Gambar: di sini
Bagaimana kau tahu itu adalah cinta? Ada kupu-kupu dalam perutmu yang beterbangan ataukah sebuah goresan di hati saat kau tahu sudah terlalu lambat untuk menyadari?
***
Akan lebih mudah jika kami hanya bercanda lalu tertawa lepas.Tapi sekarang, hanya dengan menatap matanya aku menjadi lemas. Ekspresiku berubah menjadi memelas dan yang tak bisa kujelaskan hanya dengan memikirkannya membuatku cemas.
“Itulah kenapa aku sangat menyayangimu!” Tawanya renyah.
Sayang, andai sayang hanya sayang, bukan desakan hasrat untuk memilikinya sampai mati.
“Kamu tak menyayangiku?” dia merajuk, aku hanya mengangguk.
“Okay, baiklah. Sampai bertemu besok.” Aku pamit tanpa menatap wajahnya. Pintu itu tertutup dan aku menyesalinya.
***
“Aku membencimu!”
Aku tertawa.
“Kuharap kamu juga membenciku!”
Aku menatap langit berbintang lalu mengangguk. “Baiklah aku akan membencimu jika kau mau.”
“Apa yang kau benci dariku?”
“Matamu.”
Kuharap aku sanggup melihat matanya yang melotot lalu dengan setengah histeris dan penuh kepanikan dia akan membongkar tas mungilnya dan mencari-cari kotak make up-nya. Dia bercermin.
“Eye liner-ku tidak luntur, mascara-ku juga, di kemasannya tertulis water proof! Kupikir perusahaan kosmetik itu menipuku,” nada suaranya lega dan ada suara riang tawa sesaat. “Yaampun! Apa eye shadow abu membuat mata mataku sayu?” Sekilas aku melihat matanya mengerjap.
“Kamu cantik,”
“Terima kasih tapi kamu bilang kamu benci mataku, kenapa?” dia terdengar marah. Aku tak menjawab dan setelah beberapa lama dia memberiku jeda akhirnya dia kembali bicara. “Untuk kali ini kamu kumaafkan, tak semua orang harus menyukai semua bagian diriku.” Sekarang suaranya kembali ceria. Dia berubah dengan sangat mudah.
“Waktunya pulang.”
Dan aku kembali mengantarnya hingga pintu. Menunggu lama di depan sana dan berkhayal tentang ucapan selamat malam juga mungkin sebuah kecupan.
***
“Apa aku sudah membuatmu kesal?” Dia menatapku, kualihkan pandangan.
“Aku akan menikmati kekesalan,”
Dia tertawa.
“Bagaimana aku malam ini?”
“Secantik biasa.”
“Aku pasti tak secantik itu, kamu bahkan tak ingin menatapku.”
“Aku tak ingin terbius pesonamu,”
Dia tertawa, tawa indah yang selalu kusuka.
“Sampai kapan kamu akan bersamaku?”
“Kuharap sampai maut memisahkan,”
“Terima ka...”
“Aku hanya bercanda,”
“Aku kecewa. Aku suka kata-kata yang memanjakan telinga. “
“Walau itu bohong?”
“Hahaha....”
“Aku hanya bersamamu, sampai hari ini.” Aku melihat lelaki itu datang, di wajahnya ada senyuman yang mengembang. Dan cemburu membuatku tumbang.
Menjadi pemeran pengganti untuk menemani malam-malamnya yang sepi usai sudah. Lelaki yang selalu dinantinya sekarang telah kembali.
Sahabatku telah pulang dan itu berarti aku berhenti menjaga kekasihnya. Ada jabatan tangan ada pelukan penuh keakraban. Aku ingin mengepalkan tangan dan menghadiakannya sebuah hantaman. Aku hampir tak bisa menahan godaan untuk membuat wajahnya lebam. Tak mungkin, kurelakan saja apa yang ada di hati untuk padam.
***
Aku menikmati, saat-saat kami saling menjaga dalam sepi. Aku menghiburnya dari sepi ketika dia merindukan kekasih dan dia menghiburku dari sepi merindukan sahabatku yang sejati. Kami berbagi lelucon, pada awalnya. Berbagi kopi, jika dia bosan dengan cokelat hangatnya. Juga berbagi kata-kata dan juga harapan. Aku akan merindukan malam-malam itu. Kuharap malam-malam di coffee shop seberang jalan itu seperti mimpi semalam yang memudar ketika pagi datang.
***
Sekarang aku berdiri di hadapan mereka berdua. Menghadiahkan satu pelukan untuk masing-masing mereka, dan ucapan selamat tinggal.
“Aku akan merindukanmu,” suara manja yang takkan lagi didengar oleh telinga.
Harusnya mereka berjalan saja dan tak perlu berbalik, apalagi berkali-kali melambaikan tangan. Siapa yang suka perpisahan? Mereka berhenti, saling berbicara di ujung sana, dan si gadis melangkah kembali mendekatiku yang begitu bodohnya tak sempat beranjak.
“Ada yang tertinggal?” aku bertanya.
“Sebuah permintaan....dan pertanyaan.”
“Katakan segera atau pesawat akan meninggalkanmu.”
“Kumohon tataplah mataku,”
Aku menggeleng.
“Sudah kuduga.”
Suaranya tak terdengar indah yang tersisa hanya nada putus asa.
“Kalau begitu jawab pertanyaanku!”
“Kenapa kau membenci mataku?”
Aku berbalik dan melangkah meninggalkannya, tapi kupastikan dia mendapat jawaban. “Karena aku tak ingin kamu melihat mataku. Karena .... aku terlalu takut kamu melihat besarnya cintaku untukmu.”
:::The End:::
Aku mendengar cinta dalam tawamu
Tapi aku tak ingin kamu melihat cinta dalam mataku.
0 comments