Biasanya Nala selalu mempunyai alasan bagus untuk menikmasti pesta. Tapi tidak untuk kali ini. Dia berharap dia takkan memasuki pintu apartemen Robert. Apartemen mewah itu sejujurnya mengintimidasi harga diri Nala. Menunjukkan kesuksesan sahabatnya sebagai pengacara muda hebat.
Tidak mengherankan, Robert adalah seorang yang jenius di bidangnya. Dia punya otak brilian, sebuah keistimewaan ‘tak adil’ yang di dapat dari darah Yahudinya. Sementara Nala, ia masih tetap si sugar daddy. Nala hidup dalam sokongan ayahnya yang berlimpah materi. Putus dari Dalton, Nala pulang ke dalam kemewahan payahnya di LA. Payah, karena segala benda yang digunakannya bukanlah miliknya. Payah, karena ia harus menjilat ayahnya yang munafik dan tak tahu malu untuk sekedar mendapat beberapa ribu dolar setiap minggunya. Ayahnya seorang pria mesum yang hobi mengoleksi perempuan plastik murahan. Nala membencinya, namun memerlukan uangnya. Tapi kini Nala kembali, kembali pada hidup yang pernah ditinggalnya pergi. Kembali ke New York, tempat dia pernah menghindari diri dari kemunafikan hidup saat idealisme tinggi remaja merajainya.
Nala menghabiskan rokoknya sebelum akhirnya naik lift dan latihan memasang ekspresi manis. Nala memang cantik tapi sayang dia punya masalah, dia lupa bagaimana cara memasang senyum di bibirnya.
***
Robert memandang arloji mahal buatan Swissnya, nyaris jam setengah sebelas. Dengan gusar, ia menatap Marion yang mendampinginya. Marion, wanita yang dicintainya kelihatan jelita, dan juga gelisah. Dua ekspresi itu nampak jelas dalam waktu yang bersamaan.
“She won’t show up,” bisik Robert.
Marion menggeleng. “Yes, she will,” sahut Marion dengan nada yang tegas.
“Nala tidak akan melewatkan pesta. Percayalah. Aku mengenalnya,” bisik Marion sambil melemparkan senyum pada Alberta dan suaminya yang kaya raya – dan juga tua – yang berasal dari Timur Tengah.
“Aku juga mengenalnya. Nala muak pada cocktail party semacam ini. Tidak ada musik rock atau rokok ganja. Tidak bisa memasuki kamar mana saja untuk bercinta dengan one night lovernya. Nala…, gadis itu…. Aku mengkhawatirkannya, Marion.”
“Dia benar-benar hancur… sejak….”
Marion terdiam saat melihat Nala tiba-tiba muncul. Sejujurnya Nala tak terlihat seperti seorang gadis yang siap berpesta. Gadis itu hanya seperti seseorang yang buru-buru untuk mendatangi suatu tempat bukan karena keinginan tapi sebuah keharusan.
“Kalian menatapku seakan hantu dari neraka.” Nala menatap mereka dengan pandangan bosan.
Robert mendekatinya untuk mencium aroma nafasnya, lalu menggeleng seakan dia sedang menghadapi client yang harus dibelanya untuk kasus yang tak mungkin dimenangkan. Dia terlihat menyesal.
“Kau terlambat, Nala. Tapi kau tahu pesta ini takkan mulai tanpamu.” Marion tertawa renyah.
“Welcome back Nala. We miss you so much, like a hundred years we’re not see your face.”Sambutan hangat dari seseorang yang tatapannya seperti sedang menghakimi. Robert bagi Nala akan selalu menjadi kakak laki-laki yang menyebalkan. Dia kaku, serius, dan terlalu taat pada aturan.
“Hahaha….” Nala menertawakan Robert, kekakuannya selucu tingkah konyol badut baginya. Nala lalu mencium pipi Robert. “Itulah alasan kenapa aku menyayangimu, Bob.” Nala memanggil dengan nama kecil Robert. “Kau selalu manis dan juga menyebalkan.” Pada kata terakhir Nala berbisik. “Aku siap berpesta hingga gila,” canda Nala. Itu cuma pura-pura, karena dia tak melihat ada hal yang bisa membuatnya bersenang-senang.
“Bagaimana hidupmu?” tanya Robert.
“Sempurna! Aku masih hidup, walau pengangguran dan hanya mengandalkan kemurahan hati ayahku.” Nala tertawa dan menyambar Wine dari nampan yang dibawakan pelayan dengan wajah Hispanik tampan, yang membuat mata Nala secara refleks membentuk tatapan menggoda. “Aku merindukan kalian. Kau tahu, rasanya pulang dan kembali?! Aku seperti hidup lagi.”
Nala terlihat bahagia. Tapi Marion dan Robert tahu Nala. Sejak terakhir kali mereka bertemu Nala takkan bisa bahagia bila tidak ada penunjangnya. Dia tak bisa bahagia secara alamiah.
“Kupikir pesta ini hanya untuk para pengiring. Aku melihat ada beberapa orang yang tidak nampak seperti pengiring. You know, they are old.” Nala berbicara masih dengan nada basa-basi yang ia sendiri muak mendengarnya.
“Ya,” Marion menyahut dengan cepat. “Di akhir kesempatan, Robert memutuskan untuk mengundang beberapa orang lagi.”
“You know,” Robert menyela, “Aku pikir itu bagus untuk kelangsungan karirku.” Dan Robert pun tertawa.
