Cerita sebelumnya: Memeluknya dengan Lenganku Sendiri (1)
Aku membuka pintu kamar tamu dengan pelan-pelan, kemudian segera menutupnya ketika tubuhku sudah berada di kamar tamu. Aku berjalan mendekati ranjang yang ditiduri Gabriel, ia masih pulas dengan tidurnya yang nyeyak, namun napasnya terkesan sesak. Aku masih memerhatikan wajahnya yang terlihat manis saat tidur. Wajah itu begitu lugu, membuat aku yang melihatnya ingin langsung memeluknya, tapi aku tak berani dan masih menahan diri. Selimut yang terjatuh hingga ke lantai langsung saja kupungut dan kuletakkan di atas tubuhnya. Ia mendengus pelan, napasnya sangat hangat, pipinya memerah. Tanpa pikir panjang, telapak tanganku menyentuh keningnya. Demam.
Mataku terbelalak, aku segera berhambur keluar dari ruang tamu dan berlari ke dapur. Jemariku bergetaran ketika mengambil bumbu dan bahan untuk membuat bubur. Aku panik luar biasa, beberapa menit setelahnya aku mulai tenang. Mencoba menghela napas yang terengah-engah, aku mengintip lewat jendela dapur, hari sudah terang. Aku buru-buru menyelesaikan bubur yang kubuat, membuat susu hangat dan meletakkan di meja makan.
Dengan langkah panik, aku segera masuk ke kamar tamu dan mematikan AC. Gabriel masih tertidur dengan dengusan napas yang berat, tanpa menyentuhnya, aku tahu demamnya pasti mulai naik. Aku ingin memeluknya, menyentuhnya, membangunkannya, atau menghangatkan tubuhnya agar ia tak merasa kedinginan. Tapi, sekali lagi, aku takut. Bodoh.
Tak sempat, aku terburu-buru. Begitu saja kutinggalkan Gabriel sendirian; berharap bubur dan susu yang kuletakkan di meja makan tak segera dingin. Aku harap Gabriel baik-baik saja, dan semoga saja demamnya segera turun. Kurogoh tasku dengan tergesa-gesa, secara cepat kuncil mobil sudah berada dalam genggamanku.
Bagasi mobil kubuka dengan kasar, kumasuki mobil dengan langkah kecil namun teratur. Mobil melaju dengan cepat, meninggalkan rumahku juga Gabriel di kamar tamu.
Selama di perjalanan, hanya bayangan Gabriel yang bekejaran.
Untuknya, perhatianku tak pernah habis.
***
“Gabriel...” sapaku di ujung telepon. “Lagi apa?”
Gabriel mendengus pelan, “Tiduran, kepala gue pusing banget.”
“Masih di rumah gue? Atau udah di rumah elo?”
“Di rumah elo, gue belum kuat buat bangun.”
“Bubur yang di meja makan...”
“Oh, udah gue makan.”
“Enak?”
“Banget, makasih ya, Dira.” ucap Gabriel dengan suara yang terdengar mulai hangat. “Kenapa elo sebaik ini sama gue?”
Aku terdiam beberapa detik. Karena aku punya perasaan yang dalam terhadapmu, Gabriel. Bisikku dalam hati.
“Kok elo diem, Ra?”
“Enggak, enggak apa-apa kok.”
“Elo lagi di mana?”
Aku terdiam lagi, kemudian pandanganku tertuju pada mobil hitam yang baru saja keluar dari garasi rumah mewah. Pengawasanku tak lepas dari mobil yang melaju dengan lambat itu.
“Gue masih di kantor.”
“Di kantor?”
“Iya, gue di kantor.” sengaja tak terbata-bata, agar ia tak tahu, aku berbohong.
“Pulang jam berapa? Ini udah malem lho.” Gabriel merenggut.
“Enggak lama kok.”
“Beneran?”
“Iya.”
Klik. Sambungan telepon segera kuputus, dan aku segera menyusul mobil hitam itu.
***
Wanita di depanku berjalan dengan anggun. Gaun sederhananya tak mengurangi kecantikan kulit dan tubuhnya. Ia melenggang melewati parkiran, meliak-liuk di antara puluhan mobil. Ia berjalan dengan langkah teratur ke dalam sebuah cafe. Aku mengikuti dari belakang, diam-diam dan tak menciptakan gerakan yang mencurigakan.
Ia duduk di meja paling ujung, kedatangannya disambut oleh seorang pria berkemaja biru muda yang tanpa basa-basi langsung menciumi bibir wanita itu. Jalang.
Jemariku merapatkan jaket yang kukenakan di badan, aku menuruni topiku sedikit saja sampai hampir menutupi seluruh dahiku. Aku sengaja memilih meja di belakangnya. Untuk mengintainya.
“Kamu udah lama nunggunya ya, Sayang?” suara lembut wanita itu terdengar jelas di telingaku, aku masih berusaha menjaga gerak-gerik tubuhku.
“Baru duapuluh menit kok, Sayang.” pria itu berdehem pelan sebelum melanjutkan kalimatnya, “Ke sini sama siapa? Gabriel?”
