"Penyakit separah apapun tidak akan pernah membatasi perasaan cinta seseorang"
“Kamu siapa?” Dia menyorotkan pandangan matanya ke arahku.
“Kekasihmu.” Jawabku singkat dengan senyum memikat.
“Denita? Sayang, kamu kok kurusan?” Jawabnya sambil meremas pundakku dan memelukku.
“Bukan, Sayang. Aku Kesha. Denita sudah dipanggil Tuhan lebih dulu, 2 tahun yang lalu.” Ucapku apa adanya dengan senyum terpaksa. Aku hampir menangis. Dia mengulang pertanyaan yang sama untuk yang ke-sembilan kalinya.
“Kesha? Kamu kira aku bodoh? Kamu bukan kekasihku, kekasihku adalah Denita. Dia jauh lebih baik daripada kamu.” Sambil menghempaskan tubuhku, dia duduk dan menjauhiku.
Aku menahan air mataku, “Aku memang tidak lebih baik dari dia, tapi Denita sudah tidak disini dan yang masih hidup adalah aku, cuma yang hidup yang bisa mendampingi orang yang hidup.”
“Berisik! Kamu jangan mengada-ada ya, jujur hal itu menjijikan, wanita tidak punya harga diri! Mengaku kekasihku? Kau sampah!”
“Ya, kau boleh menghinaku, aku sampah dan kau telah terganggu oleh bau busuknya. Aku membawakanmu makanan dan obat, ibumu bilang kalau kau tidak menghabiskan semua yang kubawa, kau akan jatuh pingsan, mimisan. Makan ya, dihabiskan, aku akan menunggumu sampai makanan dan obatnya kau habiskan.” Sambil menahan suara tangisku di tenggorokan, aku menyodorkan makanan dan obatnya, aku menunggunya.
Aku kembali menatap wajahnya, dengan lahap dia menyantap makanannya. Lagi dan lagi, dia tak mengingat namaku dan statusku sebagai kekasihnya. Dia menyadari sorotan mataku yang sejak tadi mengarah padanya, senyumnya yang lugu benar-benar menyadarkanku bahwa semua akan berjalan baik-baik saja, bukan hanya untuk hari ini, tapi kuharap untuk selamanya, aku pasti bertahan.
“Kesha sayang, enggak makan?” Saat mulutnya dipenuhi nasi, dia mengawali percakapan ringannya denganku.
Aku terkejut, ingatannya kembali, senyumku lebar menyambut suaranya, “Makan aja, Sayang. Tadi mama kamu udah masakin aku makan siang kok. Rivastigmine [1] yang aku letakkan disitu jangan lupa diminum ya!”
“Sayang, hari ini kamu cantik banget, Denita kalah cantik deh sama kamu.” Dia mulai mengeluarkan kata-kata gombal yang baru diproses otaknya.
“Terimakasih.” Jawabku singkat, sebenarnya aku tahu bagaimana perasaan dia yang sebenarnya, bahwa aku tak lebih baik dari Denita, mantan kekasihnya. Disatu sisi, penyakit Alzheimer [2] memang menyiksa, disatu sisi, penyakit itulah yang membuat hidupku terkesan luar biasa. Setahun hubungaku dengan dia, setahun juga aku berusaha menyadarkannya bahwa ada aku yang selalu mencintainya.
***
“Jangan dibuka ya penutup matanya.” Aku berbisik ditelinganya sambil menggenggam erat jemarinya.
“Kita mau kemana?” Nada penasaran itu semakin membuatku tak sabar untuk mengajaknya ke tempat ini.
“Follow me! Jangan lepasin tangan aku sampai aku lepasin tangan kamu.”
“Hujan ya? Kok aku kayak ngerasa ada rintik-rintik hujan?”
“Lalu, apa yang kau rasakan? Apa yang ingin kau katakan?”
“Sejuk, bau tanah basah, gemerisik merdu rintik-rintik hujan, kekasih, pelangi, dan rindu.”
