PRAHARA CINTA LARA
Kemuning senja di kelamnya sinsing malamkan menjelang ia berjalan mengikuti langkah demi langkah yang penuh makna, berat detik-detik menginjakan kaki lewati rerumunan tanya, namun ia tetap berjalan, menyusuri simbah pilu kian yang semakin mendalam.
Tatapan kosong menyibak hamparan mata memandang, mereka tertawa ketika ia terus berjalan, derai-derai mengiringi langkah kecil dimana ia tergelempar lemas tak kuat menahan betapa beratnya beban yang dirasa.
“Yah...aku tak berguna” hanya kata itu yang terucap dari bibirnya, tak berapa lama ia tersadar lalu beranjak dari baringan yang ditimpanya, tawa-tawa manis yang masih tersengar menyisakan sesak yang kemudian akan menghantarkan kata “ oh... Tuhan dimana kasihmu” sejenak ia terdiam, ntah apa yang telah ia fikirkan dan kemudian “ aku juga ingin dicinta dan mencintai! “ teriakan itu membuat hati terbalut sentuhan disetiap pendengaran.
Telah lama berjalan saat-saat tiba terduduk merenung dan membalikan badannya,” aku akan selalu mencinta walau kau curangi aku, biar aku tersiksa kalaupun aku akan tersiksa “ gumamnya.
Malam itu dingin yang menyelimuti, ia trtidur di bawah langit di atas bumi di pinggiran lalu lalang keramaian. Tak diduga sang bunga berjakan menghampirinya dan “ Judika...“ sapa lembut membangunkan tidurnya, rasanya ia mengenal suara itu perlahan ia membuka matanya, dengan keremangan perlahan terbayang wajah itu, kemudian ia menggosok-gosok matanya seolah-olah tak percaya dan “ pergi... enyahlah dariku...!” hardiknya kemudian kemudian ia berlari dengan tubuh yang selewengan menjauhi wanita itu, tak salah lagi wanita yang barusan mendatanginya adalah wanita yang telah membuat ia tersiksa. Mungkin ia menyesal, sehingga ia ikut berlari “ Judiaka... tunggu...’’ dengan penuh penyesalnya, tetes demi tetes air suci menggenang dan jatuh menetes sebagai saksi bisu atas penyesalannya.
“ Judika tunggu...tunggu aku... aku menyesal “ dia berlari mengikutinya setelah lama mengejarnya ia berhenti dan membalikan badannya seraya berkata ” Apa yang kau ingin dariku...?” ucapnya dengan menghardiknya, wanita itu terduduk dan berkata “ aku tau aku salah, aku minta maaf, aku tak meminta apapun darimu aku hanya meminta cintamu kembali” katanya dengan penuh iba.
“ Pergi dariku...” serunya “ tiada guna lagi sesalmu, dan tiada guna kau kembali, aku tau apa yang ingin dariku, tapi maaf aku hanya manusia yang kere bukan seperti apa yang kau ingin, aku kira engkau begitu baik sebelumnya, tapi ternyata kau tak lebih seorang yang mau menjilat ludah yang telah kau hinakan, maaf walau aku terlalu cinta padamu, tapi perlakuanmu membuatku tak ingin melihatmu lagi, kini enyah dan pergilah dari pandanganku...” ucapnya kemudian ia melanjutkan melangkahkan kaki tetapi wanita itu kembali berdiri dan mengikutinya.
Ia berhenti dan “ stop! Jangan ikuti aku “ wanita itupun terduduk kembali, titik-titik tangis terus menetes dan semakin deras saja. Ia meneruskan jalannya “ Judika... maafkan aku, aku tau aku salah... Judika...” rintihnya.
Setelah cukup jauh ia berhenti “ aku sungguh sayang padamu tetapi kau berikan duri di hatiku” ucapnya. dan wanita itu masih tetap tersungkur meratapi penyesalnya, disela-sela tangisnya ia beranjak pergi kini tinggallah bayang yang menyelimuti hatinya.