Seketika itu Nala paham, Robert berusaha berkelakar. Tapi itu tidak terlihat lucu di mata Nala. Dan apada akhirnya, ia tahu, ia harus menunjukkan pada Robert tentang kepeduliannya. Ia pun ikut tertawa. Begitu pula dengan Marion.
Tawa penuh sandiwara Nala berakhir secepat karir Jessica Simpson di layar lebar. Ketika mata Nala menangkap sosok yang sangat dirindukan dan disayanginya, sekaligus juga sosok yang dibenci dan sangat tidak diharapkan untuk bertemu lagi.
“Hi, guys. Sorry I’m late.”
Dalton. Pria dengan tampang brengsek, sekaligus tampan dan mempesona. Pria yang akan membuat wanita takkan mengalihkan mata dari wajahnya. Sekilas seperti pemeran Chuck Bass dalam serial Gossip Girls.
“Seharusnya aku sudah tahu,” kata Nala. Ia berbalik dan akan pergi, tapi langkahnya terhenti. Ada yang menahannya untuk tetap tinggal dan dia tahu takkan mudah baginya untuk pergi yang kedua kali.
“Nala, wait!” Marion menahan langkahnya.
“Kejutan! Aku tak bisa membedakan yang mana sahabat, dan yang mana pengkhianat.” Ada kilatan marah namun juga genangan air mata yang tertahan di indera penglihatan Nala.
Robert menatap Nala tak percaya, lalu beralih menatap Marion dengan marah. Nala melangkah cepat dan Marion menyusulnya segara. Segalanya tampak berantakan. Ada hal yang salah yang kini sedang terjadi. Tapi segala sesuatu bisa saja terjadi. Dan walau bukan sifat alamiah Robert untuk menyelesaikan masalah dengan otot, tapi kadang otak mamalianya berfungsi dengan baik. Robert berhasil memberikan sebuah hantaman pada wajah Dalton.
Ada kemarahan yang terlalu lama terendap yang akhirnya bisa terluapkan sekarang. Dalton memang terjatuh di lantai. Dan walau mendapat memar dan nyeri, Dalton bangkit kembali dan tersenyum, lalu menyesap Wine yang direbut begitu saja dari tangan Robert. Dalton dengan mudah bisa merebut apapun. Tak hanya minumannya tapi juga gadisnya. Tak hanya satu tapi mungkin dua.
“What are you doing here?” kata Robert tegas seakan dia tengah memojokkan seorang saksi di ruang sidang.
“Berpesta.” Dalton tersenyum mengejek, lalu menyesap Winenya. Ia melihat sekitarnya lalu melempar senyuman kepada banyak mata yang sedang memandang heran kepada dirinya dan Robert. “Seperti yang lain,” sambungnya lagi sambil mengangkat gelas Winenya tinggi-tinggi. Dalton ingin memastikan kepada tamu undangan yang lain bahwa semuanya baik-baik saja.
“Siapa yang mengatakan soal pesta ini padamu? Karena aku tak ingat pernah menekan nomor teleponmu akhir-akhir ini,” Robert berkata dalam nada marah.
“Marion.” Dalton tersenyum. “Who else could be?”
Jika tadi Robert hanya marah, bisa dikatakan Robert benar-benar murka sekarang. Wajahnya memerah dan nafasnya tak lagi teratur. Dia tak bisa lagi bertoleransi dengan apa yang Marion lakukan. Robert tak pernah menyukai Dalton, dan sejak dulu dia hanya berpura-pura menyukainya agar Nala tak kecewa.
“I don’t believe it! You’re bastard liar!” Setengah dari diri Robert ingin percaya, setengahya lagi dia menyerah untuk pura-pura percaya.
“Boleh kita memutar ulang memori kita lagi?!” Kali ini Dalton yang telihat kesal. “Marion adalah jawabannya!” Dalton berdecak. “Aku dan Nala. Kau dan Marion. Begitu sejak dulu.” Dalton tertawa ketika mengingat masa kejayaan remajanya. “Kapten basket dan kapterCheerleader, perfect! Dan dork dengan dork, suck! Hei, kuberikan clue! Apa yang bisa ditawarkan oleh dork untuk seorang prince charming? Well…. Jika dulu Cinderella hanya melepaskan sepatu untuk sang pangeran, maka sekarang si upik abu harus melepaskan baju untukku. Sorry….”
Dan dengan santainya Dalton menikmati minumannya. Pandangan Robert tak bisa lepas dari kejauhan, yang menampilkan perdebatan Nala dan Marion. Robert mengetahui kesalahan Marion yang lalu, dia mengakuinya. Dan karena cinta yang begitu besar, Robert mampu memaafkan. Tapi diucapkan sekali lagi oleh seorang pria brengsek di depannya, Robert merasa harga dirinya hancur berantakan.
Secara bergantian, Robert menatap tawa Dalton, menatap cincin tunangannya, dan menatap perdebatan sengit dari kedua gadis yang berarti baginya – tunangan yang dicintai dan sahabat yang dia kasihi. Robert merasakan amarah dan sakit hati yang sangat kuat, namun di dalam benaknya dia tahu bagaimana dirinya yang sesungguhnya. Dia tak pernah egois pada orang-orang yang disayanginya. Tapi segala sesuatu mungkin saja berubah.
— bersambung
Gambar : Kitty Gallanaugh
0 comments