“Enggak aku sendiri kok, aku dan Gabriel sudah lama putus.”
“Sejak kapan?”
“Sebulan yang lalu.”
Aku menghela napas berat, wanita ini berbohong. Aku tak termakan situasi, masih terus menjaga tindakan sekaligus menjaga emosi.
“Kalau istrimu gimana, Sayang?”
“Aku bosen banget sama istriku, dia cerewet, beda sama kamu Rana.”
Rana, nama kekasih Gabriel, si Jalang bermulut besar. Aku memaki dalam hati.
“Kalau butuh teman curhat, kamu bisa langsung hubungi aku, kita pasti langsung ketemu.” Rana menggoda dengan lancarnya, seperti biasa, terlalu banyak pria yang ia goda.
“Kenapa kamu sebaik ini sama aku, Rana?”
“Karena aku mencintaimu.” jawab Rana dengan cepat, seakan-akan dia tak perlu berpikir lama untuk menjawab pertanyaan itu. Ia terlalu terlatih dan terlalu sering berbicara cinta, hingga kata cinta begitu mudah terjulur dari bibirnya.
Mereka terdiam, terdengar bangku yang tak sengaja digeser, lalu kemudian suara kecupan yang pelan. Terkesan romantis, pria ini terlihat lebih romantis daripada Gabriel.
“Lusa, sebelum aku keluar kota, kita bisa ketemu lagi enggak?” ujar pria itu setengah memohon.
“Bisa, kita ketemu di sini lagi?” tanggap Rana singkat, ia menjaga nada bicaranya agar tetap lembut.
“Iya, di sini lagi, jam yang sama.”
“Jam sepuluh? Kenapa malam banget?”
“Di sini, setiap pukul sepuluh malam, ada live music-nya, kita bisa dansa.”
Rana tak dapat menahan tawa, “Dansa? Sok romantis!”
Lalu, mereka tertawa berdua, tawa itu kemudian terdengar semakin lemah ketika lagu When I Fall in Love terdengar sayup dan mesra. Beberapa lampu dimatikan, terang berganti remang-remang. Musik mengalun pelan, tarikan suara penyanyi wanita di depan panggung terdengar hangat dan mengagumkan. Rana dan pria tak kukenal itu meninggalkan meja, jemari mereka saling berpagutan. Pasangan yang lain mengikuti mereka, berdansa di dekat panggung.
Tatapanku masih mengawasi mereka, aku tersenyum lebar.
***
Memang aku tak percaya, ketika menatap sosok yang ada di depan cermin. Sosok itu hanya kulihat saat acara-acara pernikahan dan beberapa acara besar yang penting. Begitu berbeda, begitu sempurna. Dengan balutan gaun putih, rambut ikal yang dibiarkan menjuntai rapi, polesan bibir yang tidak terlalu tebal, juga mata yang terlihat bersinar. Aku tak percaya, sosok di cermin itu adalah aku. Dapatkah cermin berbohong?
Tatapanku melirik tajam ke arah jam, belum terdengar suara klakson mobil Gabriel. Tiba-tiba handphone-ku bergetar, dan nama Gabriel tertera di layarnya.
“Elo lama amat!” cetusnya dengan suara kesal.
Belum sempat kusapa, dia sudah menyemburku dengan tiga kata yang terdengar menyebalkan, “Ini gue udah mau keluar.”
“Ah, lama lo!”
Sambungan telepon terputus, tak ingin mengecewakan Gabriel, aku segera berlari menuruni tangga dan segera memilih alas kaki yang akan kugunakan. Ketika terdengar suara ketukan pintu, aku bergegas memilih yang harus kupakai, lalu membukakan pintu untuk seseorang di luar.
Ketika pintu kubuka, tampak Gabriel membelakangiku, hanya punggungnya yang terlihat.
“Cepatan dong, Dirrrr....” ia menoleh ke arahku, dan tak melanjutkan kalimatnya.
Aku tersenyum ramah, “Yuk, gue udah siap kok.”
“Elo....”
“Gue kenapa?”
“Cantik banget.”
Jantungku langsung berdebar tak karuan. Aku tak menjawab pujiannya, masih dengan tindakan yang salah tingkah, aku langsung mengunci pintu rumah dan berjalan menuju mobilnya. Ia mengikutiku dari belakang, tak banyak bicara.
Mobil membelah malam yang remang dan sunyi. Tak banyak Kopaja yang terlihat berhenti di tengah jalan. Kami tak merancang percakapan, anehnya Gabriel yang kadang cerewet itu juga tak bicara banyak. Diam-diam aku menatap wajahnya, dan seperti ada sesuatu yang aneh dari raut mukanya. Aku berpikir keras untuk mengalihkan perhatian Gabriel.
Di ujung jalan ada lampu merah, aku mempersiapkan diri, dan semoga usahaku tak gagal. Jelas saja, mobilnya terhenti dan detik yang tertera pada papan lampu merah masih tertulis enampuluhenam detik.
