Aku hanya memainkan nasi dan telur dadar dengan sendok dan garpuku. Menatap kosong ke arah sarapan yang memang tidak membuat dirinya agar berselera sehingga aku ingin melahapnya. Kulempar pandanganku ke jendela ruang makan, sinar matahari mulai mengintip malu-malu dari balik kaca kaku bertralis besi tersebut. Aku sangat benci suasana seperti ini, suasana sepi seakan-akan rumah ini tak berpenghuni. Aku duduk sendirian di meja makan sambil berpangku tangan. Dengan mata setengah mengantuk, kembali kutatap sarapanku lagi, nasi dan telur dadar, sederhana. Aku masih tak berselera untuk melahapnya, karena telur dadar ini bukan buatan ibuku. Aku tidak ingin makan telur dadar kalau bukan buatan ibuku. Aku semakin benci suasana ini, karena pagi ini adalah pagi yang sama, lagi dan lagi tidak ada ibuku yang menemaniku sarapan. Pemandangan pagi ini juga sama, di ruang tamu terlihat ayahku sedang bergelayut manja dipundak ibu baruku. Sebenarnya, aku sangat tidak sudi memanggil dia dengan sebutan “Ibu”, karena seseorang yang pantas kupanggil ibu adalah ibuku sendiri, tidak ada seorang pun yang berhak menyandang panggilan itu dari bibirku kecuali untuk ibuku.
***
Ibuku memang seorang wanita yang terlihat lemah, tapi di balik kelemahan seorang wanita yang terlihat oleh mata, ada kekuatan sangat besar yang tak terlihat mata. Didukung oleh wajah jawanya yang halus, dihiasi dengan mata redupnya yang bening, beliau selalu menjadi aktris utama yang kujadikan idola dalam drama kehidupanku. Ibuku memang jarang berbicara, dia lebih suka bertindak lalu melakukan, dalam pada membuang-membuang waktu untuk sekedar berdebat. Ibuku lebih suka memeluk daripada mengungkapkan, karena lewat sepasang lengannya ada desir kehangatan tersendiri yang menjawab banyak pertanyaan. Ibuku adalah wanita paling baik yang pernah kukenal, hanya seorang bodohlah yang mampu menyakiti ibu dengan perlakuan dan perkataannya, ayahku.
***
Tiga bulan yang lalu, ibu masih sibuk bangun pagi-pagi hanya untuk memasak telur dadar kesukaanku, telur dadar untuk aku, ayahku, dan ibuku. Kami bertiga duduk dalam satu meja, tanpa ungkapan dan ucapan, karena bahkan hanya lewat tatapan ada “pembicaraan” bisu yang “terdengar” oleh hati. Sesaat sebelum kamu berangkat, aku pamit lalu ibu mencium pipiku serta memelukku, begitu juga perlakuan yang sama diberikan untuk ayahku, tapi ayahku hanya meresponnya dengan tatapan dingin. Memang, kala itu ada hal yang sangat kutakutkan, ketika aku mencoba membuat persepsi bahwa cinta ayahku pada ibuku memudar. Padahal ibuku itu nyaris sempurna, memangnya ayahku butuh seseorang yang seperti apalagi? Ah... tapi kembali kuingat nasehat ibuku saat aku mulai nakal dan membuat persepsiku sendiri. “Pindahkan otakmu dan matamu ke hatimu, mereka tidak bisa bekerja sendiri-sendiri.” Ucap beliau sambil memelukku lebih erat dan hangat.
***
Ah ya! Belakangan kutahu bahwa ibu baruku (yang tetap tak sudi kupanggil ibu) adalah “selingan tak berguna” yang sempat mengganggu hubungan ayahku dan ibuku saat mereka masih berpacaran dulu. Lalu, untuk apa si jalang itu kembali? Satu hal yang kutahu, wanita jalang memang selalu datang tidak dalam waktu yang tepat. Aku benci ibu baruku, tepatnya aku benci dengan wanita jalang yang tiba-tiba datanng ke dalam hidupku. Aku hanya menginginkan ibu. Itu saja. Tapi, sekali lagi aku berpikir, apa gunanya menginginkan kembali masa lalu ketika sebenarnya masa itu tak akan pernah terulang?
***
Kali ini, pandanganku kosong menatap ibu. Berkali-kali aku mengusap-usapnya dengan sentuhan lembut sambil berusaha untuk tersenyum. Aku bercerita banyak hal, soal prestasiku, soal tulisanku, soal perkembanganku, dan soal ketertarikanku pada seseorang yang kini mengisi kekosongan hatiku. Aku sama sekali tak bercerita tentang ibu baruku (baca: wanita jalang), aku tak ingin ibu bersedih karena ayahku memilih seseorang yang salah. Tapi, tak bisa kututupi perasaan khawatirku tentang ayah dan ibu baruku itu, karena ibuku selalu tahu walapun aku berusaha menyembunyikan perasaanku. Aku membersihkan rumput-rumput yang tumbuh liar di atas tanah basah itu, kutaburi bunga-bunga beraroma lembut yang sesekali menyengat hidungku ketika angin menyebarkan aromanya. Untuk kesekian kalinya, aku mencium nisan ibuku. Aku tahu kalau beliau sangat suka dengan kecupan hangatku. Beberapa detik terbesit di dalam pikiranku tentang ayah yang tak berjumpa dengan ibu beberapa bulan ini. Entah beliau telah merencanakan untuk berjumpa tapi lupa atau beliau terlalu sibuk dengan pekerjaannya? Ah... memang beberapa laki-laki selalu mudah melupakan kenangannya.
0 comments