Aku berlari-lari kecil ke arahnya, dengan wajah berseri-seri aku berusaha meraih posisi dimana ia berdiri. Saat dia tersenyum ke arahku, aku segera meraih tangannya dengan lembut. Sekali lagi, dia hanya memperdengarkan gelak tawanya yang menggemaskan.
"Ada apa? Kamu kok narik-narik tanganku sih?" Ucapnya lugu sambil memainkan rambut sebahunya.
"Kemarin pas liburan aku ke Bali, aku beliin kamu ini." Jawabku seadanya, kuletakkan benda itu di atas telapak tangannya.
"Wah, gelang ya? Makasih ya, Dicto." Sambil melengkungkan senyumnya yang manis, dia menyibukkan dirinya dengan memasangkan gelang itu pada pergelangan tangannya.
"Susah ya masangnya?" Tanyaku sambil memperhatikan ketidak-mampuannya untuk memasangkan gelang itu.
"Iya, To. Gimana masangnya ya?"
"Sini aku yang pasangin. Cuma aku yang bisa memasangkan gelang ini dipergelangan tanganmu." Ucapku tersipu malu sambil memasangkan gelang itu. Dia tersenyum ke arahku, aku menunduk dengan perasaan berkecamuk.
Taman kanak-kanak kala itu sudah terlihat sepi. Aku menunggu ibuku yang selalu terlambat menjemputku, dia menunggu ayahnya yang punya rasa ketidak-peduliaan tinggi. Kembali aku menatap senyumnya, merasakan sejuk tatapannya, lalu melirik iseng ke gelang sederhana itu. Sejak saat itu, gelang pemberianku selalu nyaman terpasang di pergelangan tangannya. Entah sampai kapan, ia akan memasangnya.
***
Aku terbangun dari mimpiku, sialan! Mimpi itu lagi! Teman masa kecil lagi! Sesuatu yang tak bisa kulupakan sampai saat ini! Kulihat jam dinding yang berdetak angkuh, pukul 02:22 dinihari. Di sampingku, istriku masih sibuk dengan alur mimpinya, aku berusaha untuk kembali memejamkan mata, memeluk dan mendekap istriku dengan begitu dekat, tapi selalu tak pernah aku merasa hangat.
***
Pernikahan kami sudah berjalan 6 tahun, dikaruniai 2 anak sehat dengan kepribadian yang memikat. 6 tahun? Kalian pasti berpikir bahwa pernikahanku terlihat begitu bahagia, ya memang, aku bahagia, hanya terlihat bahagia, bukan benar-benar bahagia.
Aku tidak benar-benar mencintai istriku, dia kunikahi karena ibuku mau aku menikahi dia. Itu permintaan terakhir almarhumah ibuku sebelum dia mendiami pusaranya. Apakah membahagiakan orangtua berarti mengikuti pilihannya? Meskipun anaknya tersiksa dengan pilihan itu?
Pertemuan pertama kami tak dihiasi dengan senyum tersipu malu, dengan tatapan lugu, dan dengan percakapan merayu. Pertemuan pertama kami diisi dengan penentuan tanggal pernikahan! Tanpa basa-basi, tanpa memikirkan perasaan kami masing-masing.
Setahun pernikahan kami, aku masih sangat bisa mentolerir semua keegoisannya, aku mengira bahwa setahun adalah masa perkenalan dan adaptasi. Dua hingga enam tahun, semua masih tetap sama. Aku selalu berusaha mencintai istriku, dengan segala kekurangannya, tapi kenyataan yang tidak kusuka adalah ternyata cinta tak bisa datang karena paksaan.
Intinya, yang kujalani selama 6 tahun bukanlah karena aku mencintai, tapi karena kewajibanku untuk berusaha mencintai seseorang yang sulit untuk kucintai. Cinta tidak selalu datang karena terbiasa, cinta itu soal perasaan, bukan teori.
***
Sebenarnya aku sudah tidak ingin menghabiskan waktuku dengan wanita yang sulit untuk kucintai, tapi bagaimanapun juga, ia adalah ibu dari anak-anakku. Ditambah lagi kota ini, kota Bali. Kota yang terlalu menyesakkan bagiku, entah bagi keluargaku. Aku sangat ingin pulang ke Jakarta. Dimana kenangan-kenanganku menempel lembut disana.