Aku terharu dengan jawabannya, dia mengingat semua hal yang pernah kita lewati bersama, saat hujan membasahi baju kita, saat geremis menggelitik kecil rambut kita, dan saat gemerisik air hujan beradu merdu dengan suara kendaraan bermotor yang selau takut dengan tetesan air dari awan dengan jumlah yang sangat banyak itu.
“Sekarang, kau boleh membuka penutup matamu.”
“Hujan deras! Sejuk!” Dia tersenyum ke arahku dan kembali memalingkan pandangannya ke depan, menikmati hujan.
“Sekarang, kita berada di shelter [3] . Apa yang kau ingat?” Tanyaku singkat dengan bisik kecil ditelinganya.
“Denita. Aku pernah memberinya jaket saat dia kedinginan dan kita berteduh disini.” Tanpa muka berdosa, dia menjawab pertanyaanku dengan santai.
Aku terdiam. Tubuhku mematung. Otakku mulai mencerna jawabannya. Jantungku berdetak dengan hebat. Nafasku terengah-engah. Hatiku bergetar. Hormon adrenalin memaksa darahku untuk mendidih menuju puncak tertinggi dan terpanas.
“Kalau kau mau terus membicarakan Denita! Kalau kau mau terus mengingat dia, tengoklah makamnya! Kau akan sadar bahwa dia telah tiada! Berbicaralah dengan nisannya, katakan kau merindukan dia. Katakan bahwa wanita pilihanmu saat ini tidak sebaik dia. Bersihkan rumput yang tumbuh diatas pusaranya, kau akan sadar bahwa dia telah kembali menjadi tanah. Lalu, kau menangis dengan suaramu, meronta-ronta dengan sisa-sisa teriakanmu yang serak, memanggil namanya tapi dia tidak akan kembali!” Amarahku meledak, membuncah dengan sejuknya hujan yang tak mampu lagi membuatku merasa sejuk. Aku gerah.
“Maksudmu?” Dia malah bertanya dengan wajah yang seakan-akan tak menyakiti siapapun.
“Idiot! Namaku Lavenia Ananta Rikesha. Kau sering memanggilku Kesha atau SAMPAH! Setahun yang lalu kau pernah menyatakan cintamu disini, saat hujan di shelter ini. Dan hari ini, satu tahun hubunganku denganmu bahkan kau tak mengingat apapun, kau malah mengingat seseorang yang sudah tiada! Seseorang yang walau kaumerindukannya tapi dia tidak akan kembali! Kapan kau menyadari bahwa setahun ini kautelah memiliki seseorang yang sangat bersabar untukmu hanya karena dia begitu mencintaimu? Kalau kau masih ingin bercinta dengan masa lalumu, maka keputusanku kali ini adalah meninggalkanmu! Aku bukan masa depanmu. Bagiku menyakitan jika aku mengingat hal-hal yang kita lalui bersama tapi kautak pernah mengingatnya atau bahkan menyimpannya dalam memori otakmu” Bentakku dengan nada tinggi di depan wajahnya. Aku menerobos hujan dan meninggalkannya di shelter sendirian. Dia hanya mematung, menatapku yang meninggalkannya.
***
Seminggu setelah peristiwa itu, aku tak lagi mendengar kabarnya, hanya ibunya yang beberapa kali menelephoneku dan mengatakan bahwa puteranya berkali-kali menanyakan kabarku. Aku hanya meringis. Mana mungkin pria se-bodoh dan se-idot itu masih bisa mengingatku. Paling-paling dia hanya tertegun di depan televisi, memanggil-manggil nama Denita hingga suaranya serak dan habis. Bodoh, untuk apa aku berkorban demi seseorang yang bahkan tak menganggapku ada? Yang bahkan lebih memercayai masa lalunya daripada masa depannya. Ternyata Alzheimer sangat menakutkan.
Saat aku sedang sibuk menjelek-jelekan dia di dalam otakku, tiba-tiba aku mendengar suara pintu diketuk, bergegas aku membukanya. Kekasihku berdiri diambang pintu, “Eh, idiot. Lo mau nyari Denita? Dia pindah, udah enggak dibumi lagi. Gue mau cukur jenggot dulu. Lo pulang aja!” Tungkas ku ketus sambil mendorong bahunya.
