“Saya bukan "robot", saya tahu rasa sakit itu seperti apa, saya juga tahu rasanya diabaikan itu seperti apa”
Ini tentang perasaan saya kepada seseorang. Dia (mungkin) mengira saya adalah "robot" yang tidak memiliki perasaan dan tidak dapat merasakan sakit, sehingga dia bisa mengabaikan saya sesering yang dia suka. Saya selalu memberi perhatian terbaik yang bisa saya berikan, sesering mungkin saya mengingatkan dia agar tidak telat makan, dan sesabar mungkin saya mendengar semua cerita dan permasalahannya. Sayangnya, usaha terbaik saya lebih sering mendapat pengabaian, kadang dia merespon tapi respon itu tidak dia berikan dengan sungguh-sungguh. Respon itu malah terlihat seperti penghiburaan untuk seorang "robot" yang telah kelelahan dan kebingungan.
6 bulan terakhir ini, saya tidak mengerti, apakah semua yang saya lakukan untuk dia adalah hal yang sia-sia atau tidak? Saya tidak mengerti, apakah benih baik yang saya tabur telah siap menuai kebaikan yang saya harapkan atau tidak menghasilkan sama sekali.
Memang saya labil dan tidak cerdas secara emosi. Saya pernah mencoba berkali-kali untuk melupakan dia, sayangnya hal itu tidak dapat dilakukan secara instan. Status ini menyesakan, saya berada dalam posisi yang lebih sering diabaikan. Dia memanggil saya dengan sebutan "Dek", panggilan itu semakin membuat saya sesak dan lelah untuk berharap. Apakah yang saya lakukan selama ini adalah rencana pembahagiaan atau sesuatu yang berpeluang membuat saya kesakitan? Dia berkata sayang dan kangen, tapi kenyataannya dia selalu menggantungkan perasaan saya hingga saya merasa lelah. Dia berkata sayang dan kangen, tapi kenyataannya dia tidak pernah membuktikan sayang dan kangen itu melalui tindakannya yang cenderung sangat amat cuek. Dia berkata maaf, tapi kenyataannya dia mengulang kesalahan yang sama, lagi dan lagi. Bahkan, saat saya menunjukan sikap lelah untuk berharap, dia belum tentu peduli dan memikirkan perasaan saya. Komunikasi yang tercipta satu arah, selalu inisiatif dari saya. Dia tak kunjung memberi kejelasan. Saya benci diabaikan.
Kalau benci diabaikan, lalu kenapa saya tetap bertahan saat saya perhatian tapi dia tidak? Kenapa saya bertahan saat saya merasa kangen tapi dia tidak? Kenapa saya bertahan dianggap “robot”? Kenapa saya bertahan diabaikan? Bahkan semua wanita normal pun tidak ingin mengalami hal seperti ini, tapi kenapa saya bertahan?
Saya memang tidak menuntut status, karena menurut saya perasaan yang kuat tidak dilambangkan dari status. Saya memang tidak pernah menuntut perhatian lebih, karena menurut saya, dia adalah orang yang memiliki segudang kesibukan yang (mungkin) tidak punya waktu untuk memikirkan orang lain. Saya tidak pernah menuntut dia untuk memanggil saya dengan sebutan "sayang", "beb", "dear", or many more, karena menurut saya, panggilan belum tentu melambangkan perasaan seseorang.
Kamu memang pernah membajak otak saya. Disetiap selnya berisi KAMU. Saya sering menulis tentang kamu, memikirkan kamu dan merindukan kamu. Tapi, saya pun juga harus memikirkan, apakah saya merasa bahagia saat menyayangi dan memberi perhatian kepada kamu dengan tulus? Saya percaya, cinta itu harusnya mengobati bukan melukai. Saya lelah, kebingungan. Kamu tidak kunjung memberikan tanda. Saya bukan "robot", saya tahu rasa sakit itu seperti apa, saya juga tahu rasanya diabaikan itu seperti apa.
6 bulan terakhir, kamu yang terbaik. 6 bulan terakhir, cuma kamu yang dapat menyakiti saya dan cuma kamu yang bisa jadi obatnya. 6 bulan, terakhir ...
0 comments