Di tengah tugas yang berserakan, tulisan berceceran, dan puisi-puisi yang tak selesai ini; aku masih sempat memikirkanmu. Mataku yang berkunang-kunang, suara pendingin ruangan yang menambah kesan sunyi, dan jentikkan jemari di laptop-ku ternyata tak memberi pertolongan apapun. Hari ini, aku melihatmu di kelas dan sampai sekarang aku masih tak berani menyapamu. Rambutmu yang telah berubah makin gondrong, aroma tubuhmu yang bercampur dengan rokok itu, membawa kesan lain dalam hari-hari aku. Aku merindukan itu, merindukan saat kita bisa berbicara malu-malu, bukan berjauhan seperti ini. Hal-hal yang terjadi di masa lalu yang hanya bisa dikembalikan oleh mesin waktu, dan aku tak punya mesin waktu. Itu berarti, aku tak dapat mengembalikan kamu yang dulu.
Kamu ingin tahu kabarku? Sampai saat ini, aku masih sering merindukanmu, dan rasa itu hanya terobati dengan melihat isi lini waktu akun Twitter-mu, rasa rindu yang terobati hanya dengan melihat percakapan kita dua tahun yang lalu; saat aku dan kamu masih jadi mahasiswa baru. Logat Betawimu itu, selalu terngiang di telingaku, bahkan ketika puluhan orang bertanya mengapa sosok pria perokok, berambut gondrong, dan berkumis tipis selalu nangkring di buku kelimaku? Aku hanya menjawab dengan senyum miris, dengan mata berair, dengan kata-kata yang tersirat, rasanya ingin kumuntahkan semua, bahwa sosok itu adalah kamu. Kamu telah menjelma secara magis dalam setiap tulisanku. Kamu, entah dengan kekuatan apa, mampu membuatku terluka parah seperti ini.
Tuan Maha Puitis, dalam keadaan flu dan batuk berat seperti saat ini, aku sangat ingin kamu memerhatikanku seperti dua tahun lalu. Saat semua terasa masih begitu manis, saat pesan singkatmu, bbm-mu, dan sapaan ringanmu menjadi obat penenang sebelum aku terlelap. Rasanya waktu berjalan begitu cepat, dua tahun yang lalu rasanya kita baru kenalan, tapi mengapa sekarang kita telah berjauhan? Ah, andai aku punya mesin waktu, aku tak mau gubris semua percakapan kita, kalau tahu akan berakhir sesakit ini; aku tak mau terima kamu mengendap-endap masuk ke dalam hatiku.
Aku tahu, kamu pernah punya yang baru kemudian melupakanku, dan sekarang kamu dan dia telah mengakhiri hubungan kalian. Selama rentan waktu itu, tololnya aku masih mencintai kamu. Aku masih tak punya daya untuk melupakanmu. Kamu masih mampir di otakku, dalam berbagai rupa dan bentuk, dengan berbagai cara dan gaya. Aku jatuh cinta dan kamu tak mau tahu seberapa dalam perasaanku. Setiap kali melihatmu di bangku belakang, rasanya aku ingin memelukmu semesra ketika kita bercakap di pesan singkat. Setiap memerhatikan gerak-gerikmu, saat kamu makan, memejamkan mata, merokok, mengangkat satu kakimu di kursi kantin, tawamu yang membuat keningmu berkerut seperti Ariel 'Noah', dan suaramu yang polos tapi menyenangkan itu.... rasanya aku ingin berteriak sekencang mungkin agar rasa yang tertahan bisa terluapkan. Aku tak bisa lupa mata itu, mata yang pertama kali bersinar sambil menjabat tanganku. Mata yang menarikku ke dalam jurang sedalam ini, mata yang cahayanya harusnya dua tahun lalu kutolak mentah-mentah.
Aku ingin tahu cara menolakmu, melupakanmu, dan meniadakan bayangmu. Seandainya aku punya mesin waktu, aku ingin mewujudkan keinginan itu, mengulang segala peristiwa yang terjadi saat perkenalan mahasiswa baru. Aku akan mengulang masa SNMPTN, diterima di universitas terbaik di Jogjakarta, menetap di sana, dan mungkin punya kisah cinta yang lebih sukses. Tapi, aku memilih berkuliah di sini, menetap di Depok, dan bertemu kamu. Aku tahu Tuhan pasti punya rencana terbaik dan aku tak menyesali semua. Aku tak pernah meminta dan memohon agar aku mencintaimu, perasaan ini datang tanpa kumau, dan aku tak punya kuasa untuk menolak.
Tak banyak yang tahu bahwa aku sangat mencintaimu. Tak banyak yang tahu bahwa air mataku masih terjatuh untukmu, yang mereka tahu aku hanyalah persinggahanmu, yang menjadi pengiburmu. Padahal, mereka tak tahu betapa kita pernah berjalan begitu jauh dan pernah memimpikan jika perasaan ini berakhir dalam penyatuan. Tak banyak yang tahu, Sayang, dan sampai saat ini mereka hanya bisa menertawakan kisah kita, kisah yang tak selesai, penuh bualan. Jika memang aku tak serius, mengapa aku masih ingin memperjuangkanmu sampai saat ini? Jika memang aku hanya main-main, mengapa aku masih menangis ketika bercerita tentangmu pada teman-teman kita? Mengapa? Kamu meringis dan tak bisa menjawab.
Tak banyak yang tahu bahwa aku sangat mencintaimu. Tak banyak yang tahu bahwa air mataku masih terjatuh untukmu, yang mereka tahu aku hanyalah persinggahanmu, yang menjadi pengiburmu. Padahal, mereka tak tahu betapa kita pernah berjalan begitu jauh dan pernah memimpikan jika perasaan ini berakhir dalam penyatuan. Tak banyak yang tahu, Sayang, dan sampai saat ini mereka hanya bisa menertawakan kisah kita, kisah yang tak selesai, penuh bualan. Jika memang aku tak serius, mengapa aku masih ingin memperjuangkanmu sampai saat ini? Jika memang aku hanya main-main, mengapa aku masih menangis ketika bercerita tentangmu pada teman-teman kita? Mengapa? Kamu meringis dan tak bisa menjawab.
Andai aku punya mesin waktu, sebenarnya yang ingin aku ulang adalah masa-masa perkenalan kita, masa-masa saat aku dan kamu masih baik-baik saja. Andai aku punya mesin waktu, aku ingin mengubah sikap-sikap burukku yang mungkin menyebabkan kamu pergi secepat ini. Andai aku punya mesin waktu, aku ingin.... kamu kembali.
dari pengagummu
yang tak tahu diri.
0 comments