelan menahan berat beban kandungannya.
Dari balik pintu kamar, aku melihat sosok Mas Yatno dalam wajah nelangsa. Aku tahu dia mendengarnya dari sana, seluruh pembicaraanku dengan Putri. Aku tahu dia teramat kecewa, tapi dia tak bisa berbuat apa-apa. Yang kutahu, dia menderita karena merasa bersalah tak bisa menjaga adiknya, seperti pesan orang tuanya yang telah tiada.
0 comments