Ketika ia tau wanita itu telah tiada tak lagi tampak oleh matanya, ia kembali terdiam diheningnya malam , menepik penyesalan-penyesalan dan kekesalan-kekesalan yang ia alami, maaf sayang aku terlalu terluka karenamu, kau hianati kesetiaanku, kau tak tahu betapa hati ini hanya untukmu, maaf aku harus pergi dan meninggalkan kenangan ini.” Ia bangkit dan meneruskan perjalanannya, setelah cukup lama ia berjalan di ujung pandangannya terlihat sebuah pondok tua yang tampaknya tak berpenghuni,ia mempercepat jalannya karena ia telah kelelahan. Beberapa saat kemudian ia memasuki gubuk tua itu tanpa melihat lagi ada apa digubuk yang barusan ia masuki, ia berjalan menuju pojok dinding yang hanya dilapisi sebilah papan lapuk, kemudian ia duduk dengan merangkul lututnya, mata tak mampu terpejam lagi walau telah terlalu letih, bayang-bayang itu tetap membayang disetiap detik, menit bahkan disetiap mata terbuka tak mampu ia mengenyahkan nya kalau pun ia mampu mengennyahkan orang yang sangat ia cinta itu.
Semilir angin semakin menghembus, semakin terasa dinginnya malam, malam pun melarut sunyi, jangkrik-jangkrik tak hentinya menghibur hati yang gulana ditelan kesunyian itu. Bahkan semakin terasa mengaku bibir-bibir yang bergetar.
Wajah memucat, mata sayu lemah, baju yang kumal karena debu-debu jalan yang setia menempel di sepanjang hari ini tadi, tampak tak bergerak sedikitpun sekujur tubuh yang lemah dipojok dinding yang mulai melapuk seperti yang menimpanya kini.
Pagi mulai menyingsing hembusan angin semakin mendingin matanya tak kunjung bisa terpejam hanya terbelalak memasi. “
Ketika matahari pagi telah menyingsing, mneambah elok warna warni dunia, kicau burung yang bersahut-sahutan, suara jangkrik kian menjauh dari telingany, yang sedari semalam menemaninya kini telah memudar dan semakin jauh terdengar. Ia mulai bangkit, membawa tubuh yang sempoyongan “ aku harus pergi “ hanya kata itu yang selalu melintas dan diucapkannya. Lalu ia bergegas meneruskan langkah menyusuri jalan setapak dengan rerumputan yang menghiasi, embun-embun yang basah masih menempel dan menetes disetiap derak kakinya mengiringi jejak yang menyapu. Tak begitu lama, keriuhan lalu lalang kota ditembusnya, ketawa ketiwi anak-anak yang pergi menuju rumah sekolahnya, ada juga yang tampak beraksi dilampu merah untuk mencari sesuap nasi walau caci maki sering didengarnya ia tak kunjung asa. Setelah berjalan cukup lama ia merasa baying nya mulai meremang dan gelappun dating, setelah itu ia tak tau lagi apa yang di rasa dan menimpa dirinya. Beberapa saat ia tak kunjung bangun, terbaring lemas di atas tumpukan sampah yang sangat menyengat iandra penciuman. Seorang lelaki setengah baya yang kebetulan melintasi tumpukan sampah itu, melihatnya terkulai tak berdaya, mungkin ada rasa iba, lelaki itu menghampiri Judika dan “ siapa lelaki tak berdaya ini “ ucapnya, kelihatannya ia memeriksa detak nadinya,” ternya masih hidup” gumamnya. Kemudian ia membopongnya sendirian, walau sempoyongan , lelaki tua itu berhenti sejenak dan berfikir, rasanya jika ia bopong sendiri tak kuasa sampai kerumahnya, lalu ia melihat kiri kanan, “ hmm ini dia, “ ia menemukan sesuatu yang tak lain ialah gerobak tua milik pemulung , lelaki itu menghampiri pemiliknya “ maaf pak bisa saya pinjam gerobaknya ?” tanyanya, “ maaf pak saya harus cari makan, jika gerobak ini anda pinjam saya tak dapat makan hari ini “ ucap pemulung, tenang pak saya kasih uang untuk sewanya “ dengan lembut “ oh…baiklah kalau begitu “ kemudian lelaki tua itu memberikan uang dan membawa gerobaknya. Judika pun dinaikan kegerobak, dan dibawalah kerumah lelaki setengah baya itu. Lagnkah berayun menuju sebuah rumah yang sederhana tetapi elegan dan penuh panorama cinta, walau jalannya telah terpatah-patah lelaki setengah baya itu terus menelusuri jenjang jalan yang tak jauh lagi sampailah keistananya. Setelah memasuki rumah, digeletakkannya pria itu disebuah kamar, badan yang tak tentu arah lagi dan dengan kemelut luka nestapa itu terbujur kaku di pembaringan. Ia terbangun “ dimana aku...” katanya dan ia melangkah pergi dari tempat itu, lelaki setengah baya itu kaget ketika melihat ia telah siuman dan menghampirinya” kau sudah siuman nak?” tanyanya. Ia pun kaget “ siapa kamu ?a…a...aku harus pergi!