***
Semenjak aku menikah dan semenjak hidupku terlihat bahagia, aku tak lagi bertemu dengan teman masa kecilku itu. Bisa juga dibilang, cinta pertamaku, Theodora Immaculata.
Mungkin sekarang dia telah hidup bahagia dengan suami dan anak-anaknya. Menetap dalam suatu kota yang menyimpan kebahagiannya. Aku merindukan kotaku, aku memutuskan untuk pulang. Aku kangen ibu, aku ingin mengunjungi beliau dan mencium lembut nisannya.
***
Inilah kota tempatku seharusnya pulang, aku tidak akan menyebut kota ini sebagai kota persinggahan, karena kota ini sesungguhnya adalah Rumahku. Rumah adalah tempat seseorang untuk pulang, bukan untuk sekedar singgah.
Di rumah orangtuaku, aku menemukan kebahagiaan yang tidak kutemukan di Bali. Bali memang indah, tapi tak selalu yang terlihat indah akan membawa kebahagiaan. Kutatap haru kamarku dulu, penuh dengan coretan dinding semasa aku ada di taman kanak-kanak sampai masa kuliah. Mataku terpaku pada tulisan yang berantakan dan hampir pudar, ada nama Theodora Immaculata yang terususun dalam huruf-huruf bisunya. Aku hanya mengembangkan senyum. Aku ingin ke tempat yang menyimpan banyak kenangan itu, taman kanak-kanak.
***
Aku melenggangkan mobilku hingga ke depan bangunan tua yang masih terlihat sama seperti dulu, seperti 30 tahun lalu. Di samping taman kanak-kanak itu, masih berdiri bangunan untuk Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas. Melihat bangunan-bangunan tua itu, aku hanya menggigit bibir. Bahkan, benda mati pun mampu mengingatkan seseorang pada masa lalunya.
Kakiku melangkah seiring kemauanku. Memasuki taman kanak-kanak yang memaksaku untuk mengunjunginya sesaat saja. Ternyata masih sama, beberapa permainan berwarna-warni masih mematung di halaman yang besar itu. Hanya warna catnya saja yang diganti.
Angin yang baru saja memainkan rambutku dan menggelitik kulitku mengingatkanku pada ayunan yang biasa kutunggangi bersama dengan dia, wanita itu, yang kuceritakan sejak tadi itu.
Saat langkahku masih berjalan, pandanganku tertuju pada seseorang yang sedang duduk diayunan itu. Aku duduk di ayunan samping, sambil iseng menghampiri wanita tersebut.
Aku menatapnya, memperhatikan wajahnya dan sesuatu yang dikenakannya, gelang dari Bali itu, gelang yang pernah kupasang dipergelangan tangan seorang wanita.
"Ima?" Sapaku dengan nada bertanya.
Dia memalingkan wajahnya ke arahku, wanita itu mulai mengembangkan senyumnya,"Dicto!" Ujarnya dengan nada tinggi.
Buru-buru dia bangkit dari dudukan ayunan itu, berdiri di depanku, lalu membungkuk, memelukku. Nafasku memburu kala itu, aku mendengar helaan nafasnya dan suara kecil isak tangisnya. Lalu, dia melepaskan pelukan itu, kembali duduk dalam ayunan. Tangannya sibuk menghapus air matanya. Hingga tiba pada momen gelangnya terlepas.
"Tanganmu ternyata kecil sekali ya?"
"Aku kurus ya?"
"Sedang saja, tanganmu kecil sekali, aku kaget."
"Ah! Iya, mungkin." Jawabnya pendek sambil sibuk memasangkan gelang itu pada pergelangan tangannya. Kulihat ada cincin yang terpasang pada jari manisnya. Aku menghela nafas, "Sudah punya orang lain ternyata." Ucapku lirih dalam hati.
Aku tersenyum menatap peristiwa itu, segera saja kugenggam tangannya. "Kalau ini terlepas, cuma aku yang bisa memasangkan kembali gelang ini dipergelangan tanganmu." Ucapku sambil memasang gelang itu pada pergelangan tangannya. Ah, sama seperti 30 tahun yang lalu. Dia hanya tertawa, tawa yang menghilangkan mata sembabnya. Selalu saja, kenangan mampu mengalahkan perasaan seseorang.
0 comments