“Denita udah meninggal, 2 tahun yang lalu.” Ucapnya tegas menyergap perhatianku.
“Gue sampah! Lo enggak usah deket-deket sama gue! Nanti lo ikutan busuk!” Dengan nada tinggi, aku bertolak pinggang dan membentaknya.
“Kamu kekasihku, satu tahun yang lalu, saat hujan di shelter itu, kau menjawab ya saat aku bertanya maukah kau menjadi kekasihku?” Dia menimpal semua cacianku. Otakku terdesak.
“Gue bukan seperti yang lo....... WOY! Apa-apaan sih! Lepasin tangan gue!” Aku belum menyelesaikan pernyataanku tapi tangannya menggengam tanganku erat. Aku masih tak mengerti alasan dia melakukan hal mengejutkan seperti ini.
“Follow me! Jangan lepasin tangan aku sampai aku lepasin tangan kamu.” Dia berkata padaku dan melirikan matanya, memandangku.
Kala itu, hanya satu kata diotakku yang tidak bisa kujawab dengan logikaku. Angin yang menggelitik manja hanya menertawakan aku yang mau saja dibodohi oleh si idiot ini.
“Udah sampe nih!”
“Tempatnya kok deket rumah aku? Ini tempat sih? Isinya Cuma ilalang doang, bikin kulit gatel aja! Gue mau pulang!” Bentakku kasar di dekat telinganya. Aku muak.
“Kamu enggak inget tempat ini? Kamu lupa? Tempat ini berarti banget buat aku dan seharusnya juga buat kamu.” Dia menatapku dengan tatapannya yang khas.
“Ngg.. masa sih?” Dengan wajah bingung aku menatapnya.
“Kamu enggak ingat? Menyakitan jika aku mengingat hal-hal yang kita lalui bersama tapi kau tak pernah mengingatnya atau bahkan menyimpannya dalam memori otakmu. Di sini, kamu pernah bilang ke aku, suatu hari nanti aku pasti sembuh. Kamu enggak harus mengingat kenangan kita sendirian tapi aku pun juga akan ikut mengingat kenangan kita. Seminggu ini, ibuku cuma bercerita tentangmu. Tentang usaha terbesarmu hanya untuk membuatku mengerti bahwa aku memiliki seseorang yang menerima penyakitku, tentang pengorbanan besarmu hanya untuk membuatku mengingat banyak hal yang telah kita lalui, dalam jangka waktu berkala kau harus terus-menerus mengulangnya, karena aku pun juga terus-menerus melupakan semua usahamu, semua kenangan kita. Mau berjanji satu hal?” Penjelasannya yang panjang diakhiri dengan pertanyaan yang membuatku penasaran.
“Janji? Kalau tidak berat, aku akan menepatinya.” Jawabku seadanya, aku masih tak percaya dengan hal yang ia lakukan.
“Janji jangan tinggalin aku. Aku bakal sembuh buat kamu.” Bisiknya ditelingaku perlahan, mataku terlalu egois, padahal sejak tadi aku menahan air mataku tapi dengan nakalnya mataku malah menurunkan butir-butir airnya.
“Janji!” Air mata haru tergolek lemas dipipiku, aku mematung.
“Jangan nangis dong! Senyum dong! Kalau kamu mau aku cepat sembuh, kamu harus senyum buat aku!”
Aku mengulurkan tanganku ke bahunya, menariknya segera dalam pelukku. Diluar sana, orang lain mengatakan bahwa penyakit bisa membatasi perasaan cinta seseorang. Tapi, bagiku justru penyakitlah yang membuat perasaanku bertambah dan bertumbuh pada seseorang yang mengidap penyakit menakutkan, walau dia berbeda dari pria lainnya, walau kami tak bisa saling jatuh cinta dengan cara yang normal.
footnote:
[1] rivastigmine: obat yang diminum secara oral untuk mengobati penyakit Alzheimer taraf rendah hingga medium.
[3] shelter: halte bus
0 comments