“ serunya. “ tetapi kau belum sembuh nak” ucap lelaki itu. “ Aku sembuhpun tiada guna “ balasnya “ tetapi kau harus istirahat “ tambah lelaki itu “ maaf bapak, aku harus pergi, terima kasih atas kebaikan bapak yang telah membawaku kemari” katanya. Lelaki itupun tak bisa berbicara apa-apa lagi dan hanya dapat membiarkannya. Dengan badan sempoyongan, ia beranjak meninggalkannya. Melangkahi badai hati, berayun disepanjang jalan, lelaki itu tak tega melihatnya, tetepi ia hanya bisa melihat, karena ia tau tak mungkin ia akan mencegahnya pergi. Setelah jauh ia melangkah, ia berhenti dibawah sebuah pohon, mungkin terlalu lelah. Binaran mata yang sayu menyibak kenangan luka, “ aku sadar, aku tak seperti apa yang kau ingin, tetapi apa begini kau harus perlakukan aku?” gumamnya. Terik mentari semakin meninggi, dan semakin menyengat pula, ia kembali melangkah tak tahu arah mau kemana, langkah pasi, berselimut kabut hitam, bergejolak api nan membara, walau badannya sempoyongan tak kunjung lelah hatinya untuk berjalan. Badan yang hamper rubuh itu, kini menyusuri tepian jalan yang tak seorang pun melewatinya, perut yang lapar, tak menjadi lapar , badan pun tak lagi terasa lelah yang ada hanya sesal yang begitu dalam dan menghujam-hujam sanubari. “ A…g…ghh… pergilah dari fikirku!” teriaknya terasa begitu berat beban yang bergelantungan di urat-urat kepalanya ” enyahlah...” celotehnya sembari memukul kepalanya. Dan berhenti lagi diujung jalan, kini ia memutuskan tak ingin lagi berjalan, ia menyandarkan badannya disebongkah batu, ia merengkuh kedua lututnya dan menyembunyikan mukanya dibalik kedua lututnya itu. Sebatangkara ditengah kerumunan batang pohon tak ada hiruk pikuk manusia, manusia yang ada hanya ia sendiri, yang sedari tadi menyelipkan mukanya dan terus bergumam “ pergil;ah saying dari fikirku, kau terlalu berat kudapat, kau terlalu sempurna untuk ku rangkuh” dengan suara yang lirih serasa tak ada tenaga lagi. Segarnya bau udara yang menyelimuti, kicau burung yang bernyanyi ria membuat Ia segera mendongakkan kepalanya , “ kau begitu permai, indah, tetapi apakah kau tahu lukaku tak dapat ku hela lagi? “ “ oh burung cerianya engkau, aku iri denganmu, kau mempunyai kedamaian hati” ucapnya. Mata yang semakin menyayu, wajah yang semakin mengkerut, hanya bisa melamun dikeindahan hijaunya dedaunan, terdiam seribu bahasa seketika langkah tak lagi bergerak, hanya pandang mata tertuju sebuah bunga yang baru mekar di kejauhan mata memandang, sayup-sayup angin mulai berkepak, menarilah dedaunan disiang yang sunyi itu. Kini badan nan rapuh itu, menengadah keatas mata yang menyayu itupun kini terpejam, entah kapan lagi ia akan membuka matanya dan mampu bersiul bersama burung-burung yang menemaninya dan bernyanyi lagi. Kembang diujung sana kini telah melayu, tak ada lagi kemelut didalam hatinya, luka, perih, sesal, dan sengsara kini ia telah enyah dan takkan pernah kembali lagi. Tubuhnya tergelempar dibawah batu itu, senyumnya terbentang membangkitkan cerahnya hari ini tak akan tau seorang pun dimana ia kini, dan kini berakhirlah sudah semuanya. Genangan air mata telah habis, dan tinggal hanyalah sebuah kenangan melayang yang hanyut dibawa angin kemana akan berhembus. Karya : Sugi Hartono |
0 comments