Tanpa banyak menunggu, aku mendekatkan bibirku ke telinganya, berbisik pelan dengan sedikit berdesah, “Elo suka kalau gue dandan kayak gini?”
Gabriel tetaplah Gabriel, semanja dan secengeng apapun, dia tetaplah pria. Tatapan nakalnya langsung menyambarku, “Cantik banget, Dira.”
Kami saling bertatapan, bibirku dan bibirnya tak terlalu berjarak. Ia mendekat, dan ketika perhatiannya teralihkan, jemariku segera merogoh saku celananya. Handphone-nya sudah berada di tanganku dan suara klakson kendaraan lain mengakhiri suasana yang hampir romantis itu. Senyumku terlihat puas.
Tak lama lagi pukul sepuluh malam, cafe itu hampir dekat. Semakin dekat. Semakin dekat. Setelah mobil selesai diparkir oleh Gabriel, aku dan dia segera menuruni mobil. Ada detik yang kumanfaatkan untuk kembali menyentuh ponsel milik Gabriel, sebelum dekat dengan pintu masuk, aku berjalan dibelakangnya dan memencet dengan cepat tombol ponselnya.
Send to: Rana
Sayang, aku ada di Cafe Daun. Siapa itu pria di dekatmu? Teman barumu?
Memasuki pintu masuk, aku lancang menggenggam tangan Gabriel. Kukira dia akan menghempaskan jemariku, nyatanya tidak. Ia malah menggenggamnya lebih erat. Gabriel terus kuajak bicara, agar ia tak mengalihkan perhatian pada pengunjung cafe. Ia kuarahkan duduk di meja yang kupilih, tanpa banyak basa-basi kami segera memasan makanan ringan dan minuman bersoda. Kami duduk menunggu, berbicara dengan tatapan yang sangat dalam. Belum pernah aku melewati malam sebahagia ini. Bersama Gabriel. Seseorang yang telah lama kuperjuangkan.
Pembicaraan kami santai saja, karena bukan pokok pembicaraanlah yang penting. Ada hal yang lebih penting daripada sekadar topik pembicaraan, yaitu cara Gabriel menatap mataku. Ia tak mengalihkan pandangannya, tatapannya benar-benar hanya untukku, dan cara dia menatapku kala ini berbeda. Kurasakan lembutnya detik mengunci peristiwa kala ini, aku sangat ingin waktu terhenti, dan hanya terus begini. Dengan Gabriel. Sampai kapanpun.
Sementara aku dan Gabriel bahagia, ada sepasang mata yang mengawasi gerak-gerik kami. Rana, yang duduk bersama pria yang sama, tak melepaskan aku dan Gabriel sebagai pusat pandangannya. Aku melirik ke arah Rana beberapa detik, wajahnya kusut terlipat, pria yang sekarang bersamanya tak digubris sama sekali. Sekarang, Rana merasakan apa yang dirasakan Gabriel. Rasa sakit.
Detik itu adalah bahagia yang sesungguhnya, lampu cafe mulai meredup, suara musik mulai mengalun damai. Gabriel masih menatap mataku, dan aku masih menatap matanya, namun pengganggu terus saja ada. Ponsel Gabriel yang masih berada di tanganku tiba-tiba bergetar hebat, aku melirik acuh tak acuh, nama Rana tertoreh jelas di layar handphone. Langsung saja kutekan tombol reject, terputus. Senyum di bibirku tak tergerus.
Suasana semakin meremang, penyanyi wanita yang sama telah mengucapkan sebaris lirik lagu Selamanya Cinta. Aku menarik lembut lengan Gabriel dan berjalan pelan ke dekat panggung. Ia kebingungan menatapku, tak mengerti yang kumaksud. Aku mendiamkan rasa bingungnya, ia menatapku lalu menatap pasangan lain yang sudah mulai saling berpeluk mesra.
Matanya berbinar, langkahnya mendekat. Ia melingkarkan lengannya di pinggulku, aku melingkarkan lenganku di bahunya. Aku memeluknya dengan lenganku sendiri.
Dengusan napas Gabriel terasa hangat menyentuh pipiku, mempercepat detak jantungku. Tubuh kami masih melekat, aku dan dia masih tenggelam dalam suasana.
“Siapa yang lebih cantik, aku atau Rana?” bisikku lembut, sedikit menyentuh daun telinganya.
Ia sedikit bergerak, merasa geli, “Kamu lebih cantik, Dira.”
Aku tersenyum lebar, “Siapa yang lebih kaucintai, aku atau Rana?”
Gabriel tak langsung menjawab, ia melepaskan peluknya dan langsung menatapku dengan tatapan berbeda. Wajahnya yang hangat tetap terlihat walau dalam keremangan.
Jemarinya menyentuh daguku, bibirnya mendekat. Dalam beberapa detik, ia menciumi bibirku dengan sedikit gigitan. “Aku lebih mencintai kamu daripada Rana.”
Sekali lagi, aku terjatuh dalam peluk hangat Gabriel. Dan, Selamanya Cinta masih mengalun pelan.
Andaikan kudapat mengungkapkan, perasaanku. Hingga membuat kaupercaya.
0 comments